Minggu, 10 Desember 2017

Mantra Marina

.: Marina Bay Sands dari Kejauhan :.

Singapura hampir selalu menjadi destinasi luar negeri pertama bagi turis asal Indonesia. Negeri mungil di jantung Asia Tenggara ini seolah mempunyai magnet yang menarik untuk disambangi. Luasnya cupet namun sanggup menawarkan beragam pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Satu sudut yang menjadi sirkuit turis saban hari terletak di tenggara negeri. Area ini tak ubahnya sebuah etalase yang menjelaskan kesuksesan tentang bagaimana sebuah negeri dibangun. Setiap jengkal lahannya dijejali dengan kombinasi superlatif yang mengundang decak kagum. Gedung-gedung modern berbagi lahan dengan taman bunga gigantik. Bianglala tertinggi sejagad berderet dengan teater durian jumbo. Di dalam perutnya, kereta cepat menampung warganya wara-wiri untuk menjangkau area ini.  

Menyusup di antara kerumunan warga, saya menuju kawasan Marina saat sore hampir bergelayut. Awan tebal menggantung di langit. Saya berjalan melalui jalur setapak di pinggir sungai. Konon, di masa lampau, sungai ini keruh dan penuh sampan nelayan sebagai sarana transportasi antar pulau. Namun kini, aliran airnya cukup bersih. Paling tidak, saya tidak melihat ada sampah yang mengambang di air. Pikiran saya pun melayang ke kawasan Jakarta Kota yang seharusnya bisa mempunyai hal serupa untuk Kali Ciliwung.  

.: Bantaran Sungai Singapura :.

Saya melanjutkan langkah menuju The Fullerton Hotel. Bangunan ini disebut-sebut sebagai bangunan hotel paling antik dan megah di seantero Singapura. Saya mengetahuinya dari televisi bahwa tempat ini sering digunakan sebagai tempat menginap para pembalap formula 1, delegasi asing yang diundang di Singapore Writer Festival, atau acara resmi negara. Fasadnya seperti gabungan antara benteng dan istana kerajaan dengan pilar-pilar yang menjulang menyangga atap. Bercat abu-abu kalem, kesan sepuh terpancar dari dindingnya yang kokoh.

Sebelum digunakan sebagai hotel, bangunan ini telah mengalami banyak sekali perubahan peruntukan yaitu sebagai gedung Kantor Pos Besar, kamar dagang, dan Singapore Club. Jika dapat direka ulang, bibir sungai di depannya tak ubahnya sebuah dermaga sibuk yang memasok segala logistik negeri Temasek ini. Melalui 'tangan dingin' pemerintah yang digawangi juga oleh The Fullerton Heritage, manajemen properti yang bertanggung jawab mengelola bangunan bersejarah di kawasan Marina, beberapa konstruksi diselamatkan dari gerusan modernisasi dengan menyulapnya menjadi restoran, hotel, dan pusat bisnis. Saya pun segera beranjak untuk menengok lebih dekat warisan budaya dari masa lampau ini.

.: The Fullerton Hotel :.

Menyeberangi jembatan gantung di depan Hotel Fullerton, saya disambut oleh bola-bola atomik berukuran raksasa yang tersebar di halaman Asian Civilisations Museum yang hijau. Meski tidak terlalu luas, halaman museum ini sering digunakan oleh pengunjung untuk duduk-duduk sejenak, menikmati minuman yang dibawa sembari memerhatikan deretan gedung tinggi dan kapal-kapal wisata yang lalu lalang.

Museumnya sendiri digunakan sebagai wadah untuk menguatkan klaim bahwa Singapura merupakan melting pot budaya Asia. Isinya tentang sejarah Singapura di masa lampau yang dijejali dengan koleksi benda seni dan artefak seperti yang berasal dari kapal karam pada masa Dinasti Tang, termasuk di antaranya 300 keping benda keramik Tiongkok. Kisah peradaban yang bercokol di Singapura dapat dirangkum melalui koleksi museum ini.

.: Asian Civilisation Museum :.

