Minggu, 15 Oktober 2017

Pesta Raya Negeri Singa

.: Mari Kita Berpesta :.

Malam minggu. Musik berdentum sejak siang. Geliat pesta menyeruak. Orang beramai-ramai menuju kerumunan. Singapura siap berpesta. Di dalam kereta cepat terpadu, anak-anak muda tampak membawa balon pukul berbentuk silinder menuju stadion. Warnanya merah putih. Saya luput memperhatikan hiasan bintang dalam motifnya. Jika tak ingat sedang berada di luar negeri, bulan Agustus pula, saya akan mengira sedang berada di kereta listrik jurusan Serpong - Palmerah yang penuh pendukung timnas Garuda menuju Gelora Bung Karno.

Tapi saya sedang berada di Singapura. Negeri mungil di jantung Asia Tenggara yang sedang berjaya. Tak punya agenda untuk bergumul dengan mereka yang sedang bersuka ria, saya memilih untuk menuju perpustakaan nasional. Persis seperti yang saya rencanakan semula. Saya ingin mencari informasi tentang masa lalu Singapura, termasuk sejarahnya, mengenal literasi yang ada, dan di luar itu semua, saya yakin, tak banyak (atau bahkan tak ada) orang Indonesia yang akan bertandang ke sana.  

.: Bersiap Menuju Pesta :.

Langit agak mendung. Langkah-langkah yang memang sudah gesit alami warganya, seperti terdorong untuk bergerak lebih cepat lagi. Berbekal kebiasaan berjalan jauh di kampung, saya tak merasa kesulitan untuk mengimbangi. Sore itu, hanya ada sedikit pengunjung. Mereka adalah mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas kuliah, beberapa warga yang juga ingin menghindar dari keriuhan, dan dari buku pengunjung, memang saya satu-satunya pengunjung yang berkewarganegaraan Indonesia, bahkan sejak seminggu ini. 

Lalu semuanya kembali hening. Semua asyik menekuri buku masing-masing. Betapa 'suram' sepertinya dunia muda-mudi yang menghabiskan malam minggu di perpustakaan kota. Lalu 'setan' di kepala saya datang. Pandangan mata saya menerawang ke baliho di gedung seberang. Ada pameran. Yang bertandang mayoritas seusia mahasiswa. Seperti saya. Saya pun tergoda menjadi bagiannya.

.: Would you like some beers, darling? ;) :.

Bertempat di lantai dasar Gedung National Design Centre, sebuah acara bazar digelar. Acara ini sepertinya 'sesuatu' sekali bagi anak muda Singapura. Semacam acara bazar dari beragam komunitas. Ada yang menjual makanan khas daerah, kerajinan tangan semacam kartu pos dan suvenir, buku-buku indie, kaos customize, sabun alami, dan bir. Suasananya mirip pasar. Baru kali ini saya mendengar bahasa Inggris dan mandarin secara bersautan dalam suatu kerumunan.

"Sila dicoba bro, gratis satu botol untuk dicicip." kata seorang pramusaji dengan logat singlish (Singapore English) yang menawarkan minuman dingin dalam kemasan botol beling saat saya menunjukkan ketertarikan.

Tapi, begitu tahu itu bir, saya pun urung untuk mencicipnya atau malah membawanya pulang. Meskipun gratis. Saya segera menuju Masjid Sultan sebelum adzan magrib berkumandang. Saya baru ingat ada janji untuk mengantar seorang kawan ke bandara Changi sore itu. Meski jalanan ramai, sebagai pejalan kaki, saya justru merasa diistimewakan di sini. Trotoar lebar dan bersih. Tidak becek dan tidak dipakai pedagang asongan. Lampu merah ya artinya semua kendaraan berhenti di luar area zebra cross, bukan menutupi area untuk menyeberang. Satu hal lagi yang saya pelajari dari hidup di negara yang serba teratur ini.  

.: Suatu Sore di Singapura :.

Selepas magrib dan makan malam, saya bertolak ke Changi untuk mengantar kawan. Sekembalinya, sebenarnya saya ingin ke arah stadion. Tapi ternyata acara perayaan sudah selesai. Saya bertemu dengan rombongan yang tadi saya temui di kereta saat siang. Apa boleh buat, saya pun kembali ke Masjid Sultan untuk isya'. Selepas isya', tubuh rasanya ingin mencicipi teh tarik barang seteguk.

Malam masih terlalu muda untuk diseret ke kamar penginapan. Tak jauh dari kedai tempat saya duduk sejenak menikmati teh tarik, segenap perayaan ternyata telah menanti untuk dimulai. Semua berpusat di Gedung Malay Heritage Centre. Bagaimana mungkin saya melewatkan informasi ini? Lokasinya persis sepelemparan batu dari tempat saya menginap.

.: Tarian Khas Melayu :.

Sederet acara ternyata telah berlangsung sejak sore. Ada bermacam atraksi yang ditampilkan di panggung depan Gedung Malay Heritage Centre. Begitu saya datang, EO acara memberikan pengumuman jika acara selanjutnya akan dibagi dalam beberapa atraksi yang 'dipecah' di beberapa lokasi di sekitar situ juga. Saya yang bingung, lalu mengikuti salah satu kerumunan anak-anak muda dengan pakaian warna-warni menuju ke sepetak tanah lapang berumput hijau.

