Sabtu, 07 Oktober 2017

Bandar Bugis

.: Sebuah Jendela Kafe di Kawasan Jalan Arab :.

Deretan roda kereta bergerak dengan cepat. Mobil-mobil melesat. Kaki-kaki manusianya berderap dengan lincah. Jalanannya bersih. Jalurnya sungguh teratur. Negara mungil seukuran Jakarta ini tak henti-hentinya membuat kagum dunia. Tak ada sumber daya alam yang dikandung dalam perut buminya. Tak ada pula peninggalan ratusan tahun seperti candi atau artefak sejarah.

Namun begitu, setiap jengkal aset yang dimilikinya seolah memiliki presisi untuk menjadi magnet yang mampu menarik turis dari seluruh penjuru dunia untuk singgah. Singapura bisa jadi asing dengan istilah surga tersembunyi karena semua destinasinya sudah terpampang dalam brosur wisata. Tapi bukan berarti tak ada yang baru. Setiap tempat berubah. Setiap titik menyublim dalam tampilan baru yang lebih memikat. Dan hal-hal yang bisa dibilang baru (bisa jadi malah artifisial) justru menunggu untuk 'ditemukan' kembali keberadaannya.    

.: Masjid Sultan, Tengara Kawasan Bugis :.

Saya datang saat segenap kota sedang berpesta. Negara ini masih muda. Dan ingar bingar perayaan kemerdekaannya menyeruak di seluruh penjuru negara. Berusaha menyelinap dan menghindari suasana hiruk pikuk, saya menuju sebuah penginapan murah yang terletak di gang kecil dekat Masjid Sultan. Entah mengapa, suasananya relatif 'hening'. Paling tidak, teriakan-teriakan yang terdengar, mengalun dengan lembut. Saya langsung jatuh hati dengan atmosfer lingkungannya. Mungkin ini yang disebut sebagai cinta pada pandangan pertama.

Keesokan paginya, saya baru mengambah kawasan Masjid Sultan. Masjidnya tak terlalu besar meski disebut mesjid raya. Ukurannya tak lebih dari masjid-masjid perumahan di Jakarta. Tengara negara yang dibangun awal 1920-an ini merupakan episentrum kegiataan keagamaan di Negeri Singa. Tak jauh dari masjid juga ada sekolah muslim yaitu Madrasah Alsagoff Al-Arabiah yang dibangun tahun 1912 dan masih digunakan hingga sekarang. Meski terbilang mini, sepertinya melalui Masjid Sultan dan area yang melingkupinya, negeri mungil di jantung ASEAN ini seakan ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa di tengah riuhnya persaingan memperebutkan label destinasi halal di dunia pariwisata, Singapura punya secuil 'aset' untuk ditawarkan sebagai wahana yang nyaman bagi kaum muslimin.

.: Madrasah Alsagoff Al-Arabiah :.

Tidak ada penjaga sandal. Tidak ada kekhawatiran kehilangan sepatu. Saya yang terbiasa menyiapkan tas plastik untuk membungkus alas kaki, kali ini urung melakukannya, bahkan di saat jam sibuk riuh jamaah. Bagi saya, 'tamparan' pertama sedang berlaku. Apa yang lebih tidak membanggakan ketika kita berusaha menyebut diri paling Islami, paling unggul dalam menyediakan wisata halal kelas dunia, namun memberikan rasa tenang dan nyaman akan hal sederhana, jaminan tidak akan kehilangan alas kaki tanpa harus menitipkannya ke tempat penitipan, urung kita lakukan.

.: Menyambut Pagi dengan Bercengkerama Bersama Merpati :.

Setelah selesai sembahyang pagi dan mengisi air minum, saya menuju kedai mungil tak jauh dari masjid. Kedai ini diampu oleh dua orang lelaki uzur yang energik keturunan India. Saya memasan nasi lemak dan segelas teh tarik panas. Konon, kedua menu tersebut merupakan bahan bakar terbaik untuk memulai hari. Dan di kedai ini, menu tersebut diklaim menjadi yang termurah seantero Singapura. Nasinya harum pandan dan teh tariknya menguarkan semangat.

Kata sahabat saya di Jakarta, "Ayahku kalau nyetir mobil ke Jogja, biasanya suka minum teh tarik pas di rest area. Katanya, bisa bikin mata melek dan tambah greng." Hipotesis yang saya makan mentah-mentah dan menjadi pedoman saat menjelajah suatu daerah.

