Sabtu, 30 Desember 2017

Menyapa Kampung Halaman

.: Menyapa Kampung Halaman :.

Perjalanan kerap membawa kita ke tempat-tempat asing nan jauh. Perjalanan tak jarang melambungkan angan kita pada capaian-capaian tertentu, reputasi, hingga kesempatan berharga yang tidak pernah kita sangka. Di sisi lain, perjalanan juga sanggup menyeret kita dalam perasaan jumawa, superior, atau bahkan menenggelamkan kita pada jurang kesombongan, meski muncul dalam kata-kata halus yang hampir tidak terlihat. 

Setahun berlalu. Ada begitu banyak destinasi yang disambangi. Dalam dan luar negeri. Ada banyak manusia-manusia baik hati yang ditemui. Semuanya meninggalkan kesan di memori. Di antara ribuan arsip foto, video, dan catatan perjalanan, terselip juga kisah tentang perjudian dengan waktu, pengorbanan, dan kerelaan dalam bentuk pilihan-pilihan yang kita ambil dalam hidup. Nan jauh di sana, ada orang-orang, tempat, maupun lingkungan yang selama ini kita tinggalkan, bahkan sejenak kita lupakan demi mendatangi tempat-tempat eksotis yang selama ini kita impi-impikan.

Demi mengobati kerinduan, sekaligus keinginan untuk menenggelamkan diri dalam laku kontemplasi, saya mulai mencari-cari destinasi baru yang luput saya sambangi saat berada di kampung halaman. Sejauh ini, saya masih berkutat di sirkuit turis seputar Air Terjun Sedudo yang konon airnya berkhasiat membuat awet muda, Candi Lor yang konstruksi bangunannya mirip sekali dengan Angkor Wat di Kamboja, sumber air, sawah berundak, serta pedesaan di lereng gunung yang mirip sekali dengan desa-desa adat di Bali, dan wisata kuliner yang, sepertinya sudah lazim saya cicipi.

Terus terang, saya sungguh terkejut dan bangga, bahwa dengan semakin berkembangnya dunia pariwisata tanah air, semakin mudahnya akses untuk menembus suatu tempat, dan maraknya anak-anak muda di daerah yang bermedia sosial, saya semakin sadar bahwa meski merasa sudah berjalan jauh, ternyata saya tidak atau belum begitu mengenal daerah sendiri hingga pelosok-pelosoknya. 

.: Air Terjun Singokromo :.

Saya baru tahu ada air terjun Ngebleng yang lokasinya benar-benar tersembunyi di dalam hutan jati, tak jauh dari perbatasan darat dengan Jombang. Memiliki wilayah yang dipagari pegunungan, saya cukup mahfum jika Nganjuk, yang namanya pun sering sekali dibuat becandaan, memiliki potensi wisata alam berupa air terjun yang belum banyak dikembangkan. Untuk alasan itulah salah satunya perjalanan ini saya lakukan.  

Di suatu pagi yang cerah, saya menuju Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan yang bercokol di lereng Gunung Wilis. Bagaikan Ladakh di Jummu dan Khasmir, India, Sawahan adalah tempat yang sejuk dan cocok untuk melakukan kontemplasi diri. Tempat pertama yang saya tuju adalah Air terjun Singokromo. Konon, di masa lalu kawasan air terjun ini merupakan habitat bagi harimau untuk berkembang biak. Lokasinya tersembunyi di dalam hutan, jauh dari jalan desa. Tempat ini juga kerap dijadikan sebagai lokasi inagurasi bagi anggota baru untuk kegiatan ekstrakurikuler pecinta alam siswa SMU di Nganjuk.

.: Mandi di Air Terjun Singokromo :.

Saat ini sudah ada jalan setapak dari batu kali. Meski tidak mulus, cukup untuk dilalui sepeda motor. Saya membayangkan bagaimana peliknya menuju tempat ini dahulu saat jalurnya masih berupa belukar. Air terjun Singokromo tingginya 20 meter. Karena hutan di hulu masih terjaga, debit airnya sungguh tinggi. Airnya mengalir deras sehingga sangat riskan untuk mandi tepat di bawah aliran airnya.

Batu-batunya hitam mengkilat diterpa embun percikan air. Tak perlu menunggu lama, berada di tempat ini langsung membuat gigil melanda. Sinar matahari pun tampak bersusah payah menembus rimbun tumbuhan yang menjadi kanopi. Pantas saja, lumut dan ganggang tumbuh subur menyelimuti hampir semua dinding tebing air terjun. Tak lama saya berada di air terjun Singokromo. Bukan karena khawatir berada di tempat sepi seorang diri, melainkan karena menghindari embun membasahi lensa kamera.