Sebagai pejalan yang terobsesi dengan sebuah awal mula dan titik nol suatu tempat, saya begitu tidak sabarnya untuk mencari di mana titik nol Singapura. Saya bertanya kepada beberapa orang, termasuk petugas museum, jawaban pakem yang saya terima adalah "Jalan saja lurus ke sana, nanti tanya lagi." Saya pun mengikuti saja jalur yang ada dan melipir ke tempat yang sepertinya menarik untuk diambil gambarnya. Dengan begitu, saya pun secara tak sengaja seperti menemukan kepingan-kepingan informasi yang tak banyak diperbincangkan, bahkan di kalangan para pejalan dan penulis perjalanan sekalipun.

Seperti misalnya keberadaan Dalhousie Obelisk di belakang Asian Civilisations Museum. Tugu ini dibangun tahun 1850 sebagai tengara atas kunjungan kedua Lord James Andrew, Marquis of Dalhousie dan Gubernur Jenderal India. Meskipun terbilang mini, menara sepuh ini pada masanya juga digunakan sebagai pengingat bagi para pedagang akan manfaat adanya perdagangan bebas. Di prasastinya terdapat tulisan dalam bahasa Jawi, Tionghoa, Tamil, dan Inggris di setiap sisinya.    

.: Sir Thomas Stamford Raffles Statue :.

Namun, saya mencari-cari keberadaan patung Sir Thomas Stamford Raffles. Informasi yang paling mendekati dari orang-orang yang secara acak saya tanya, mengarah pada keberadaan patung pendiri Singapura ini. Konon, tempatnya menjejak untuk pertama kalinya bumi Temasek pada tahun 1819 inilah yang dijadikan rujukan sebagai titik nol Singapura.

Tak jauh dari Dalhousie Obelisk, tepat di depan Victoria Memorial Hall di Empress Place, sebuah patung perunggu gelap yang menggambarkan sang pendiri Singapura berdiri tegak menghadap kawasan Teluk Marina. Patung ini dipahat oleh Thomas Woolner dan diresmikan pada 27 Juni 1887. Saya berasumsi bahwa posisi patung ini yang dirujuk sebagai titik pendaratan pertama Thomas Standford Raffles dahulu merupakan area pinggir sungai atau laut lepas sebelum Singapura melakukan proyek reklamasi. Namun, asumsi saya tak sepenuhnya tepat.

Patung yang berada di depan Victoria Memorial Hall memang patung asli yang digunakan sebagai penanda titik nol Singapura. Namun, lokasi titik nol aslinya berada di dekat sungai Singapura. Titiknya diberi nama Raffles Landing Site. Dahulu, patung perunggu hitam berfungsi sebagai tengaranya. Entah untuk alasan apa, sejak tahun 1969, tengara titik nol tersebut digantikan dengan patung polymarble putih. Informasi ini baru saya dapat setelah kembali ke Jakarta. Suatu kenyataan yang memberi saya alasan untuk kembali lagi ke Singapura.  

.: Esplanade Theatre :.

Entah mengapa, sepanjang perjalanan saya ke kawasan Marina ini, pikiran saya tak henti-hentinya membandingkan Singapura dengan Jakarta. Begitu mirip sekali keping-keping informasinya. Penggantian patung Raffles mengingatkan saya pada keberadaan patung Hermes di Jembatan Harmoni, yang patung aslinya saat ini bersemayam di halaman belakang Museum Fatahillah.

Bangunan lainnya yang mengingatkan saya pada Jakarta adalah Esplanade Theatre. Entah mengapa setiap kali seorang kawan menyebutkan Gedung Durian, pikiran saya merujuk pada Jakarta, bukan Singapura. Jakarta yang sering dijuluki sebagai The Big Durian City begitu terpatri di benak saya hingga alam bawah sadar langsung merujuk ke Jakarta setiap membahas tentang Esplanade Theatre yang fasadnya mirip sekali dengan buah durian ini. Banyak pertunjukan yang digelar di tempat ini. Namun, sejauh ini ada dua pertunjukan yang pernah dihelat di gedung ini dan saya sesali tidak dapat menontonnya karena menghadiri acara di tempat lain yaitu konser Vienna Philharmonic Orchestra dan Drama Musikal Laskar Pelangi.