.: Deretan Ruko di Kawasan Jalan Arab, Bugis :.

Singapura di pagi hari menjadi sebuah anomali. Memiliki roda waktu lebih cepat dari Jakarta tapi sepertinya memulai hari agak lebih lambat. Lorong-lorong jalannya masih sepi, sementara di jam yang sama, Jakarta sudah mulai menunjukkan tanda defisit jalanan kota. Saya menyempatkan diri untuk menyapa sekawanan burung merpati di samping pelataran masjid. Mereka hidup liar. Seseorang tiba-tiba membagi segenggam bulir jagung untuk disebar di pelataran. Saya pun segera menyambutnya untuk membantu memberi makan merpati, hingga matahari sudah sepenggalah dan ruko-ruko mulai membuka pintunya.

Bagi saya, ini sungguh ajaib. Di antara kepungan konstruksi beton pencakar langit dan proyek reklamasi, sebuah kawasan pemukiman Melayu di masa silam diawetkan oleh pemerintah Singapura melalui program restorasi yang mulai berjalan sejak 1980-an. Bangunan-bangunan yang bercokol di atasnya, disulap menjadi kantung-kantung wisata yang ramah bagi turis. Beberapa telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Ruko-ruko dengan warna meriah berderet rapi. Ruko-ruko ini mirip sekali dengan bangunan serupa di Medan, kota tua Jakarta, Melaka, dan Penang. Fasad bangunannya mengingatkan saya pada konstruksi Grimmauld Place No. 13 yang ditempati oleh anggota Orde Phoenix dalam kisah Harry Potter.

.: Mirip Sekali dengan Grimmauld Place No. 13 :.

Melewati trotar di depannya, saya seakan menyaksikan parade akulturasi budaya yang saling berkelindan. Sebuah ruko yang menyediakan menu khas Jawa Timur, bersebelahan dengan ruko yang menjual bahan-bahan obat resep Tionghoa. Di seberangnya tampak sebuah kedai yang menjual aneka bumbu rempah-rempah nusantara. Di sisi jalan yang lain, saya menikmati mural-mural berwarna, deretan toko kain dan karpet, kedai kopi, kafe, dan warung, serta toko-toko kecil yang menjual cenderamata.Tak jauh dari situ, deretan kedai nasi briyani yang dimiliki orang-orang India dan Arab bersaing ketat memikat calon pelanggan.

Etnis-etnis itulah yang memang menjadi penghuni awal kawasan ini selain pendatang dari Sumatera, Banjar, dan Riau. Demi menyederhanakan identifikasi oleh pemerintah, kawasan ini disebut sebagai Kampung Gelam, area yang menempati secuil kawasan Bugis Town

.: Rempah-rempah yang disajikan di sebuah toko rempah di Singapura :.

Untuk memahami lebih lanjut, saya tergerak untuk menyeberang jalan menuju Malay Heritage Centre. Museum bagi saya merupakan oase untuk mencari jawaban atas kepingan-kepingan informasi yang berasal dari masa lampau. Menempati bangunan bekas Istana Kampung Gelam yang dibangun tahun 1819, saya sedikit tercerahkan dengan fenomena keberagaman yang ada di kawasan ini. 

Semua bermula saat Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles menyetujui hubungan dagang dengan Sultan Riau yaitu Sultan Husein pada tahun 1819. Segera setelah perjanjian tersebut disetujui, sang Sultan langsung memboyong keluarga dan armada dagangnya ke Singapura. Mereka menempati area yang sekarang disebut Kampung Gelam ini. Seiring berjalannya waktu dan banyaknya imigran yang berdatangan, tempat ini menjadi semacam pusat komunitas orang-orang Melayu dan muslim dari Sulawesi, Jawa, Banjar, Sumatra, dan semenanjung Malaya. 

.: Istana untuk Pentas Kebudayaan Melayu :.

Di dalamnya, saya dapat menyaksikan artefak seperti keramik-keramik kuno, replika kapal-kapal dagang, baju-baju yang dipakai oleh penduduk, buku-buku yang dibaca dan dipelajari di sekolah, gramaphon tua, dan 'metamorfosis' rumah toko yang berjajar rapi seragam dengan arsitektur khas Melayu.