Saya pun memulihkan gigil tubuh di Sendang Putri Wilis. Lokasinya tak jauh dari air terjun Singokromo. Sendang ini sebenarnya merupakan sungai kecil percabangan sungai yang membentuk air terjun Singokromo dengan aliran air yang tak begitu deras dan ditampung dalam cerukan bertanggul batu.

.: Finding Innerpeace :.

Suasananya sungguh tenang. Kicauan burung menjadi musik yang bersahutan dengan gemericik aliran air. Cocok memang untuk tempat mengasingkan diri atau tempat untuk laku hening. Saya tak tahu pasti, sebelum menuju sendang, saya sempat berpapasan dengan serombongan pertapa. Menurut 'kuncen' yang membuka warung sekaligus penjaga parkir, di malam-malam tertentu, ada satu tempat di dalam hutan yang lokasinya masih dalam aliran sungai ini, dijadikan tempat untuk ngalap berkah.

"Pengunjungnya jauh-jauh mas. Ada yang dari Lamongan, Bojonegoro, bahkan Cirebon," kata Pak Penjaga Warung saat menawarkan bantuan menemani ke lokasi pertapaan, namun saya tolak dengan halus. Selain tidak begitu tertarik, saya tak ingin mengganggu kekhusyukan para pertapa itu untuk melaksanakan laku hening sesuai dengan kepercayaannya.

.: Santai Sejenak di Sendang Putri Wilis :.

Saya lebih suka main basah-basahan di aliran air yang jernih ini. Bagi saya, keheningan dan kebersihan jiwa dapat diraih jika kita senantiasa berpikir positif dan berupaya selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Mandi dan bersuci hanya sebuah simbol dan upaya untuk membersihkan jasmani saja. 

Hal-hal seperti inilah yang saya suka dari perjalanan ini. Selain kontemplasi ke dalam diri, saya juga senang bernostalgia. Dalam pikiran tenang, pikiran saya sering melintas pada kenangan akan kegiatan kreatif yang saya sukai sejak dulu: menulis. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, kita kerap mendapat tugas dari guru untuk menceritakan pengalaman selama liburan. Judul-judul seperti: Liburan di Rumah Nenek, Bermain di Tepi Sawah, atau Pengalamanku Mandi di Sungai kerap menghiasi kertas tugas yang berisi catatan perjalanan para siswa. Sungguh manis sekali mengingatnya. Tulisan sederhana seperti itulah yang kerap menjadi cikal-bakal banyak catatan perjalanan monumental para pejalan berbilang tahun kemudian.

.: Air Terjun Gedangan :.

Saya beranjak meninggalkan Sendang Putri Wilis menuju air terjun lain yaitu Air Terjun Gedangan. Menurut cerita yang beredar, air terjun ini baru 'ditemukan'. Tak jelas apakah ini kata yang tepat untuk mendeskripsikan sesuatu yang tak pernah hilang. Tapi, segala tentang air terjun ini memang tidak jelas. Jalurnya berupa jalan setapak dari tanah. Belum ada bebatuan tertata. Persis seperti jalur penjelajahan anak gunung. Tidak ada tiket masuk tapi ada retribusi yang dipungut oleh pemuda lokal.

"Untuk biaya kebersihan mas.", kata salah satu dari mereka memecah tatapan kebingungan saya. "Jalan terus sampai ujung, nanti motornya diparkir di dekat situ. Air terjunnya sudah kedengaran suaranya."  

Saya pun melaju dengan santai. Di kanan kiri tampak pohon pinus khas pegunungan. Saat masih sekolah, saya kerap menyimpan bunga pinus kering untuk suvenir. Di sela-sela rimbun pinus tumbuh juga pohon karet. Saya bahkan baru menyadari kalau di kawasan Gunung Wilis banyak sekali pohon karet. Saya malah tak pernah mendengar kalau hasil hutan kota kelahiran ini termasuk karet di dalamnya.

.: Kebun Mawar Sepanjang Jalan :.

Saya juga terperangah menyaksikan hamparan kuntum mawar merekah sepanjang jalan. Mawar-mawar ini memang tak asing di Desa Ngliman. Di halaman rumah, kebun kosong, tanah tegalan, atau di pinggir jalan penuh tanaman mawar. Pantas saja, setiap kali akan nyekar (ziarah kubur) ke makam nenek saat lebaran, saya perhatikan penjual bunga di Kota Nganjuk tak pernah kehabisan stok bunga mawar. Bahkan, mawarnya selalu segar. Mereka mengatakan bahwa mawar-mawar tersebut didatangkan dari Sawahan. Saya pikir, siapa saja akan takjub menyaksikan hamparan bunga mawar mewarnai tanah luas berlatar hutan pinus dan Gunung Wilis. Bersyukur, tak ada remaja alay yang mengambil gambar dengan bergulung-gulung hingga membuat kawasan seperti ini rusak seperti terjadi di tempat lain yang populer.  

