Kamis, 03 Agustus 2017

Ruang Rupa Lukisan Istana

.: Lukisan Perkawinan Adat Rusia karya Konstantin Egrovick Makowsky :.

Dua tahun terakhir, ruang utama Galeri Nasional menyublim menjadi jendela untuk mengintip dinding istana kepresidenan. Sudah lama menjadi buah bibir di kalangan tamu negara bahwa istana-istana kepresidenan di Indonesia menyimpan benda seni dan artefak terindah di dunia, salah satunya adalah lukisan. Namun, keindahan itu hanya dapat dinikmati oleh sedikit sekali masyarakat dan lebih banyak bergaung sebagai rumor yang didengungkan oleh mereka-mereka yang pernah sambang ke istana. Bermula dari hal tersebut, pihak istana melalui Sekretariat Negara berusaha 'mendekatkan diri' dengan membuka isi 'perut' istana kepada masyarakat. Salah satunya dengan memamerkan beberapa koleksi lukisan istana.

Pameran perdana yang dihelat setahun silam memajang setidaknya 28 buah lukisan dengan tajuk Goresan Juang Kemerdekaan. Berusaha mengulang sukses yang sama, tahun ini sebanyak 48 lukisan karya dari 41 perupa dipamerkan dengan tema Senandung Ibu Pertiwi. Dibagi dalam empat subtema yaitu pemandangan alam, kesehari-harian, tradisi, serta mitologi dan religi, lukisan yang dipamerkan telah melewati kurasi sehingga setidaknya dapat mewakili karya seni terbaik yang dimiliki negeri ini.

Beberapa kali mempunyai kesempatan untuk 'bertugas' di istana-istana kepresidenan sebenarnya cukup memberikan impresi mendalam tentang lukisan-lukisan yang dikoleksi istana. Meski hanya mendengar kisah-kisah Bung Karno dari buku, tayangan dokumenter, dan cerita ayah, saya jadi semakin yakin dengan tangan dingin Soekarno dalam memilih dan memilah karya-karya seni yang patut menghiasi dinding istana. Saya sering takjub dan berdiri lama saat melihat lukisan berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh di dinding Ruang Resepsi Istana Merdeka, Jakarta. Di kesempatan lain, saya bisa berdiri berlama-lama di Ruang Teratai Istana Bogor hanya untuk mengagumi lukisan berjudul Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari karya Basoeki Abdullah.

.: Menikmati 'Pemandangan Alam' :.

Perasaan tersebut timbul kembali saat saya memasuki ruang pameran di Galeri Nasional. Sebuah lukisan dengan ukuran superlatif dijadikan sebagai semacam ucapan selamat datang. Saya ingat betul. Lukisan itu berjudul Perkawinan Adat Rusia karya Konstantin Egrovick Makowsky. Lukisan yang dibuat tahun 1881 dan dihadiahkan oleh Presiden Rusia kepada Presiden Soekarno tahun 1956 ini menghiasi dinding sebelah barat ruang kerja presiden di Istana Bogor. Namun begitu, mengingat terlalu riskan untuk memboyong lukisan aslinya demi sebuah pameran, lukisan ini hanya disuguhkan dalam format digital.

Ruangan selanjutnya menampilkan lukisan pemandangan. Kategori ini paling banyak jumlahnya. Dalam dunia seni rupa modern di Indonesia, lukisan seperti ini disebut dengan gaya Mooi Indie. Bung Karno menyukai lukisan pemandangan bukan hanya karena lukisan-lukisan ini menjadi fragmen tentang betapa indahnya alam Indonesia, tetapi juga bahwa mozaik tentang alam nusantara juga dapat dijadikan sebagai simbol atau gambaran mengenai visinya tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia.

.: Lukisan berjudul Jalan di Tepi Sawah karya S. Sudjono :.

Di antara banyak lukisan pemandangan, tentu yang paling saya ingat adalah lukisan dengan judul Jalan di Tepi Sawah karya S. Sudjono. Lukisan ini biasa menghiasi ruang tengah Istana Cipanas. Sebenarnya lukisannya 'biasa' saja, persis seperti 'rumus' melukis pemandangan saat SD dulu yaitu berupa gunung, sawah, jalan lurus bertemu di satu titik horison, pohon di kanan-kiri jalan, dan matahari terbit di sela-sela gunung. Tapi yang membuat lukisan ini istimewa yaitu dari arah manapun lukisan ini dipandang, maka jalan yang ada di lukisan akan terlihat lurus dari tempat kita berdiri. Maka dari itu, lukisan ini juga populer mendapat sematan Jalan Seribu Pandang.

