Jumat, 17 Maret 2017

Visit Tidore Island - Saga Pala di Lembah Kie Matubu

.: Selamat datang di Tidore. Foto dipinjam dari sini :.

Mengapung di Laut Maluku yang kerap dihempas ombak ganas, Tidore tak ubahnya serupa noktah yang berkonstelasi dalam gugusan pulau di Provinsi Maluku Utara. Keberadaannya yang kerap luput dari peta Indonesia pernah menyita perhatian dunia. Sebagai seseorang yang lahir di daerah pegunungan dan hidup di wilayah barat nusantara, hanya ada satu kata yang sanggup mendefinisikan wilayah Indonesia bagian timur ini: jauh. Segala informasi yang terkait dengannya bagaikan dogma dari televisi dan produk informasi sejenis. Bahkan, keharuman aroma rempah-rempahnya hanya tercium dari lembaran teks buku sejarah di bangku sekolah.

Tersohor sebagai negeri penghasil rempah, bersama dengan kerajaan atau kesultanan lain di sekitarnya seperti Ternate, Bacan, Jailolo, Obi, dan Loloda, Tidore seakan sanggup menghipnotis para penjelajah ulung dari berbagai belahan dunia untuk berlabuh dan menjadi bagian dari ekspedisinya. Saudagar dari Arab merupakan salah satu rombongan pionir selain dari Jawa, Malaka, Makassar, dan China, yang melakukan ekspedisi ke perairan Maluku ini. Mereka memenuhi lambung kapalnya dengan cengkeh, pala, kenari, dan banyak komoditas rempah lainnya lalu menjualnya kembali di pasar Eropa dengan keuntungan yang berlipat ganda. Di sana, rempah bukan hanya berguna sebagai bumbu masakan, melainkan juga berfungsi sebagai bahan pembuat obat dan minyak wangi.

Selama berbilang abad tersembunyi dari Eropa, aroma rempah-rempah menguar di sudut-sudut kerajaan benua biru. Segenap pelayaran di gelar. Jalur penjelajahan dibentangkan. Semua hanya untuk satu tujuan: memburu keberadaan rempah-rempah. Portugis melego jangkar di Ternate tahun 1512. Hampir satu dekade kemudian, dua kapal Spanyol di bawah kendali Sebastian de Elcano yaitu Victoria dan Trinidad berlabuh di pantai Tidore. Tak mau ketinggalan, Inggris turut merubung Laut Maluku pada tahun 1579, diikuti oleh Belanda pada Mei 1599 di bawah komando Kapten van Warwijck. 'Reuni' keempatnya diliputi banyak perebutan kekuasaan, peperangan, korban darah, dan cerita panjang tentang betapa rempah-rempah menjadi primadona dan biang prahara di bumi yang sering dijuluki kepingan surga.

.: Awal mula segala cerita pala yang melegenda :.

Abad berganti, masa berlalu. 'Penjarah' rempah dari Eropa sudah lama angkat kaki dari negeri pala, namun jejaknya masih tercium dari puing-puing yang ditinggalkannya. Tidore yang riuh kembali dalam sunyi. Jalanan lengang. Pulau mungil ini seakan bergeming terhadap hiruk pikuk pembangunan yang berlangsung di pulau sekitarnya. Pantai-pantai sunyi berserak memagari pulau, menahan deburan ombak. Dermaganya, kini hanya disinggahi kapal-kapal lokal.

Benteng-benteng yang dulu berdiri angkuh, sekarang melamun syahdu menyaksikan angin dan ombak bersabung di lautan. Jumlahnya tidak banyak, tapi cukup menunjukkan bahwa di masa silam, dinding-dinding beton tersebut mampu merangkum kenangan akan masa lalu tentang bagaimana kolonialisme dirawat dan mendapat tempat di Tidore, bagaimana rempah-rempah dimonopoli dan diangkut para penjarah Eropa, serta bagaimana masyarakat Tidore, bersama sultannya yang gagah berani, bahu-membahu mempertahankan tanah leluhur mereka. Wilayah Tidore dan sekitarnya dikoloni dan diperebutkan oleh penjajah dari Eropa. Hingga pada tahun 1527, ditetapkanlah perjanjian Saragossa yang membagi bumi kepulauan Maluku dalam kavling-kavling koloni. Portugis mendapatkan hak atas Maluku, sementara Spanyol memperoleh kuasa penuh atas Tidore. Namun begitu, Spanyol akhirnya memilih memindahkan konsentrasi kekuasaannya di Manila, Filipina.

