Jumat, 15 Januari 2016

Gema Gravitasi Gede

.: Kawah Gunung Gede dilihat dari Puncaknya :.

Setelah menginjakkan kaki di puncak Gunung Gede setahun silam, ada semacam keinginan untuk mendaki puncak Gunung Pangrango yang terletak bersebelahan. Pasalnya, tahun lalu hendak menuju gunung tersebut tapi terkendala masalah waktu. Jujur, saya tertarik untuk mengunjungi Gunung Pangrango karena membaca tulisan Catatan Seorang Demonstrannya Soe Hok Gie. Buku tersebut saya baca berulang-ulang sejak masa kuliah hingga sudah bekerja. Filmnya saya tonton. Saya sampai meninggalkan buku tersebut di rumah orang tua di Nganjuk dan menyimpannya rapat-rapat agar tidak teringat dengan Pangrango karena disibukkan dengan hal lain.     

Sampai suatu ketika, saya mendapatkan bingkisan dari koh Halim Santoso yang isinya berupa buku Catatan Seorang Demonstran dan selembar tenun ikat Sumba. Pikiran saya kembali teringat akan niatan untuk mendaki Pangrango. Bagai semesta yang sedang berbisik untuk mendukung, di kesempatan yang sama, saya mendapat ajakan untuk mendaki kembali Gunung Gede-Pangrango dari para sahabat yang dulu sama-sama mendaki. Namun kali ini, pendakian akan dimulai dari jalur Cibodas. Saya tak kuasa untuk menolak ajakan saat kesempatan datang di depan mata.

.: Awal Mula: Menuju Pos I :.

Meski berangkat dari Jakarta sejak tengah malam, kami memulai pendakian setelah subuh selesai. Jalur pendakian sudah sepenuhnya terang oleh semburat cahaya mentari. Udara sejuk pegunungan membelai lembut. Pepohonan hijau nan rindang menjadi tudung sepanjang perjalanan. Saya sudah cukup hafal dengan jalur pendakian ini sehingga sudah punya ritme untuk mengatur langkah dan nafas.

Jalur batunya masih sama seperti saat saya mendaki tahun lalu. Tidak ada perbaikan atau pembangunan kembali jalur batu ini karena masih lumayan tertata. Di dalam hutan sungguh sunyi. Sesekali kicau burung terdengar, lalu hilang ditelan sepi. Saat mendengar bunyi gemericik air, saya mengingatnya sebagai tanda bahwa Telaga Biru sudah dekat. Setidaknya, setelah sampai Telaga Biru, jalur menuju Pos I yang dekat dengan lokasi air terjun Cibeureum tak jauh lagi. 

.: Telaga Biru yang Hening :.

Pendakian kali ini saya maksudkan untuk 'mengoreksi' pendakian sebelumnya. Maksudnya, segala sesuatu yang mungkin luput saya lihat atau perhatikan di pendakian sebelumnya, akan saya abadikan saat ini. Saat tiba di Pos I, sudah banyak sekali kelompok pendaki yang berhenti dan berkumpul di sini. Sebagian malah ada yang memang bermalam. Saya tidak mampir ke air terjun Cibeureum dulu karena perjalanan menuju Kandang Badak sebagai pemberhentian terakhir untuk bermalam masih lumayan jauh.

Saat rombongan yang lain sudah berkumpul, istirahat sejenak, dan siap melanjutkan pendakian, semua berjalan pelan-pelan karena dari pos inilah pendakian jalur yang menanjak dimulai. Jumlahnya pendaki yang naik memang tak sebanyak saat menuju Pos I tadi karena ternyata beberapa orang memang tujuannya hanya piknik ke air terjun Cibeureum saja. Beberapa pendaki tetap berjalan bergerombol dengan kelompoknya sehingga menutup badan jalan. Beberapa yang lain memilih berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kekuatan kaki dan berjanji bertemu di pos selanjutnya.

.: Awal Pendakian setelah Pos I :.

Saya sendiri lebih memilih opsi yang kedua saat pendakian. Hal itu saya lakukan karena tidak semua pendaki memiliki kelincahan kaki yang sama. Di samping itu, berat beban bawaan masing-masing pendaki berbeda tergantung dari kapasitas tas punggungnya. Jalur pendakian ini lumayan lembab. Mungkin hujan semalam atau embun pagi yang menentes dari pucuk dedaunan. Yang jelas, para pendaki sedikit terbantu dengan hal ini karena tak banyak debu yang beterbangan.

