Senin, 31 Juli 2017

Lari Ceria di Pocari Sweat Bandung West Java Marathon 2017

.: Start line. Ada yang sibuk memutar smartwatch, ada yang sibuk foto :P :.

"Jadi kapan dong dirimu pakai jersey #DJPR pas race lari?"

Pertanyaan itu selalu saja terlontar saat saya selesai mengikuti ajang kompetisi lari tetapi selalu luput memakai jersey kebanggaan. Setelah mendapatkan jersey Indorunners singlet pertama kali, saya tidak pernah lagi memakai kaos race dari panitia. Setelah itu model kaos yang saya pakai selalu singlet. Suatu kali saya terpaksa harus memakai kaos race yang memang modelnya press body karena startnya pagi sekali dan saya harus sholat subuh dahulu. Tak mungkin kan saya sholat pakai singlet

Janji Manis

"Kalau ada model singlet, bakal gw pakai deh di race lari yang 'besar'."

Entah waktu itu saya asal bicara atau memang kehabisan alasan. Saya memang suka dengan bahan jersey yang ada, tapi kalau modelnya kaos biasa dengan lengan, rasanya agak kurang leluasa untuk berlari jarak jauh di bawah terik matahari. Menanggapi isu serius ini, akhirnya diputuskan akan ada jersey model singlet untuk pengadaan jersey berikutnya. 

.: Tetap ceria setelah melewati tanjakan Dago yang merusak catatan waktu :( :.

Voting

Biru, kuning, atau pink? Ada banyak pilihan warna yang dapat dipilih untuk jersey. Kenapa harus pink? Antimainstream. Jawaban standar. Sekarang, banyak kok cowok yang suka pakai baju warna pink. Yawla. Pink itu seksi lho. Waduh. Warna pink bakal asik buat difoto. Jarang banget kan ada race lari yang pakai warna pink untuk jerseynya? Agak masuk akal. Jawaban terakhir yang menenangkan: apapunlah, asalkan bukan warna hijau. Soalnya kalau robek, bisa membuat hati aku jadi kacau. Halah! :'( *abaikan*

Tantangan

"Mungkin saya akan selesai lari untuk kategori Half Marathon kali ini dengan catatan waktu 02:10:00", kata saya.

"Berani gak terima tantangan, Half Marathon dalam waktu dua jam. Ini saya kasih paceband-nya yang breaking two" jawab mbak-mbak dari panitia.

.: Dipepet terus dengan pelari cewek #eh :P :.

Pembuktian

Bukan untuk pertama kalinya saya ikut acara lari di Kota Kembang. Tapi kali ini, saya justru diminta untuk 'merahasiakan'nya sebelum pengumuman resmi dirilis. Sudah lama saya mendengar akan ada ajang lari marathon di Bandung. Tapi tidak tahu jika acara lari itu merupakan ajang Pocari Sweat Bandung West Java Marathon 2017 (Pocari Run). Tahun-tahun sebelumnya, Pocari Run selalu dihelat di Jakarta. Jalurnya di kawasan Kuningan seperti Milo Jitenk. Jarak terjauh yang dipertandingkan adalah kategori Half Marathon (21.1K). Tahun ini, serba pertama. Pertama kali diadakan di Bandung. Pertama kali ada kategori Full Marathon (42.195K). Pertama kali pula saya ikut race Pocari Run setelah tahun-tahun sebelumnya selalu absen karena bentrok dengan jadwal kegiatan kantor.

.: Gazibu Running Track :.

Penginapan sudah saya pesan jauh hari agar lokasinya tak jauh dari tempat start. Untung sudah pernah lari di kawasan yang sama, jadi sudah punya langganan hotel. Datang ke lokasi lebih awal. Sepatu lari siap, lengkap dengan jersey pink kesayangan. Saya start dengan kondisi badan yang terasa fit. Bertemu dengan pelari-pelari senior yang selalu melesat begitu pistol tanda dimulai sudah berdentum, saya sadar diri untuk tidak tergoda menghabiskan energi di awal lari dengan berlari santai saja.