Jejak sengketa dua kuasa atas Tidore tersebut masih dapat dirunut hingga sekarang. Ada empat benteng warisan bangsa Spanyol dan satu benteng Portugis yang bercokol. Tiga benteng lainnya masih kabur muasal pendirinya. Dari benteng-benteng tersebut, hanya sedikit yang kondisinya masih layak. Lainnya dilanda uzur dan bermetamorfosis menjadi artefak dari masa silam yang hanya dibanggakan warga sekitarnya.

.: Benteng Torre, Tidore yang selesai dipugar. Foto dipinjam dari sini :.

Satu benteng yang kerap mencuri perhatian pendatang adalah Benteng Torre. Benteng ini baru saja dipugar tahun 2014. Lokasinya ada di atas bukit tepat di buritan Kedaton Kesultanan Tidore. Para ahli sejarah berasumsi bahwa benteng inilah yang disebut dalam buku Documenta Molucensia sebagai 'benteng Portugis yang berada sedikit di utara kota Soasio.' Menurut buku tersebut, benteng Torre dibangun pada 06 Januari 1578 oleh Sancho de Vasconcelos atas restu Sultan Gapi Baguna. Nama Torre sendiri disematkan pada benteng tersebut kemungkinan besar merujuk pada nama kapten Portugis saat itu yaitu Hernando de la Torre. Portugis sendiri angkat kaki dari Ternate setelah diusir oleh Sultan Baabulah karena membunuh Sultan Khairun pada tahun 1570. Benteng lainnya yang mirip benteng Torre dan masih terawat adalah Benteng Tahula. Benteng ini usianya lebih muda yaitu dibangun tahun 1610.

.: Kedaton Kie, Istana Kerajaan Tidore :.

Lokasi kedua benteng di atas tak jauh dari Kedaton Kesultanan Tidore, episentrum tempat semua sabda sultan diampu dan dipatuhi di seantero wilayah kekuasaannya. Istana sepuh yang berkedip manis menghadap laut ini menjadi saksi sepak terjang Kesultanan Tidore. Suatu masa saat Sultan Nuku berkuasa sejak 1797, Tidore sempat berjaya dengan mempersatukan seluruh kerajaan di perairan Maluku termasuk Papua dan mengusir kompeni Belanda tanpa pertumpahan darah. Namun, masa itu telah lama berlalu. Kejayaan Kesultanan Tidore menjadi kenangan yang diabadikan dalam catatan sejarah. Kedaton hanya dipakai untuk acara seremonial.

Sedangkan kejayaan bahari di masa lampau, saat ini diperingati dalam prosesi Lufu Kie. Prosesi ini melibatkan banyak sekali perahu, lengkap dengan pasukan perang dan atributnya yang menggambarkan heroisme pasukan Tidore. Di masa lalu, prosesi ini dilakukan dengan menggunakan perahu kora-kora. Saat tifa dan gong ditabuh di atas lambung-lambung kapal, saat itulah masyarakat Tidore bersorak-sorai merayakan ritual tahunan ini dengan ceria.

.: Prosesi Lufu Kie. Foto dipinjam dari sini. :.

Saat hasil rempah tak semelimpah zaman kejayaan, sebagai gantinya, pariwisata dikerek untuk menarik wisatawan. Melalui segenap perayaan tersebut salah satunya. Dengan tagline Visit Tidore Island, masyarakat Tidore perlahan membuka diri untuk disambangi oleh petualang. Waktu seolah berjalan lambat. Saya bertanya dalam hati, apa yang ditawarkan pulau ini untuk dijejak karena prosesi ritual tak dilakukan sepanjang tahun? Tak ada pasir putih yang landai. Angkutan umum absen selepas ashar. Dari ketinggian, Pulau Tidore bisa jadi akan langsung diberi label spooky dari pendatang yang baru mengenalnya sekilas.