Lukisan lainnya yang tak kalah istimewa adalah lukisan berjudul Harimau Minum. Raden Saleh sering disebut seorang jenius gara-gara lukisannya sungguh dramatis yang membuat penikmat karyanya seolah sedang berada di situasi yang digambarkan dalam lukisan. Seperti halnya lukisan ini. Meski memberi kesan muram, jika diamati lebih mendalam, kita seolah sedang diajak berkelana ke dalam hutan Sumatra yang masih rimbun dan perawan, di mana mata air masih mudah dijumpai, dan pepohonan hijau begitu jumawanya menjulang. Suatu keadaan yang begitu dirindukan kembali bisa hadir di banyak hutan nusantara yang sudah banyak disulap menjadi kebun sawit.

.: Lukisan berjudul Harimau Minum karya Raden Saleh :.

Selain koleksi lukisan yang murni ide pelukisnya, ada satu lukisan yang direproduksi dari sketsa cat air karya Bung Karno. Lukisan tersebut berjudul Pantai Flores karya Basoeki Abdullah. Bung Karno melukis panorama alam Flores yang memanjakan mata saat beliau diasingkan oleh Belanda di Ende.

Memasuki bagian kedua tema pameran yaitu tentang dinamika keseharian, saya tertarik dengan lukisan berjudul Itji Tarmizi berjudul Lelang Ikan. Lukisan ini dibuat tahun 1963, namun situasinya masih sangat relevan sekali saat ini. Entah mengapa, begitu melihat lukisan ini, saya lalu teringat dengan Menteri Susi Pudjiastuti dengan kebijakannya di bidang kelautan. Betapa dari masa ke masa, nelayan tradisional kita hidup serba kekurangan dan hanya 'menghamba' pada kekuatan pemodal yang lebih besar. Dengan kebijakan yang dijalankan oleh Ibu Susi, masyarakat Indonesia, khususnya nelayan, berharap mendapat penghidupan yang lebih baik lagi dari hasil laut nusantara. 

.: Suasana di Perkampungan Nelayan karya Itji Tarmizi :.

Selain lukisan Lelang Ikan, ada dua lagi lukisan yang menggambarkan kehidupan pesisir dalam pameran ini yaitu lukisan berjudul Keluarga Nelayan karya Renato Cristiano dan Sungai Musi di Palembang karya Ernest Dezentje. Kerja keras dan dinamika masyarakat di Indonesia juga direkam dalam lukisan Bekerja di Sawah di Bali karya Rudolf Bonnet dan Ketjintaan oleh Tino Sidin.

Saya melanjutkan menikmati lukisan di bagian lorong panjang yang menampilkan sosok perempuan. Ada sekitar 50 lukisan perempuan berkebaya yang dikoleksi istana, namun hanya sepuluh saja yang diboyong keluar untuk pameran ini. Lukisan-lukisan tersebut menampilkan sosok-sosok anggun perempuan Indonesia dengan busana kebaya.

.: Perempuan Berkebaya Hijau karya Thamdjidin :.

"Bung Karno suka dengan lukisan perempuan berkebaya karena kebaya itu identitas. Sama halnya dengan kegemaran beliau memakai peci. Peci juga merupakan identitas bangsa." kata Asikin Hasan, salah satu kurator pameran.

Di antara sepuluh lukisan perempuan berkebaya, saya terpukau dengan lukisan berjudul Wanita Berkebaya Hijau karya Thamdjidin. Lukisan ini dilukis tahun 1955. Warna hijau kebayanya begitu cemerlang. Sosok yang menjadi model lukisannya pun sangat cantik. Selain itu, saya juga takjub dengan lukisan berjudul Perempuan Berkebaya Kuning karya Sumardi. Kedua lukisan wanita berkebaya tersebut beririsan sub-tema yaitu tradisi dengan latar pemandangan alam. Sangat Indonesia. Saya meninggalkan lorong yang memajang lukisan berkebaya dengan perasaan berdebar. Hal itu karena ruangan berikutnya berisi lukisan-lukisan yang paling ingin saya lihat dalam pameran ini.

Termaktub dalam subtema terakhir yaitu ada tiga lukisan karya Basoeki Abdullah yang menarik perhatian. Lukisan-lukisan tersebut mungkin sudah banyak dikenal masyarakat luas karena terlampau sering dibuat duplikatnya. Dua lukisan pertama berada di satu ruangan. Kedua lukisan ini saya ingat tergantung di dinding Ruang Resepsi Istana Merdeka, Jakarta.

.: Mitos dan Mistis dalam Lukisan Basoeki Abdullah :.