Untuk ukuran lari yang lokasinya di tengah kota, Bandung lebih terasa 'manusiawi' dibandingkan dengan Jakarta. Aspalnya lumayan mulus. Masyarakatnya lebih 'toleran' untuk mau 'diganggu' kenyamanannya berkendara di jalanan saat acara berlangsung. Tiap perempatan atau tikungan jalan, pengguna kendaraan mau mengikuti instruksi dari petugas yang berjaga demi kenyamanan bersama.  

.: Tabah Sampai Akhir. Semangat Sampai Finish :.

Untuk 10 km pertama, saya bisa lari dengan stabil tanpa berhenti sekalipun. Hal yang agak jarang terjadi saya lakukan, bahkan di race kategori 10K. Yang mengejutkan saya sendiri, tumben saya tidak ngos-ngosan saat melintasi tanjakan jembatan layang Kiaracondong. Mengingat rute yang mirip, saat mengikuti Food Charity Run di Cilegon, saya terpaksa harus berjalan saat melintasi jalan layang. 

Mungkin karena menikmati ritme berlarinya dari awal, saya sampai tidak menyadari kalau rute larinya melewati Gedung Merdeka dan Hotel Grand Preanger. Saya baru menyadarinya saat melihat foto yang ditautkan oleh seorang kawan. Tapi saya ingat saat melewati Jalan Braga meski tidak ada satupun foto saya di situ. Saya ingatnya melewati jalan semacam paving blok dari batu.

Jalur lari yang agak riuh mungkin saat melewati simpang tiga atau empat (maaf, saya bingung) yang merupakan pertemuan Jalan Stasiun Timur dan Jalan Suniaraja, sebelum jalur larinya berbelok ke kawasan Stasiun Bandung. Pertemuan arus kendaraan yang dialihkan bertemu di situ sehingga petugas harus ekstra dalam mengatur arus lalu lintas, menjaga kestabilan kesabaran warga, dan mengarahkan pelari ke jalur yang benar. 

.: Tabah sampai akhir :.

Memerhatikan paceband dan waktu di smartwatch, kecepatan dan waktu tempuh saya masih sesuai target. Bahkan, saya masih memiliki space waktu untuk mengatur nafas. Jalur larinya juga lumayan flat dengan aspal mulus. Saya masih optimis dapat sampai di garis finish dalam waktu dua jam.

Sabar, Ini Ujian

Saya senang mendapatkan kejutan. Tapi saat badan sudah lelah, jalur Jalan Dago sungguh kejutan yang tidak saya harapkan. Seperti tak sadar saat melintasi Jalan Asia Afrika, saya juga baru menyadari jika jalur larinya melintasi Jalan Dago saat mendengar bunyi genta gereja di hari Minggu.

Saya lari sambil jalan. Saya masih bisa memerhatikan adanya pasar kaget yang menjual aneka barang dan makanan di seberang gereja. Melihat kerumunan orang, saya hanya berjalan saja. Tidak lagi berlari. Di sini saya jadi ingat Jakarta. Meski tak separah CFD Jakarta yang tak lagi nyaman digunakan sebagai jalur lari, jalanan Dago ibarat selingan setelah hampir satu jam lebih konsentrasi berlari.

.: Bukan PB, tapi benar-benar ceria ;) :.

Saya juga masih harus melakukan kombinasi lari dan jalan di tanjakan berikutnya. Memang tanjakannya tidak setinggi jembatan layang Kiaracondong, tapi kawasan Dago ini nanjaknya lumayan jauh. Beberapa kali saya menengok paceband dan mulai berdamai dengan waktu. Sepertinya saya memang harus menerima jika finish lewat dua jam.