.: Pantai Tidore yang sunyi. Foto dipinjam dari sini :.

Seorang kawan yang bertugas di Ternate suatu ketika pernah bercerita. Tidore sering dijuluki sebagai pulau seribu masjid, julukan yang juga tersemat untuk Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat sana. Ada lebih dari satu masjid di setiap kampung. Jika masuk waktu shalat, suara adzan bertalu-talu dibawa angin laut ke seluruh penjuru. Penduduknya hampir 100% memeluk Islam. Tak banyak penginapan dilansir. Begitu juga rumah makan. Jumlahnya mungkin bisa dihitung dengan jari tangan. Itupun terkonsentrasi di pasar atau terminal. Yang membuat teman saya takjub, rumah makan Padang absen di pulau ini. Saya membayangkan Tidore tak ubahnya sebagai pulau berpenghuni galur murni. Maksudnya masyarakatnya merupakan penduduk lokal, minim sekali pendatang.

"Tapi jangan khawatir," tambah penjelasan kawan saya, seolah buru-buru meralat, "orang Tidore itu ramah-ramah, kamu tidak bakalan tersesat atau bahkan mungkin sampai kelaparan."

Keramahan memang menjadi komoditas utama yang diumbar di seluruh nusantara, terutama di zona wisata. Namun, di Tidore, keramahan masyarakatnya tidak terhenti hanya sebatas brosur pariwisata atau jargon manis yang mengundang pendatang. Selain itu, penduduk Tidore dikenal akan kecintaannya pada kebersihan. Saya tidak tahu apa bedanya dengan tempat lain. Tapi teman saya begitu kuat meyakinkan bahwa kebersihan lingkungan di Tidore seolah menjadi pelaksanaan yang mendarah daging atas hadist nabi yang menyebutkan bahwa kebersihan merupakan sebagian dari iman. Pantainya bersih. Sampah raib dari jalanannya. Begitu juga kebersihan laut. Tak ada alasan yang menguatkan masyarakat Tidore membuang sampah di laut. Jadi, sampah pun absen menghuni laut Tidore. Bahkan, karena konsistensi perilaku beradab ini, Gurabunga yang menjadi pusat pemerintahan "hakikat" Tidore dinobatkan sebagai kelurahan terbaik kedua tingkat nasional pada tahun 2007 silam.

.: Pemandangan dari Puncak Kie Matubu. Gambar dipinjam dari sini. :.

Kawan saya juga bercerita tentang sisi lain Gurabunga. Kampung ini juga mengoleksi gunung cantik setinggi 1.730 mdpl dengan bentuk kerucut hampir sempurna. Namanya Gunung Kie Matubu. Dindingnya digurat banyak sumber air dan dirimbuni dengan tumpukan batu untuk ritual adat. Paham betul tentang kesenangan saya untuk naik gunung dan lari trail, dia berseloroh, "Kamu pasti gak akan melewatkan tempat ini kalau suatu saat kesampaian berkunjungan ke Tidore." Konon, dari puncaknya kita dapat menikmati panorama Pulau Ternate dan Maitara, Pulau Mare yang teluknya menjadi persingggahan kahia (lumba-lumba), serta hutan-hutan hijau di lembah sekeliling gunung yang memeluk hangat rimbun pohon pala dan cengkeh, muara segala pelayaran akbar bermula.   

.: Pergelaran Ratib Taji Besi. Foto dipinjam dari sini :.

Selain alam yang masih terjaga, Tidore masih kerap mencuri perhatian karena kesetiaan dan keajegannya dalam memelihara budaya leluhur. Masyarakat Tidore mempunyai suatu ritual 'unik' yang disebut Ratib Taji Besi. Ritus ini dilaksanakan pada hajat-hajat tertentu seperti peringatan 40, 100, 200, atau 360 hari kematian seseorang atau doa untuk memohon keselamatan dan keberkahan kelangsungan kegiatan atau kesejahteraan kesultanan.