Yang saya sukai dengan jalur pendakian Gunung Gede-Pangarango via Cibodas ini adalah banyaknya 'hiburan' sepanjang jalan. Banyak sekali jenis burung yang melintas di dahan pohon. Meloncat dan terbang rendah dari satu dahan ke tanah, lalu terbang lagi ke dahan pohon. Beberapa ekor owa jawa tampak menyapa pengunjung dengan teriakannya yang mengingatkan saya pada bunyi klakson mobil polantas. Puncaknya, air panas yang mengalir deras di dinding jalur pendakian membuat saya bersemangat untuk segera melanjutkan perjalanan karena tempat ini saya ingat sebagai patokan bahwa Kandang Batu dan Kandang Badak sudah dekat. Namun, demi berhitung dengan waktu dan menghindari hujan di perjalanan, saya absen untuk menikmati air panasnya kali ini.

.: Bergaya dulu di dekat aliran air panas :.

Pendakian dari air panas hingga Kandang Badak relatif sunyi. Mungkin karena jalurnya banyak tanjakan curam. Saya harus ekstra hati-hati agar tidak terpeleset. Langit gelap sudah menggantung di puncak gunung. Saya mempercepat langkah. Saat mengetahui bahwa adanya kerumunan pendaki, jalur pendakian yang relatif datar, dan bunyi penggorengan yang menguarkan aroma mie seduh dan goreng pisang, saya sampai di Kandang Badak, basecamp para pendaki sebelum menuju puncak Gede-Pangrango. Namun sayang, sejenak setelah tenda saya berdiri, hujan turun dengan derasnya hingga malam menjelang. Itu artinya, saya harus kembali memendam keinginan untuk menggapai Puncak Pangrango dan membawa serta buku Catatan Harian Demonstrannya Soe Hok Gie.

Malam itu saya makan seadanya. Lalu segera mendekam di dalam kantung tidur meski hari masih belum terlalu malam. Semua sepertinya mengamini keadaan ini dan ikhlas untuk tidak melanjutkan perjalanan menuju Puncak Pangarango. Pikiran terakhir sebelum lelap, rencana berubah, dan pendakian dialihkan menuju Puncak Gede

.: Merangkak Turun di Tanjakan Setan :.

Keesokan harinya, saya memaksakan diri untuk bangun pukul tiga malam dan mulai mendaki setengah jam setelahnya. Mata masih ingin tinggal di dalam kantung tidur, sementara kaki harus dipaksa untuk merangkak dan menanjak. Jalur pendakian menuju puncak merupakan ujian untuk sahabat-sahabat yang baru pertama kali naik ke puncak. Beberapa sahabat yang lain, dengan berbagai kendala dan alasan pribadi masing-masing memilih untuk tetap berada di tenda. 

Untungnya, semuanya berangkat bersama-sama. Tidak ada yang berangkat duluan. Jadi, rombongan tidak tercerai-berai. Hari masih terlampau gelap dan jalan menjadi licin akibat hujan semalam. Kami sengaja absen lewat Tanjakan Setan saat naik karena terlalu beresiko. Tapi, di perjalanan turun nanti, sepertinya semua orang tetap ingin memiliki pengalaman untuk menjejak jalur curam ini.

.: Menggapai Puncak Gunung Gede untuk Kedua Kalinya :.

Tepat dua jam pendakian, Puncak Gede digapai. Hening. Matahari tak bersinar merekah pagi itu karena diselimuti kabut. Awan putih bergumpal dan menyiratkan semburat warna perak. Meski tak mendapatkan momen matahari terbit, semua orang tampak bahagia. Setidaknya, semua selamat sampai puncak.

Sebagaimana suasana akhir pekan, puncak gunung manapun sepertinya telah menyublim layaknya pasar. Banyak orang mulai menggemari kegiatan mendaki gunung. Begitu terjangkaunya harga peralatan mendaki dan banyaknya komunitas yang sama-sama mengakomodasi kegiatan pendakian membuat akhir pekan di gunung tidak seekslusif satu dekade silam. Mungkin karena sekarang terlalu ramai dan beragamnya pendaki sehingga menimbulkan masalah-masalah lingkungan yang seharusnya dapat dihindari. Bahkan, di sepanjang jalur pendakian, saya kerap menemukan ceceran sampah plastik bekas yang menyelip di semak-semak karena diterbangkan angin. 

.: Puncak yang Syahdu di Puncak Gunung Gede :.

.: Bersama Buku Catatan Seorang Demonstrannya Soe Hok Gie :.