Tapi saya tak mau menyerah. Saya tetap berusaha terus berlari. Bahkan, di tiga km terakhir, saya merasa kecepatan berlari mulai stabil kembali. Mungkin ini akibat dorongan untuk segera menyelesaikan lari ini. Saya terbantu dengan kesigapan dari para petugas dan mendapat momen yang tepat. Entah ini kebetulan atau bukan. Di beberapa persimpangan, saya tak perlu menunggu kendaraan yang lewat. Saat lampu traffic light berwarna hijau, saya pas sedang melintas. Beberapa kali hal ini terjadi di tiga km akhir sehingga saya bisa lari dengan stabil.

.: Medalinya unik sekali, khas Jawa Barat :.

Pandangan saya mulai cerah kembali saat teriakan MC race lari sudah terdengar dan gapura finish sudah terlihat. Namun, saya perhatikan waktu di smartwatch sudah menunjukkan dua jam. Saya berlari dan terus berlari. Saya hampir tak menghiraukan teriakan semangat dari para marshal di kanan kiri jalan. Yang saya pikirkan, bagaimana caranya agar kelebihan waktu dari dua jam tadi tidak terlalu banyak. Yang mengejutkan saya lagi setelah race berakhir, bahkan membuat senyum sendiri saat mengingatnya, saya hampir tak memerhatikan adanya fotografer yang mengambil foto sesaat sebelum finish. Satu hal yang sepertinya belum pernah saya lakukan di race manapun sebelumnya. :D

Finish Tampan Penuh Kenangan

Selisih waktu hampir dua menit merupakan catatan tersendiri buat saya. Ini semacam peringatan agar saya latihan lebih keras lagi. Tapi paling tidak, setelah berusaha keras berlari, race kali ini sungguh membuat saya senang bisa menjadi bagiannya. Ini adalah race Pocari Run pertama yang saya ikuti. Pertama kalinya juga menggunakan jersey #DJPR saat race sehingga janji saya untuk memakai jersey #DJPR saat race sudah terpenuhi. Dan, yang paling penting, dapat finish dua jam (lebih sedikit) tanpa cedera. 

.: Duta #DJPR ;) #eaaa :.

Secara umum, penyelenggaraannya sungguh rapi. Saya tidak merasakan ruwetnya antrian saat pengambilan racepack, medali, hingga refreshment. Area finish line juga dijaga tetap steril, terutama dari peserta yang ingin berswafoto. Bandung cerah sekali hari itu. Bahkan cenderung panas. Tapi saya yakin, semua orang yang ikut berlari akan merasakan semangat dan pengalaman tak terlupakan. Setidaknya, saya mendengar banyak dari mereka akan turut hadir kembali di ajang serupa tahun depan, entah mengulang kembali di kategori yang sama, atau 'naik kelas' ke kategori yang lebih tinggi. Saya pikir, apapun pilihan kategorinya, jangan sampai lengah dan terus semangat untuk berlari. Ayo mlayu. []  

6 komentar:

  1. wow .. selamat .. half marathon dicapai 2 jam lewat dikit ... bener2 prestasi, mungkin ini akibat pakai jersey pink ... memberikan energy tambahan #PinkPower

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha terima kasih mz. Itu karena niat banget latihan mz. Sebenernya pengen finish di bawah 2 jam. Tapi, kena tanjakan Dago jadi agak pelan lagi hehehe. Akan diperbaiki di race Half Marathon selanjutnya :)

      Hapus
  2. Jersey-nya unyu hehehehhe.
    Aku seringnya ketemu sama Playon Jogja, tiap sore atau malam sering lari bareng :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah, temen2 semua itu. Sering ketemu kalau pas race. Pernah ikut acara lari virtualnya hehehe :)

      Hapus
  3. Aku yo kuat lo pace 5 kak Adi. Tapi jaraknya maksimal 1 km saja hahahaha selebihnya 6.5 atau 7. Hahahahaha maklum pelari ala ala.

    Sukses buat event 2018 full marathon nih yeee...

    Aku pingin njajal half marathon tapi tikete 350 ewu ndik borobudur kok males hahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berangkat lah mz. Masih ada waktu tiga minggu buat latihan. Yang penting diniatin lari :)

      Hapus