Dalam skala besar, ritus ini juga dilaksanakan saat ulang tahun Kota Tidore berlangsung. Prosesinya sendiri mungkin bisa terasa agak 'horor' bagi orang luar Tidore. Pasalnya, peserta ratib seperti sedang trans, melakukan semacam tarian dan gerakan, diiringi kidung pujian dan rentak rebana, lalu menusuk-nusukkan taji besi yang sudah dirapal mantra ke dadanya. Titik-titik darah merembes pada baju orang yang melakukan ratib. Saya tak tahun kapan adat ini bermula. Dalam beberapa hal, saya teringat tarian Sema khas tarikat sufi di Turki.   

Namun, dibalik ritual yang membuat bulu kuduk berdiri tersebut, terdapat ritual yang tak boleh dilewatkan oleh pengunjung Tidore sekalipun yaitu mencicipi tradisi kulinernya. Saya pikir, apa yang lebih menarik dalam mempelajari pengaruh rempah dalam kehidupan masyarakatnya selain merunut dan mencicipi tradisi kulinernya sembari berbaur dengan penduduk setempat? Masyarakat Tidore yang terkenal gemar mengunyah sepertinya menawarkan pilihan menu yang sangat beragam.

.: Gohu. Foto dipinjam dari sini. :.

Dalam acara-acara adat seperti ini, masyarakat Tidore biasa menyajikan hidangan dengan cara ngam fato, maksudnya menu-menu kuliner yang disuguhkan ditata dalam satu paket untuk empat orang. Sepertinya cara ini lebih ditujukan untuk kepraktisan. Dalam acara jamuan yang dilakukan di sebuah meja panjang, kita kerap rikuh untuk mengambil menu yang kita ingat cicipi, namun posisinya berada agak jauh dari tempat kita duduk. Ngam fato ini mereduksi kemungkinan seperti itu.

Untuk pilihan karbohidrat, para tamu bisa memilih beberapa menu seperti nasi kuning, nasi putih, ketupat, atau pali (ketupat dengan bungkus daun pandan). Selain itu ada pula nasi jaha. Sajian ini dibuat dari beras yang direndam dalam santan selama satu jam, lalu dibungkus daun pisang muda. Bungkusan tersebut dimasukkan ke dalam buluh lou (bambu kecil), dan dibakar selama kurang lebih dua jam. Saya belum pernah mencicipi semuanya. Sekali waktu, saya hanya berkesempatan menikmati sepiring papeda dengan ikan kuah kuning. 

.: Harum cengkeh yang sedang dijemur di pelataran warga :.

Untuk sayurnya, dapat dipilih beberapa sajian seperti foki sinanga (terung goreng), sayur lilin goreng, dan acar. Tak berhenti sampai di situ, aneka lauk yang dapat dicicipi antara lain menu 'sari laut' semacam cakalang goreng saus rica, rica isi, atau ikan goreng biasa. Yang unik dan doyan pedas dapat mencoba sajian cabai besar yang diisi daging cakalang yang sudah dilumatkan. Saya tak tahu apakah gohu disebut lauk atau kudapan untuk menu selingan. Gohu ini semacam sashimi ala Tidore. Dibuat dari potongan ikan segar, dicampur dengan cabai dan irisan bawang merah. Bosan dengan menu laut, ada juga lauk sederhana seperti telur rebus digoreng bumbu manis, ayam paniki, dan sup ayam. Untuk minumannya, ada satu sajian khas yang hanya bisa ditemukan di acara Ratib Taji Besi yaitu sarabati. Minuman ini dibuat dari air yang dicampur dengan ramuan jeruk lemon, kemenyan, kayu manis, dan gula.

