Kamis, 10 Desember 2015

Teroka Toraja: Lantunan Lampau Lemo Londa

.: Lanskap Tana Toraja yang Didominasi oleh Sawah dan Perbukitan Hijau :.

Di bawah bayang-bayang awan putih yang melayang di angkasa, deretan bukit cadas yang diselimuti gerumbul semak berdiri dengan kokoh di antara hamparan permadani sawah yang menghijau. Di perutnya, tersimpan kuburan kuno yang mengingatkan siapa saja akan betapa singkatnya hidup di dunia. Konsep yang sering dikotbahkan para pemuka agama bahwa hidup merupakan jeda untuk mempersiapkan kematian begitu nyata dan diimani oleh semua penduduk.

Jauh di utara kota Makassar, Tana Toraja seolah bergeming, menyembunyikan diri dari keriuhan yang dirayakan di belahan selatan Sulawesi. Pariwisata sempat merekah di sini, membuatnya ditahbiskan sebagai destinasi unggulan Indonesia setelah Bali. Namun, sejak Pulau Dewata diguncang bom, bersamaan itu pula reputasi Tana Toraja meredup dan seolah menghilang dari peta pariwisata. Kubur batu sepi pengunjung. Ritual adat kematian hanya dirayakan oleh penduduk lokal. Suatu hal yang bertolak belakang dengan pancaran keoptimisan yang digambarkan dalam motif-motif kain yang ditenun oleh para perempuan Toraja.

"Saya akan berziarah."

Itulah jawaban yang saya lontarkan kepada banyak sekali teman pejalan saat mempertanyakan alasan untuk bertandang ke Toraja. Tak ada sanak kerabat bahkan sahabat yang dijadikan rujukan. Saya bertamu ke Tana Toraja karena terpikat dengan keberadaan kubur batu dalam sebuah kartu pos yang dijajakan di bandara. Setelah menempuh perjalanan darat semalaman, saya tiba di negeri yang tersohor dengan ritual kematian ini di suatu pagi yang tenang dengan perasaan tercengang. Ratusan kerbau dengan ukuran superlatif dijajakan. Begitu juga babi.

.: Lemo: Kuburan di Dinding Batu, seperti yang saya lihat di Kartu Pos :.

"Hari ini adalah hari pasaran di Rantepao.", kata Pak Andriana, pemandu saya, mengonfirmasi raut tanda tanya yang tergurat di muka saya.

Saya tak pernah melihat ada hewan ternak yang begitu sehat dan terawat sebelum ini. Pasa' Bolu seolah menjadi episentrum bagi masyarakat Toraja untuk berbelanja kerbau dan babi, dua  komoditas yang menjadi 'bahan' utama dalam ritual Rambu Solo'. Babi-babi tersebut dihargai sekitar 3 jutaan. Sedangkan kerbau, yang dianggap memiliki kasta yang lebih tinggi, dihargai lebih mahal. Nilainya berkisar di angka 30 jutaan hingga milyaran, tergantung warna kulit, motif, dan bobotnya. Untuk mengadakan ritual Rambu Solo', seorang anggota keluarga harus mengorbankan paling tidak puluhan kerbau dan babi. 

Setelah mengutarakan maksud dan tujuan hari itu, saya diantar menuju Lemo, kuburan yang dipahat di dinding batu. Lokasinya tersembunyi dalam pelukan deretan bukit kapur. Di depannya, menghampar sawah yang menghijau. Dikawal ketat oleh pandangan tajam tau-tau, saya memasuki area Lemo dengan langkah mengendap-endap layaknya akan bertamu di istana ratu.   

.: Ijo Royo-Royo. Hamparan Sawah di Lemo :.

Kompleks kubur batu ini diperkirakan mulai digunakan sejak abad ke-16. Awalnya merupakan media untuk menyemayamkan jasad para bangsawan. Lalu bermetamorfosis menjadi kuburan penduduk. Ada sekitar 70 lubang yang dipahat untuk menampung jenazah. Bentuknya yang bulat dan berlubang inilah yang kerap dijadikan patokan mengapa dinamakan Lemo. Sebuah bentuk yang merefleksikan dengan pori-pori khas buah jeruk. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kuburan tertuanya dihuni oleh jasad seorang tetua adat bernama Songgi Patalo.

Pak Andriana bercerita bahwa hanya keluarga bangsawan saja yang dibuatkan tau-tau. Itu pun harus melalui ritual adat yang ketat. Tau-tau sendiri merupakan totem suci warisan ajaran Aluk To Dolo yang digunakan sebagai representasi jenazah yang dikebumikan. Bentuknya seperti boneka sederhana dengan tangan kanan menengadah ke atas dan tangan kiri menghadap ke bawah. Suatu simbol yang melambangkan saling ketergantungan antara almarhum dengan ahli warisnya. Yang meninggal memerlukan uluran tangan keturunannya untuk mencapai puya (akhirat) melalui ritual Rambu Solo', sedangkan anak cucu mengharapkan berkah agar tetap menyertai kehidupannya.