Pemandangan jamak lainnya di puncak gunung, banyak pendaki yang sudah lebih dulu mendaki dan gantung ransel, menyangsikan kalau di atas gunung ada yang berjualan nasi bungkus, mie seduh, kopi susu instan, dan aneka minuman hangat lainnya. Wajah gunung sudah banyak berubah. Ekslusivitas pendakian sedikit demi sedikit tereduksi. Ada kabar gembira sebenarnya di dalam kenyataan tersebut. Paling tidak, orang mulai melirik aktivitas luar ruangan yang jauh dari ingar-bingar modernisasi kota seperti mal.

Namun, yang sulit dihindari, orang-orang ini juga kerap membawa serta kebiasaan-kebiasaan buruk yang seharusnya steril dan dipahami benar saat mendaki gunung. Membuang puntung rokok sembarangan, meninggalkan sampah di tempat bermalam, gosok gigi dan mencuci tangan dengan sabun, serta yang paling parah, memetik bunga edelweis untuk kenang-kenangan. Saat mengetahui hal-hal demikian, saya dalam hati merasakan kerinduan dengan suasana gunung saat hanya dijejali oleh orang-orang yang, minimal, memahami pelaksanaan berekowisata yang sesungguhnya: tidak meninggalkan apapun kecuali jejak dan tidak mengambil apapun kecuali foto.

.: Good friends are like stars. You don't always see them, but they always there :.

Sebagaimana niatan sebelumnya, saya mengambil gambar dengan buku Catatan Seorang Demontran sembari memandang Puncak Pangrango di kejauhan. Kapan kira-kira saya akan menggapai Puncak Pangrango? Di sisi lain, Alun-alun Suryakencana masih ramai dengan warna-warni tenda pendaki. Di kejauhan, seekor elang menari-nari di angkasa, mengabarkan kepada semua pendaki agar segera turun. Di kejauhan, arak-arakan awan bergerak seolah siap menyiram puncak dengan hujan. Mengikuti isyarat alam, saya serta para sahabat pendaki segera turun dan meninggalkan kembali Puncak Gede kembali dalam keheningan. []

43 komentar:

  1. Mas Adie, waktu turun dari tanjakan setan itu ranselnya tetap di gendong kah? Wuiiih sereeem...,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk pendakian tahun ini enggak bawa Ransel uni. Semua ransel ditinggal di Kandang Badak. Tapi kalau pendakian tahun sebelumnya pakai acara gendong ransel hehehe. Harus hati-hati sih. Licin soalnya :)

      Hapus
  2. Tanjakan Setannya SETAN betulya seremnya hahaha. Terharuh bukunya udah sampe Puncak Pangrango... jadi kepingin ikuti langkah serupa tapi napas pendek selalu jadi alasan untuk mundur >.<

    BalasHapus
    Balasan
    1. Serem sih serem koh Tanjakan Setannya. Tapi, kamu gak baca kisahnya ya. Aku kan belum sampai Puncak Pangrango karena hujan deres banget. Akhirnya dialihkan ke Puncak Gede saja :'(

      Hapus
  3. Waha, tanjakan setan. Ngebayangin aja bikin nafas ngos2an...treknya anib ya ternyata di Pangrango.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha kalau ngejalanin sendiri aslinya gak begitu amat kok mbak. Cobain aja sekali-kali. Asal tetap hati-hati dan waspada aja ;)

      Btw, kalau ngeri lewat jalur Tanjakan Setan, di sebelahnya ada jalur yang biasa kok hehehe :)

      Hapus
  4. tanjakan setannya serem juga..untung sudah diberi bantuan tali untuk pegangan..wah kalau bawa ransel bisa setengah mati itu hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe kebanyakan yang lihat Tanjakan Setan pada bilang serem ya. Pas pertama kali lewat sini sih rasanya emang deg-degan, begitu udah kedua kali, rasanya agak lebih tenang hehehe. Asal hati-hati, bawa ransel pun gak ada masalah kok. Saya pernah pas pendakian tahun lalu ;)

      Hapus
  5. wah seneng ya mas...serasa traveling time semasa SOE HOK GIE

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha itulah menyenangkannya sebuah buku. Tulisan yang bahkan lebih tua dari diriku, eh, bisa jalan-jalan bareng dengannya hehehe ;)

      Hapus
  6. iya ya .. sekarang yang mendaki semakin banyak ..kadang2 camp pendakian sudah seperti pasar senggol .... rame benerrr .... mudah2-an tidak menambah masalah baru ... sampah di gunung semakin banyakk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah mas, euforia mendaki gunung kadang tidak diikuti dengan pengetahuan tentang ekowisata. Semoga banyak pendaki, terutama pendaki pemula, semakin sadar arti penting menjaga kelestarian lingkungan. Bukan hanya sebagai slogan, tapi benar-benar dilaksanakan dalam setiap kegiatan pendakian ;)

      Hapus
  7. aq nyerah aja deh kalo disuruh mendaki..