Mungkin akan banyak yang bertanya-tanya, di antara sekian ragam makanan yang disajikan, menu apa yang memakai rempah? Ternyata memang tak banyak. Menu-menu khas Tidore dan kepulauan di Maluku rata-rata menggunakan ikan segar sebagai bahannya. Penggunaan rempah sangat minim. Saya berasumsi, mungkin karena pala dan cengkeh merupakan tumbuhan asli daerah ini dan awalnya merupakan tumbuhan 'liar' biasa, sampai diketahui bahwa rempah-rempah ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi di luar daerah Tidore.

.: Saga Pala, rempah yang diperebutkan para petualang Eropa. Foto dipinjam dari sini :.

Penjelasan yang lebih rasional saya dapatkan dari buku Kepulauan Rempah-rempah karya M. Adnan Amal. Menurutnya, cengkeh dan pala tak banyak berperan dalam isi dapur masyarakat Tidore dan sekitarnya. Di masa lalu, penduduk tidak menanamnya dan tidak membudidayakannya. Kalaupun itu digunakan, kebanyakan hanya digunakan sebagai campuran obat atau minyak oles saja. Hal ini diperkuat oleh catatan Alfred Russel Wallace yang melawat ke kepulauan Maluku sekitar tahun 1857. Dalam bukunya yang terkenal yaitu The Malay Archipelago, Wallace menjelaskan bahwa pala dan cengkeh bukan kebutuhan pokok masyarakat. Bahkan pala dan cengkeh, yang menjadi komoditas 'rebutan' bagi pedagang Eropa, justru tidak banyak digunakan untuk aneka olahan yang tersaji dari dapur penduduk setempat.

Masyarakat Tidore dan kepulauan sekitarnya baru menanam dan membudidayakan cengkeh dan pala setelah kedatangan pedagang dari luar. Komoditas ini lalu menyebar dan didistribusikan ke belahan lain dunia melalui ekspedisi pelayaran yang saat itu mayoritas dilakukan oleh pedagang dari Timur Tengah dan Eropa. Saya pernah melacak informasi ini saat mengunjungi beberapa museum di kawasan kota tua Jakarta seperti Museum Bank Indonesia dan Musium Bahari. Melalui pajangan dan alat peraga dalam museum, ditunjukkan betapa rempah dari Indonesia, khususnya kawasan Tidore dan sekitarnya begitu berperan dan menjadi awal benih-benih kisah sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. 

.: Peta jalur pelayaran rempah-rempah nusantara menuju Eropa di Museum Bank Indonesia :.

Di saat yang lain, saya juga, secara tidak sengaja, memerhatikan banyak sekali rempah-rempah dari Indonesia dipajang begitu apik dan tertata, saat mengunjungi kawasan Bugis di Singapura. Pikiran saya berputar sejenak, merangkai kepingan-kepingan informasi yang saya temui di beberapa tempat yang ternyata saling berkelindan dan seperti mempunyai benang merah yang sama yaitu bahwa rempah-rempah Tidore dan kepulauan sekitarnya tak ubahnya seperti duta, yang harum tanah asalnya dapat tercium dalam periuk dan belanga di dapur-dapur yang menggunakan rempah dalam menu masakannya.

Maka tak heran jika dalam perjalanan mengenal Indonesia yang saya lakukan, tak jarang saya bertemu dengan cucu atau kerabat dari 'petualang' Eropa di masa lampau yang pernah bertugas di Indonesia, berkisah bahwa kakek atau buyutnya pernah tinggal di kawasan timur tempat rempah-rempah melimpah ruah di suatu wilayah yang tanahnya subur.  

.: Rempah-rempah yang disajikan di sebuah toko rempah di Singapura :.

Melihat kenyataan tersebut, seakan fakta bahwa alam Tidore yang menawan, dipadu sajian unik tradisi masyarakatnya, kuliner yang memanjakan lidah, serta sejarahnya yang panjang melalui peninggalan masa lalu merupakan paket komplet yang dapat ditawarkan untuk menempatkan Tidore dalam daftar wajib kunjung sebuah destinasi wisata di Indonesia. Saya pikir, tak ada yang lebih mujarab untuk membuat orang berbondong-bondong datang ke Tidore selain mengabarkan bahwa tempat tersebut menawarkan sesuatu yang menyenangkan dan mengenyangkan serta memanjakan panca indera dan perut, mempermudah akses menuju ke sana dengan infrastruktur yang memadai. Selebihnya, biarkan masyarakat Tidore yang menentukan masa depan pariwisata daerahnya sendiri.