.: Deretan Tau-Tau di Kompleks Pemakaman Lemo :.

Begitu sakralnya keberadaan tau-tau ini kerap menjadikannya sebagai sasaran objek pencurian. Pernah tersiar kabar bahwa sebuah tau-tau dipajang di sebuah galeri seni di Paris. Layaknya patung Budha dari Borobudur, relik kematian khas Tana Toraja ini juga dihargai tinggi oleh para kolektor seni di luar negeri.

"Menjual tau-tau tak ubahnya menjual leluhur sendiri.", kata Pak Andriana tegas, seolah ikut geram dengan hal tersebut.

Dalam suara yang dipelankan Pak Andriana melanjutkan. "Tak mungkin orang luar Toraja. Biasanya, tau-tau itu dicuri oleh seorang kerabat untuk menebus biaya kematian yang menguras kekayaan."

Dengan segenap kerendahhatian, saya tak ingin melanjutkan tabu untuk diceritakan ulang. Setelah mengucapkan salam perpisahan, masih dalam pengawasan ketat tau-tau, saya meninggalkan Lemo untuk menuju kubur batu berikutnya, yaitu Londa.

.: Deretan Tau-Tau di Kompleks Makam Londa :.

Saya sempat mempunyai pemikiran kalau di masa lalu, Lemo dan Londa adalah saudara kembar yang membangun kompleks pekuburan bagi keturunannya masing-masing. Suatu penafsiran yang steril dari mitos dan tak perlu diimani. Saya hanya terpukau dengan bagaimana masyarakat Toraja menyematkan nama. Terdengar unik dan begitu terasa ciri khas lokalnya.  

Serupa dengan Lemo, saya juga diawasi oleh tau-tau saat memasuki Londa. Tau-tau di Londa terlihat lebih modern dengan baju yang lebih manusiawi. Layaknya arca gupala di keraton-keraton tanah Jawa, sepasang tengkorak menyambut saya. Hening. 

.: Dua Tengkorak di Pintu Gerbang Gua Londa :.

"Mari Pak, saya antar ke dalam."

Peran Pak Andriana digantikan sejenak oleh seorang pemandu makam yang menuntun saya masuk ke dalam gua. Berbekal lampu petromaks dan cahaya redup dari telepon genggam, saya menembus perut gua Londa. Ada banyak peti berserakan di dalam gua. Beberapa peti tersimpan rapi dalam rak yang tergantung di langit-langit. Tulang-belulang dan tengkorak tak kalah menggunung. Masuk ke dalam gua ini, saya kembali takjub dengan tangan-tangan kreatif penduduk Toraja yang selama bertahun-tahun menyulap gua sederhana menjadi makam yang nyaman disambangi siapapun tanpa harus terganggu dengan bau anyir kematian.

.: Peti-Peti Mati yang Tersusun Rapi di Langit-Langit Goa Londa :.

Saya masuk lebih dalam lagi menyusuri lorong-lorong sempit di antara stalagtit dan stalagmit. Di beberapa bagian, saya terpaksa harus merunduk dan merangkak untuk memasuki ruangan lain di dalam gua. Pemandangannya masih serupa: serakan peti mati, tengkorak, dan tumpukan tulang-belulang. Sebuah gambaran yang mengingatkan saya pada kisah Flintstone.

"Tulang dan tengkorak itu merupakan sepasang kekasih yang tidak direstui."

Pemandu di Londa yang saya lupa namanya ini menjelaskan tentang keberadaan rangka dua sejoli yang terserak di dalam gua. Ternyata, jauh dari daratan Eropa, betapa Toraja menyimpan kisah cinta serupa yang melegenda laksana Romeo dan Juliet. Yang membuat heran, entah mengapa banyak sekali puntung rokok maupun batang rokok utuh yang menyertainya.

.: Peti-Peti Bergantung di Gua Londa :.

Setelah merasa agak pusing, saya memutuskan untuk segera keluar dari gua demi mendapatkan asupan udara segar. Saya perhatikan, dari kunjungan saya ke dua kompleks pekuburan Toraja ini, pengunjungnya relatif sepi. Hanya ada beberapa orang yang tak berpotensi terjadi antrian. Mungkin saya datang bukan pada bulan saat segenap Toraja diliputi semangat perayaan kematian. Mengikuti deretan anak tangga, saya meninggalkan Londa kembali dalam keheningan. [] 

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Blog Competition #TravelNBlog 5: Jelajah Sulsel“ yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID.

38 komentar:

  1. Mengingatkan perjalanan ke toraja bareng mz cumi. Kangen mz cumi (kancutan) #eh #gimana :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yakin ingetnya sama Mz. Cumi, bukan sama dedek cantik satunya? #eh

      Btw, emang kamu diapain aja sama Mz. Cumi? Plaase, jujur sama aku ;)

      Hapus
    2. iiiisshhh...penasaran deh, ada apa sih antara bobby dan cumkichi? hihihi... adie gak cemburu emangnya?