Selain karet dan mawar, cengkeh juga merupakan hasil bumi yang dikandung hutan dan tanah tegalan di Sawahan. Memerhatikan deretan pohon cengkeh tinggi menjulang, saya jadi teringat dengan program studi banding saat SMP dulu. Setiap liburan semester, semua siswa di kelas saya melakukan karyawisata ke tempat-tempat yang ada hubungannya dengan materi pelajaran. Salah satunya adalah ke tempat penyulingan minyak cengkeh yang ada di Sawahan. Sungguh, perjalanan yang diniatkan untuk melakukan kontemplasi, malah berlanjut menjadi semacam napak tilas kenangan di masa lalu. Saya jadi teringat dengan betapa dahulu kegiatan menulis laporan kegiatan merupakan sesuatu yang menantang dan penuh gairah meletup-letup saat mengerjakannya. Selain itu ada pula kenangan tentang kenakalan masa sekolah, cinta monyet, obrolan tentang guru yang menyebalkan, hingga perihnya menyiasati uang saku agar bisa bertahan selama sebulan. 

.: Panen Cengkeh :.

Segala kenangan manis tersebut langsung luruh saat kepala saya diguyur aliran Air Terjun Gedangan. Tak seperti Air Terjun Singokromo dan Sendang Putri Wilis yang airnya jernih, aliran air terjun Gedangan agak keruh, meski masih sangat layak untuk mandi. Mungkin karena tidak ada pohon di hulu air terjun ini sehingga alirannya kerap membawa serta tanah kering yang dilewatinya. Cuaca cukup panas siang itu. Maklum, dari tadi saya berlama-lama dan terpaku menyaksikan ini-itu yang menerbangkan memori saya pada kenangan masa silam.  

Saya tak berlama-lama berada di Air Terjun Gedangan. Berharap melewatkan siang sejenak dengan duduk-duduk santai dan mengeringkan badan sehabis mandi di air terjun sejak pagi, saya menuju Situs Watu Lawang. Disebut begitu karena konon tempat ini merupakan jalur menuju air terjun Sedudo sebelum dibuka jalan aspal oleh pemerintah yang ditandai dengan keberadaan sebuah batu yang terbelah secara alami sehingga membentuk celah menyerupai pintu gerbang. Lokasinya sekitar satu kilometer sebelum pintu masuk objek wisata Sedudo.

Duduk di ketinggian bukit, pemandangan yang ditawarkan sungguh spektakuler. Setidaknya ada empat air terjun yang memahat dinding Gunung Wilis terlihat jelas dari sini. Semilir angin yang sejuk dan hamparan hutan yang menghijau sanggup menawarkan hati siapa saja yang sedang gundah. Tak ada siapapun di sini selain saya. Untuk orang yang senantiasa berpacu dengan waktu dan bergelut dengan kesibukan kantor, berada di alam terbuka seorang diri seperti ini merupakan pengalaman yang mahal harganya. Apalagi tempatnya tak jauh dari tempat tinggal. Destinasi yang kerap dipandang sebelah mata dan diabaikan karena dianggap kalah berkilau dibandingkan dengan hal serupa di tempat lain atau bahkan di negara lain.   

.: Flirting with nature :.

Perjalanan kali ini mungkin begitu sederhana. Namun begitu, ada banyak hal saya ketahui untuk pertama kalinya dalam hidup tentang secuil wilayah di tanah kelahiran. Ada kepingan kenangan manis di masa lalu yang akhirnya tergenapi. Ada kisah-kisah manusia di sekitar kita yang mungkin luput dari perhatian. Saya pikir, betapapun menjanjikannya kehidupan perkotaan, suasana ingar bingar kota berpotensi menggiring kita menjadi manusia-manusia individualis yang miskin empati. Naik gunung, bercengkerama dengan alam, dan bertemu dengan orang biasa dengan jiwa-jiwa sederhana di perjalanan seperti inilah yang sanggup meluruhkan hal negatif dan menjadi penyeimbang bagi pikiran dan hati.   