    BalasHapus
  8. wah.. kapan-kapan kalo mau ndaki ajakin dong kak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang lagi musim hujan, ikuti saja kisah pendakian-pendakian asyik di blog ini. Biar nanti kalau udah musim kemarau siap cap cuz mendaki gunung hehehe :)

      Hapus
  9. puncak gunung geda memang selalu mempesonakan. hebat mas Adie..uy.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang belum pernah ke sini mas? Kalau belum, semoga segera diagendakan hehehe :)

      Hapus
  10. Balasan
    1. Bisa pakai tali, bisa juga enggak. Tergantung nyali kok hehehe :)

      Hapus
  11. Bukumu dewe plus bingkisan soko Halim berati bukumu 2 dong? Hahah

    Btw, berati ndik gunung nek pingin sikatan piye? Gak nggawe odol ya? Nek adus barang piye? Gak sabunan ya? Wow.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, bukuku dua, yang pertama versi aslinya. Kertasnya udah kumal. Aku beli pas kuliah dulu di pasar kaget.

      Ya kalau di gunung biasanya memang gak mandi, kecuali ada sungai atau air terjun. Mandi dan gosok gigi gak pakai sabun. Limbah yang mengandung detergen kan bisa mengganggu keseimbangan alam. Hal ini banyak yang belum dipahami oleh beberapa pendaki, terutama pendaki pemula. Kembali ke alam untuk semingguan bisa kali mas gak pakai mandi. Kalau aku sih masih tetep ganteng maksimal hahaha :P

      Hapus
  12. Kalau Pangrangonya sebenarnya "biasa" karena rungkup. Yang menggiurkan itu sekitar beberapa ratus meter dari puncak Pangrango, alun-alun Mandalawangi.

    Wah saya menanti panjenengan bikin sajak kayak Soe Hok Gie. Kalau panjenengan tak usulkan namanya jadi: Soe Hok Adie :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha Soe Hok Gie emang sepertinya sering diidentikkan dengan Pangrango, Semeru, dan puisi. Aku belum sepuitis itu kok meski senang bikin juga hehehe :)

      Hapus
  13. denger namanya tajakan setan, aku jiper duluan mas :D.. walo aku suka gunung drpd pantai, tapiii, spertinya blm ada niatan mw mendaki gunung yg bener2 gini ;p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dicoba aja kak. Gede-Pangrango ini lumayan 'aman' kok buat pendaki perempuan hehehe :)

      Hapus
  14. adem tampakny..itu msnya dfoto ada yg menggigil

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, kalau pagi memang dingin banget di puncaknya. Harus sering bergerak biar gak menggigil :)

      Hapus
  15. ekstrim x rute perjalanannya ya, tapi seru kayaknya, buat pengalaman . hehehehehhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seru banget mbak. Coba aja kalau ada waktu dan dana :)

      Hapus
  16. buat saya pribadi lebih milih jalur putri karena cepat. Jalur cibodas hanya untuk turun saja deh.. kalau naik mah nyerah saya.. panjang euy..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe iya. Jalur Gunung Putri emang lebih 'pendek' rutenya, tapi gak banyak 'bonus'nya. Kalau via Cibodas kan banyak hiburannya hehehe :)

      Hapus
  17. Balasan
    1. Iya lae. Musti masuk daftar daki nih. Asyik dan seru sekali lho :)

      Hapus
  18. Kapan adek diajak mendaki gunung bang? Jangan adek aja yg didaki :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha mendaki itu perlu persiapan yang matang. Hati boleh banget kosong, tapi jangan sekali-kali pikirannya yang kosong kak beb :)

      Hapus
  19. Jauh lebih bagus puncak Gede daripada puncak Pangrango Mas, tapi emang perlu dicoba biar gak penasaran hehehehe.......
    Paragraf sebelum terakhir itu emang benar banget Mas, pendaki gunung justru jangan jadi perusak ekosistem gunung, karena keturunan kita nantinya juga tetap punya hak untuk melihat keindahan alamnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mz. Puncak Pangrango lebih 'sempit'. Untuk melihat sunrise pun lebih bagus di Gunung Gede. Salam lestari :)

      Hapus