Saya percaya bahwa yang riuh tak selamanya teduh dan yang sunyi tak sepenuhnya mati suri. Jika kelak pariwisata Tidore menggeliat, saya hanya berharap bahwa masyarakatnya tetap memegang teguh tradisi, dengan alam dan lingkungan yang tetap terjaga kebersihan dan kelestariannya. Tak ada gunanya membuat pariwisata kian gaduh, namun membawa dampak yang tak menyenangkan, baik dalam tatanan masyarakat maupun alam yang senantiasa terjaga. Tak sabar rasanya mendapatkan kesempatan untuk menjadi saksi atas perubahan yang lebih baik tersebut tiba. [] 

*) Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Menulis Blog dengan Tema: Tidore untuk Indonesia. Informasi tentang lomba blog ini dapat dilihat di sini.

24 komentar:

  1. Wow..informasi yg lengkap dek...sy betul2 penasan dgn semua cerita di atas...ngebayangin berada di sana...menikmati kuliner khas Tidore, menikmati alamnya dengan trail run ...dan menemukan dan menikmati aroma rempah rempah tsb pala dan cengkeh langsung dari asalnya...akankah menjadi komoditas andala Tidore..? Andai kejayaan itu bisa diulang 😊...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, semoga bisa segera kesampaian mbak. Dari dulu udah pengen banget main ke kepulauan rempah-rempah ini :)

      Hapus
  2. Wah itu ya yang namanya pala, warnanya merah. Inilah barang mahal yang di perebutkan bangsa2 Eropa dulu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Cuma saya belum pernah melihat yang masih segar begitu. Lihatnya yang udah kering di toko-toko kelontong tempat jualan sayur di pasar. Pengen gitu lihat pohon sama buah segarnya :)

      Hapus
  3. Wuiiihhh......komplit ..
    Benteng tidorenya cakep bangettt.....

    Mantab bang....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih. Iya, itu benteng Torre, baru aja dipugar, makanya kelihatan 'kinclong'. :)

      Hapus
  4. bener juga ya. tidore ini lengkap banget. kuliner, wisata alam, budaya, semua ada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Paket komplet. Padahal kalau dilihat dari atas, pulaunya mungil banget :)

      Hapus
  5. Pulau Bacan itu yang banyak Akik nya ya Mas Adie. Batu Bacan mau dong...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mz. Biasanya gak boleh dibawa keluar pulau. Suka ada pemeriksaan di bandara. Hiks :'(

      Hapus
  6. Wow aku lagi ngerti nek lombok itu banyak masjidnya demikian pula dengan tidore, sip laah nek dolan rono gak perlu bingung centak centuk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha ke Lombok aja lah minimal mz. Kan lebih deket :)

      Hapus
  7. wah masuk daerah teritori aku nih mas hahaha, wah seandainya saya masih di Ternate pasti saya sudah ajak berkeliling

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih. Kapan-kapan temeni aku ya main ke Ternate-Tidore :)

      Hapus
  8. tidore kerennn ... pengen kesini tapi belum kesampaian ... mudah2-an bisa sampe kesini ... sekalian borong pala .. halahhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin kak. *doa kenceng*

      Di pasar banyak kok mz kalau 'cuma' mau pala saja :)

      Hapus
  9. Lengkap banget om.. tapi aku pusing bacanya rapet2 gini, cem perawan aja.. hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kak bob sudah mampir hahaha. Emang udah pernah lihat perawan, kok tau kalo rapet #eh :P

      Hapus
  10. mantap sekali ,,musti nabung dulu kalau kesono

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menabunglah dari sekarang kalau begitu hehehe. Semoga disegerakan berangkat ke Ternate-Tidore :)

      Hapus