Saat tiba musim liburan seperti ini dan begitu banyak orang berbondong-bondong menyerbu kampung Inggris, kampung gajah, kampung cokelat, kampung anggrek, kampung nanas, dan 'kampung-kampung' sejenis lainnya, saya dengan bangga dan rendah hati akan berkata bahwa, saya pikir tiada yang lebih indah daripada berlibur di kampung halaman. []

22 komentar:

  1. Biasanya kampung halaman itu malah jarah kita jelajahi. Kita fokus pada tempat yang jauh, hingga suatu saat kita teringat bahwa kita perlu menjelajah kampung sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seringnya seperti itu. Juga negara sendiri. Kadang aku berpikir, semoga bisa mengenal kampung halaman sendiri, bahkan sebagian besar tempat di Indonesia sama imbangnya dengan jalan-jalan di luar negeri :)

      Hapus
  2. Daerah yg notabene buka destinasi populer seperti Nganjuk pun, wisatanya sudah sedikit berbenah. Berkat media sosial, dan kupikir banyak orang yg sudah sadar wisata juga. Dan tak perlu jauh nan eksotis. Potensi daerah sendiri pun bisa diangkat kembali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar mas. Sepertinya sejak dunia pariwisata bergeliat, setiap daerah berlomba-lomba untuk menjual potensi wisata di daerahnya. Alhasil, tempat-tempat yang awalnya hanya diketahui oleh penduduk lokal, mulai diangkat sebagai objek wisata :)

      Hapus
  3. Di Nganjuk aku baru pernah nyambangi arter Sedudo ama Gunung Wilis.. Itu pun pada jaman dahulu kala ������
    Btw foto yang captionnya flirting with nature itu, modelnya boleh diilangin aja gak? Huahahaha...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Balik lagi dong. Sekarang Sedudo itu sooo last year ya. Udah banyak yang baru destinasinya :)

      Modelnya harus eksis untuk mendukung cerita :P

      Hapus
  4. Aku malah pengen ke Sedudo lagi. Hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, udah pernah ya dulu? Sedudo sekarang sudah 'berubah'. Dengan taste Dinas Pariwisata Indonesia yang kekinian, sekarang sudah ada papan nama SEDUDO dengan huruf besar-besar. Sedikit 'mengganggu' sih sebenarnya kalau buat motret hehehe :)

      Hapus
  5. WOw !!... Keren sekali kampung halamannya???.... suasana asri dengan bentangan pesona alam yang bikin betah berlama-lama yaaa.... sungai dan airterjun nya bikin damai banged itu. Kapan kapan ajakin aku trip ke situ yaaa mas ?, hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. The hidden gems of Nganjuk, East Java nih mas hehehe. Boleeeh. Lebih asyik kalau pas bukan akhir pekan atau hari libur panjang. Jadi sepi dan gak ada 'iklan' yang berseliweran kalau mau motret hehehe ;)

      Hapus
  6. Membaca cerita kamu tentang kampong halaman, aku merasa sedikit trenyuh, karena aku sendiri orang Malang, justru sampai saat ini sama sekali belum menulis tentang kota Malang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Segera agendakan koh main lagi ke Malang. Lalu tulis di blognya. Biar lebih mutakhir kisahnya :)

      Hapus
  7. Seger banget rupa air terjunnya..hmmm...btw, aku masuk salah satu orang yang berkesan di memori mas Adi gak ya? hahaha...Ditunggu kedatangannya lagi di Lombok ya..:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha bener banget. Seger itu karena hitungannya masih dekat dengan sumber airnya. Kak Ema kan ada di 'hardisk' memori tahun 2015. Jadi, masih tersimpan rapi hehehe. Semoga bisa kembali ke Lombok. Sudah kangen sekali ;)

      Hapus
  8. Ceritanya sungguh mengugah kak.. jadi kangen kampung halaman juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hei, terima kasih sudah mampir. Jangan lupakan kampung halaman ya di mana pun kita berada, sejauh apapun kita traveling :)

      Hapus
  9. Ternyata kampung halamannya Nganjuk to.
    Idem dengan Mas Sitam. Kadang telat tay kalo di daerah sendiri ada potensi2 yg keren dan baru ngeh ketika orang orang jauh yg sudah lebih duluan tau.
    Kadang juga karena ngerasa deket dan ah gampang kapan2 aja ke sana nya. Malah perginha kejauhan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah sepertinya sindrom yang banyak diidap sama traveler zaman now. Hehehe. Rumput tetangga selalu lebih hijau. Padahal di belakang rumah ada padang savana yang super duper hijau, tapi gak pernah ditengok hehehe :)

      Hapus
  10. Sedudo sing saiki wis berubah totaaaal.. Kapan kapan tak ngevlog di sana. Wis koyok tempat wisata ala ala(y). Hahaha.

    Aku rung sempet ning gedangan, watu lawang, sendang putri wilis.. duuuh... etapi aku wis tau ning Ngebleng dan sumber miri. Dirimu wis tau?

    BalasHapus