Yang pertama adalah lukisan berjudul Gatotkaca dengan Anak-anak Arjuna, Pergiwa dan Pergiwati. Lukisan yang dibuat tahun 1955 ini berangkat dari obrolan ringan antara Basoeki dengan Bung Karno tentang sosok Bima. Keduanya mengidolakan Gatotkaca karena sosoknya begitu maskulin dan punya kedigdayaan mampu berperang tanpa menggunakan senjata. Di luar itu semua, sosok Gatotkaca juga dikenal sebagai idola para perempuan. Hal ini digambarkan melalui sosok Pergiwa dan Pergiwati yang merupakan putri kembar Arjuna dari Dewi Mamuhara. Meski cerita aslinya, Arjuna hanya mempersunting Pergiwa, namun dalam lukisan gubahan Basoeki Abdullah, Gatotkaca digambarkan berhasil mempersunting keduanya.

Lukisan di sebelahnya terlihat mistis. Lukisan berjudul Nyai Roro Kidul dibuat dengan melibatkan ritual tertentu. Konon, sang pelukis harus meminta izin dulu kepada sosok 'Nyai' di Pantai Parangtritis, Yogyakarta dan diperkenankan untuk melukisnya dengan syarat agar wajah asli Sang Nyai tidak ditampakkan. Itu artinya sang pelukis harus menggunakan model untuk mengganti sosok wajah Sang Nyai. Kabar yang agak membuat ngeri yang pernah saya baca, konon juga bahwa model-model yang 'memerankan' sosok Nyai Roro Kidul menderita sakit berkepanjangan setelah selesai dilukis. Bahkan ada juga yang meninggal dunia. Memerhatikan dari dekat lukisan Nyai Roro Kidul ini memang sanggup membuat bulu kuduk berdiri. Makanya, saya segera melipir ke ruangan terakhir yang tak kalah membuat dada berdebar.

.: Jika Tuhan Murka karya Basoeki Abdullah :.

Sebenarnya ada banyak lukisan di ruang terakhir. Tapi, satu lukisan dengan ukuran superlatif ini sanggup membuat mata saya langsung tertuju kepadanya. Warna lukisannya didominasi warna merah dan hitam. Lukisan itu berjudul Jika Tuhan Murka. Diproduksi tahun 1950. Saya ingat lukisan itu tergantung di salah satu dinding di Istana Bogor. Banyak kisah yang meliputi hal ihwal lukisan ini dibuat. Dari kisah tentang patriotisme, mata-mata, Konferensi Meja Bundar, cinta, penarikan tentara Belanda dari Wonosari, Yogyakarta, hingga pembuktian atau serapah yang akan terjadi jika seseorang yang diduga sebagai mata-mata terbukti berdusta. Karya personal yang sungguh mereguk emosi ini terinspirasi dari lukisan berjudul Great Day of His Wrath karya John Martin yang dilukis tahun 1853.

.: adie DOES: Sang Arjuna Mencari Cinta :.

Saya keluar dari ruang pameran dengan benak penuh tanya. Betapa memang istana memiliki koleksi luar biasa. Dari 3.000-an lukisan yang ditinggalkan Bung Karno dan menjadi aset istana, hanya beberapa saja yang dapat dan sudah saya lihat. Beberapa malah membuat saya tercengang. Betapa bapak bangsa yang terkenal tegas dengan orasinya yang selalu gegap gempita ternyata menyimpan jiwa seni yang menuntut kelembutan hati. Dan melalui 48 buah lukisan yang dipamerkan di Galeri Nasional tahun ini, setidaknya mampu mewakili segala hal yang terbentang di bumi Indonesia berikut dinamika di dalamnya yang 'dipotret' dengan apik dalam goresan kanvas perupa nusantara. []   

4 komentar:

  1. Lukisannya giman gitu kalau melihat. Semacam mistis, padahal aku melihat dari foto ini. Tidak melihat secara langsung.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget mz. Apalagi kalau lihatnya langsung di ruangan-ruangan Istana Kepresidenan. Ada nuansa 'mistis' sih sepertinya. Atau cuma perasaan saya aja ya hehehe. :)

      Hapus
  2. Aku kalau bisa ke sana bakalan betaaaah banget. Suka sama lukisan. Lebih ke takjub sih, gimana bisa orang bisa bikin lukisan sebagus itu.

    Sayang, foto no.2 itu gak asyik dilihat ya. Bikin sakit mata hahaha

    omnduut.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huahahahaha teteup ya. Di antara komentar serius terselip sesuatu :D

      Hapus