.: Patung Merlion yang Melegenda :.

Betapa 'sempitnya' Marina, begitu banyaknya hal-hal ikonis dijejalkan di areanya yang pantang untuk dilewatkan. Dengan menyebarangi jembatan, saya menuju tengara yang sering menjadi alasan banyak turis menyambangi Singapura: patung Merlion. Patung berukuran mungil ini diresmikan tanggal 15 September 1972. Posisinya berada di muara sungai Singapura, diapit rimbunan gedung pencakar langit. Fasadnya akan tersamarkan dengan riuhnya pengunjung yang antre untuk mengambil swafoto. Sangat tidak disarankan untuk mengunjungi tempat ini saat langit sudah terang di libur akhir pekan.  

Sebenarnya, patung ini bukan satu-satunya tengara Singapura. Ada tujuh buah patung Merlion yang diakui oleh pemerintah Singapura. Dua di antaranya berada di kawasan Marina. Versi gigantisnya bersemayam di Sentosa. Sebuah lagi ditempatkan di Tourism Court dekat Grange Road. Sisanya, menunggu untuk ditemukan di kawasan Mount Faber. Melacaknya satu persatu merupakan pengalaman tersendiri.

.: Pohon Avatar di Singapore Garden by The Bay :.

Saat melihat matahari sudah semakin redup, saya memutuskan untuk kembali menjejak tempat ini keesokan paginya. Saat belum banyak pengunjung, saya pun dengan leluasa menikmati suasana 'alami' sepenggal lahan hasil reklamasi tahun 1970-an dari negara kota ini. Di waktu tertentu, tak jauh dari Merlion juga sering dijadikan sebagai wadah bagi Singapura untuk menghelat ajang marathon. Saya pun menyempatkan diri untuk berlari keliling area sekitar menuju Gardens by The Bay. 

Taman kota ini luasnya 101 hektar. Ada banyak tanaman tropis disemai. Meski tak selengkap koleksi anggrek di Kebun Raya Bogor, keberadaan flora cantik ini termasuk mendominasi. Yang lebih spektakuler, area ini (termasuk area sekitarnya) tampaknya berusaha untuk mencetak rekor tertentu. Supertrees yang bentuknya mengingatkan kita pada latar film Avatar garapan sutradara James Cameron. Gardens by The Bay juga mengoleksi air terjun dalam ruangan tertinggi di dunia.

Di seberang pintu masuk taman, sebuah bangunan mirip sekali dengan kapal terapung yang selamat dari tsunami Aceh, menjulang ke angkasa. Minaret berjuluk Sands SkyPark ini menampung kompleks perkantoran, hotel, kasino, dan restoran. Belum cukup dengan hal-hal spektakuler tersebut, sebagai latar muara sungai, Singapore Flyer diklaim sebagai bianglala tertinggi sejagad.

.: Singapore Flyer, Bianglala Tertinggi Sejagad :.

Segala hal yang tertata rapi di sepanjang bibir Marina ini tampak kalem saat siang hari. Namun atraksi yang lebih spektakuler justru dapat dinikmati saat malam hari. Bagai ujung dari pelangi, kawasan ini ditaburi cahaya laser yang disorot dari banyak sisi. Permainan cahaya tersebut seolah melengkapi bagian tenggara Singapura ini yang tak hanya meriah di siang hari, tetapi juga gemerlap di malam hari. Menjelang siang, saat pengab sudah mulai terasa, saya pun meninggalkan Marina dengan satu pikiran melintas di kepala, yang mau tak mau, memaksa saya membandingkan sepenggal Singapura dengan pelecut masa depan pariwisata nusantara. Marina seolah menjadi satu bukti sahih bahwa yang alami, selama tak terjaga dengan baik, akan tetap tersaingi oleh yang 'imitasi', namun dirawat sepenuh hati. [] 

20 komentar:

  1. Kalau kata teman, ketika kamu ingin ke eropa atau jepang. Kamu lebih baik main ke Singapura dulu,transportasi yang digunakan nyaris sama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, secara geografis memang menguntungkan kok bagi orang Indonesia untuk 'belajar' dulu saat bepergian ke luar negeri. Kuala lumpur bisa juga. Tapi di sana banyak orang bisa cakap melayu. Maka untuk belajar ngemeng keminggris direkomendasikanlah Singapura ini hehehe :)

      Btw, nanti kalo Jakarta dah punya MRT mungkin rujukannya jadi Jakarta mungkin. Kan anak-anak di mari udah pada keminggris jugak wkwkwk :P

      Hapus
  2. Aku harus balik lagi ke Singapura ini, soalnya banyak banget yang belum didatangi. Beberapa kali ke sana numpang lewat doang :(

    BalasHapus
  3. Gemerlap banget yah Singapura.. Sampai saat ini belum menjejakkan kaki di sana.. Tapi boleh juga tuh sebelum ke eropa, melancong dulu ke singapura..

    -Traveler Paruh Waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hasyeeek. Iya kak, bisa banget buat 'belajar' dan latihan dulu. Konon ada ujaran, kalau khatam Singapura, ke negara lain mah gampang. Sebenernya sih, yang lebih tepat, kalau enjoy jalan-jalan di Indonesia yang serba gak jelas, ke negara manapun mah asyik-asyik aja ;)

      Hapus
  4. Brp hektar sih marina itu, keknya sempit tp adaa aja yg baru ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehe sebenarnya sih gak terlalu luas. Tapi karena banyak spot aja, jadi seharian gitu kayaknya baru selesai jelajah semuanya. Aku dua hari cuma ngiterin tempat ini doang. Biar puas hehehe :)

      Hapus
  5. Deket, tanpa visa pula. Udah gitu, ada temen yang mau ke Singapur bulan maret nanti. Hmmm. Sabar sabar sabar. Nabung dulu..

    BalasHapus
  6. Balasan
    1. Hahahaha nulis luwes itu yang gimana? Yang saya lakukan cuma belajar terus menulis dan banyak membaca saja :)

      Hapus
  7. Ribuan kali aku ke Singapura tapi belum nyobain naik bianglala yang terbesar sejagad itu. It's not quite worth it. Ealah keminggris.

    Eh tapi di Singapura banyak yang bisa cakap melayu kok. Aku sih di sana pake bahasa kalbu. Diem aja daripada diajakin ngomong tante-tante genit.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamu belum hits berarti. Apa nunggu harus dibayarin dulu baru bisa naik bianglala tertinggi sejagat itu? Latihan dulu naik komidi putar di Pasar Malam Jombang yes. Hehehe :)

      Banyak kok. Di Bugis hampir semua cakap melayu. Sama bule doang aku ngomong bahasa Inggris. Di sini pun sudah aku Indonesia-kan kok kalimat singkatnya itu :)

      Hapus
  8. Saya sependapat banget dengan gaya perjalanan di tulisan ini. Ada begitu banyak tengara yang mungkin (dan pasti) kita lewatkan ketika bertandang. Kalau kita berjalan sedikit lebih pelan, melihat sedikit lebih lekat, mendengar sedikit lebih lama, tentu saja ada lebih banyak hal yang lebih dari rela untuk berbagi ceritanya, wkwk. Dirimu memang panutan banget Mas kalau masalah perjalanan seperti ini. Salut. Banyak hal yang saya pelajari dari sini. Sekarang saya berdoa supaya bisa datang ke sana dan melihatnya sendiri, syukur-syukur bisa bercerita juga, hehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduuuh, terima kasih. Tapi, setiap perjalanan itu personal banget kok sifatnya. Ada yang pelan-pelan, ada juga yang harus mengejar target ke sini ke situ supaya menghemat waktu. Sah sah saja semuanya.

      Aamiin. Semoga kesempatan itu segera datang :)

      Hapus
  9. Nice, seumur-umur belum pernah keluar negeri. hiks....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha main lah mz. Mure mure aja kok kalau 'cuma' ke Singapura :)

      Hapus
  10. Cerita jalan jalan di malaysia kapan release mas? Gak sabar nunggu ...

    BalasHapus