Tiba-tiba semua orang sudah duduk menghadap spot yang disorot lampu taman. Diiringi musik tetabuhan, rombongan muda-mudi berbaju warna-warni mulai melenggak-lenggok menari. Saya tidak tahu nama tariannya. Yang jelas, gerakannya mirip Tari Zapin dan Tari Joget Lambak dari Kepulauan Riau. Saya yang sudah terbiasa menonton pertunjukan seperti ini, baik di kampus atau di acara Agustus-an di Jakarta sih mungkin akan merasa biasa saja. Tapi, sambutannya malam itu begitu meriah.

.: Bersama Penari Melayu :.

Panitia yang mengenali saya bukan warga Singapura, langsung meminta saya untuk bergabung dengan grup penari. Awalnya saya bingung mengikuti gerakannya. Lalu dipandu oleh salah seorang pelatih grup tari itu, pada repetisi ketiga, saya sudah lancar mengikuti ritme gerakan tariannya. Terus terang, baru kali ini saya ikut menari 'adat' seperti ini, di pertunjukan acara peringatan kemerdekaan negara lain pula. Sebagai ucapan terima kasih, setelah pertunjukan selesai, saya diminta untuk berfoto bersama. 

Malam semakin larut. Saya pun berpindah lokasi ke tempat atraksi selanjutnya. Sebelumnya, saya melipir sebentar ke tempat bazar muda-mudi. Barang yang diperdagangkan relatif sama dengan yang dijual di Gedung National Design Centre. Namun, selain lokasinya outdoor, yang membedakannya, di sini ada DJ untuk mengakomodasi mereka yang ingin 'bergoyang' atas bawah. Karena isinya anak-anak muda semua, tiba-tiba saya melirik, pasti di sini ada bir dingin. Soalnya, yang berjoget seperti sudah typsi dan kurang heboh. Meski musiknya biasa saja, yang 'melantai' ternyata banyak juga. 


.: DJ ala ala :.

Saya tak dapat menilai secara keseluruhan kehebohan anak-anak dugem Singapura. Tapi yang ada di sini, sepertinya biasa saja. Bukan tipe anak-anak pesta. Bahkan, jika dibandingkan dengan ajeb-ajeb paling biasa saja di Kuta pun, anak muda Singapura bisa disebut lebih salih. Menyaksikan musik yang tidak begitu bergairah, saya pun menyeret langkah menuju penginapan, dan harus berbesar hati menyadari bahwa tak setiap pesta selalu bersanding dengan pora. []

20 komentar:

  1. Heee menyatu dengan keramaian pesta di Negara tetangga mas. Tetap seru :-D

    BalasHapus
  2. wuih ternyata di singapura ada pertunjukan tari juga ya
    heuheuheu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada. Sepertinya hasil akulturasi dengan kebudayaan dari Sumatra. Dulu kan wilayah ini bagian dari kekuasaan kerajaan Sriwijaya :)

      Hapus
  3. Ada Malay Heritage Centre ya? Aku pikir Singapura itu isinya pendatang semua jadi ga punya akar. Ngobro-ngobrol, aku malah penasaran sama musik yang tidak begitu bergairah. Ga kebayang :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada. Mampirlah di mari. Lumayan bisa membuka mata terhadap muasal Singapura di masa lampau. :)

      Hapus
  4. seri cerita singapuranya bikin nagih terus untuk dibaca, suka karena dari sudut pandang lain, alih2 ke tempat2 yang ikonik, ini malah nggak, lebih ke pengalaman si penulis yang "alim" heheh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwk, saya tidak anti kok main ke tempat ikonik itu. Nanti akan ditulis juga. Tapi dengan bahasa dan sudut pandang yang agak beda hehehe :)

      Hapus
  5. Aku pasti gemulai klo diajakin joget bareng sama mereka ahahaha. Itu botol tigernya cuma dipamerin aja yak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huahahaha wis ta laah, gak usah diumbar ndik kene.

      Sebagai anak sholeh, tentu saja cukup pamer aja, gak perlu icip-icip segala. Dosak :P

      Hapus
  6. Seru ya mas, bisa berkumpul dan berfoto dengan penari disitu.

    BalasHapus
  7. jalan kaki di singapura memang menyenangkan ... nyaman dan banyak yang bisa dilihat :)

    BalasHapus
  8. Hahahahaha mereka lbh sholeh ya kalo dugem :p. Ga kebayang anak2 muda korut lg kalo ajibb2 gimana hihihi...

    Seru banget bisa ksana pas lg perayaan mas. Paling yg pernah aku rasain, pas ngerayain hari kemerdekaan malaysia dulu. Tp itu ga heboh2 amat juga. Salutlah ama singapur ini, apa krn kecil dan imut2 jd penduduknya lbh tertib dan disiplin dlm semua hal yaa.. Ntah kapan orang2 kita bisa disiplin begitu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin karena mereka sudah dibiasakan disiplin, jadi mau seheboh apapun tetap aja 'rapi'. Sungguh masih akan lama hal-hal seperti ini akan terjadi di Jakarta. Hiks :'(

      Hapus
  9. negara kecil yang begitu teratur, warganya begitu disiplin... keren mas postingnya :)

    BalasHapus
  10. Mantap jadi pengen nabung ke leonpure hhhh. Mambir ke emperanq bang www.ivlikes.com

    BalasHapus