Jika diperhatikan, hubungan dagang dan akulturasi di masa lampau menyebabkan adanya percampuran budaya. Maka tak heran jika di masa ini, kita kerap dikejutkan dengan adanya klaim-klaim kebudayaan yang terjadi dengan negara tetangga. Asalnya memang sama, yaitu dari orang-orang yang berasal dari kawasan nusantara. Bahkan, di belakang museum ini pun, saat itu ada pertunjukan wayang.

.: Santap Siang di Restoran yang Menempati Gedung Kuning :.

Berada di lokasi sekitar ekuator, saya sejenak sadar saat melangkah keluar dari Istana Kampung Gelam menuju Gedung Kuning. Udara panas sekali, lembab seperti mengandung garam. Mungkin nanti akan turun hujan. Awan sudah bergulung-gulung. Meski menempati area tak lebih dari wilayah RT sebagaimana di Jawa, berkeliling area Kampung Gelam ternyata cukup menguras tenaga. Demi ingin menyaksikan bagian lain Singapura yang lebih berwarna, saya segera masuk ke gedung sepuh bertiti mangsa 1912 ini, memesan makanan lalu menyantapnya, dan kembali ke penginapan untuk membuat 'jeda'. Saya tak menginginkan 'cinta pada pandangan pertama' ini melesat gesit begitu saja seperti langkah Singapura meraih ambisi menjadi 'jawara' di Asia Tenggara. []   

16 komentar:

  1. cerita yang tak biasa dari singapura, berada jauh dari keramaian kota, sangat menarik. lagi2 kita selalu kagum dengan SDM singapura

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin tempatnya sudah banyak dikunjungi kawan-kawan pejalan juga, tapi saya mengambil sudut pandang yang lain saja mz hehehe :)

      Hapus
  2. Kirain bukan di Singapura, kirain di Makassar..hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha banyak pelaut Bugis yang melakukan hubungan dagang di Singapura masa lampau mz, jadi ada wilayah bernama Bugis di sana :)

      Hapus
  3. Walaupun negara berjiran, saya jarang ke Singapura sebab semuanya mahal di sana...

    BalasHapus
  4. Ini keren, biasanya kalau orang cerita Singapura itu-itu mulu, tapi ini beda, dan jadi referensi kalau kesana..
    Suasananya adem, apalagi Masjidnya, pengen bisa shalat disana..

    Btw, salam kenal ya, Mas..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mz, salam kenal juga. Sempatkan berkunjung ke Masjid Sultan. Suasananya asik. :)

      Hapus
  5. Sebetulnya singapura itu sangat beragam ya, mirip jakarta mungkin kalp disini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya lebih berwarna Jakarta lho kalau dilihat lebih dekat. Hanya, kalau di Jakarta kelihatan lebih 'seragam' aja tampak luarnya, termasuk bangunannya :)

      Hapus
  6. Singapura walau luas wilayahnya kecil, tapi mereka bisa mengelola berbagai wisata budaya, heritage, dan lainnya dengan baik. Salut dengan mereka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali. Itu modal dasar yang dimanfaatkan maksimal sama mereka. Ongkosnya memang tidak murah untuk merawatnya. Tapi, manfaat yang diperoleh juga tidak tanggung-tanggung :)

      Hapus
  7. singapura terkenal dengan keteraturan dan keamanannya ... jadi sandal atau sepatu diluar pasti aman .... memang agak ironi dengan negara kita ya .. hiks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget lho mz. Sangat disayangkan dengan sederet klaim-klaim prematur, apalagi sampai bawa-bawa agama segala. Malu sih sebenernya :'(

      Hapus
  8. Baca ini, jadi pgn balik ke SG. Aku sering bolak balik k negara ini, tp jujurnya ga terlalu merhatiin hal2 kecil ttg pemukiman, orang2 ato lokasinya. Biasanya ksana cm utk have fun, ngelepasin stress, trs balik jkt. Remeh banget -_- . Mungkin kalo balik ksana lg, aku mau coba cara lain utk ngelepasin stress nya :D.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kebanyakan emang kalau orang Indonesia ke Singapura ya gak jauh-jauh dari Orchard, Marina Bay, atau Universal Studio. Ini karena memang dari awal senang banget nginep di kawasan ini, jadi sekalian eksplor aja hehehe :)

      Hapus