      Hapus
    3. Hahaha akooh gak diajak kak. Mereka lagi indehoy bareng pas halan-halan jelajah Sulawesi Selatan. Apa dayaku lah. Aku kan traveler pemula hahaha :D

      Hapus
    4. Bubar bubar ... demen aja pada ngegosip hua hua hua

      Hapus
  2. Pernah denger katanya rokok yang di kuburan2 toraja itu termasuk sesaji mas..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya tadinya juga ngira seperti itu. Soalnya banyak banget rokoknya. Btw, terima kasih informasinya ;)

      Hapus
  3. tempat yang ingin kutuju tapi belum kesampaian

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nabung dari sekarang mbak, baik duit maupun hari cuti, biar tahun depan ada kesempatan buat mengunjungi Tana Toraja hehehe ;)

      Hapus
  4. Balasan
    1. Saya waktu itu rajin menabung selama setahun dan tidak tergoda beli ini itu yang tidak perlu. Alhasil, waktu ada promo Garuda ke Makassar, tabungan saya sudah cukup untuk jalan-jalan seminggu di Sulawesi Selatan, termasuk ke Toraja ini. Mungkin kamu juga bisa mencobanya ;)

      Hapus
  5. Ntap! Aku akhir 2013 ke sana tapi belum nulis, terus lupa :))))))

    BalasHapus
  6. Rasanya malu.. Ngakunya berdarah Bugis, tapi belum pernah ke Toraja... #tutupmuka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, aslinya mana sih Mbak Dian ini? Surabaya, Batam, atau Makassar?

      *melongo*

      Hapus
    2. Aslinya orang Indonesia :D
      Kedua ortuku asli Bugis, tapi aku numpang lahir di Surabaya. Di Batam numpang cari nafkah aja sih, hehehe...

      Hapus
    3. Ooooo perantau juga ternyata. Toos kalo gitu. ;)

      *cuuuz mudik Jawa Timur*

      Hapus
  7. Yang seru itu masuk lemo tanpa sewa lampu pijar main masuk aja pake cahaya hengpon. Ya sedikit grayah grayah dan jatuh bangun wkakkaka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maksudmu ke Londa ya? Lemo gak ada guanya lho. Iya sih, banyak juga yang masuk aja tanpa sewa lampu, jadinya harus ekstra hati-hati soalnya takut HP jatuh atau gimana. Hahaha. Sewa guide aja lah, jangan kayak orang susah wkwkwk :P

      Hapus
  8. Wahh pengen ke Tana Torajaaaaa ... Belum kesampeannn wkwkwk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, masa? Harusnya Desember ini koh. Biasanya banyak acara adat di sana. Kalau enggak ya nabung dulu. Tahun depan ke sononya. Juli pas liburan sekolah juga ada lho ;)

      Hapus
  9. Serem juga ya liat tengkoraknya, tapi pengen ke sana juga :/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau dirasa ngeri-ngeri sedap lihat tengkoraknya, ke sononya ramaian aja. Pasti lebih seru hehehe :)

      Hapus
  10. Bang Adie, itu guanya masih dipakai untuk pemakaman setiap warga yang meninggal kah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih dong. Pas ke sana itu pas ada peti yang masih baru. Bikin bulu kudukku berdiri hihihi :)

      Hapus
    2. Errr .... Nggak ada tuh. Kayaknya mereka punya cara khusus untuk 'merawat' jenazah sedemikian rupa biar gak bau. Soalnya kan tiap setahun sekali atau berapa gitu jenazah tersebut akan diganti bajunya juga melalui ritual mane'ne. Cmiiw :)

      Hapus
    3. i can't correct you if you're wrong, bang Adie. Never been there. Hahahaha... Doain aja bisa nyusul ke makam-makam itu yah... Mau lah dibagiin itinerary-nya...

      *traveler kagak mau repot* :p

      Hapus
    4. Hahaha waduh, aku kalau jalan-jalan gak pernah pakai itinerary. Tapi suka sewa mobil sama supirnya. Lah, supirnya itu yang tak minta anter-anterin ke tempat yang sekiranya menarik. Kalau mau itinerary Toraja, coba tanya mbak Indri Juwono. Dia habis dari sana akhir tahun kemarin :)

      Hapus
  11. semoga maret ini beneran bisa kesana :)

    BalasHapus
  12. Pengalaman yang menarik mas, jadi ingin juga sampai ke sini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga segera kesampaian ya. Toraja menarik banget buat dieksplorasi :)

      Hapus
  13. toraja bener2 eksotis ...
    pengen banget kesini tapi belum juga
    ini jadi seperti mencoba mewujudkan mimpi .. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nabung mas, biar tahun ini kesampaian. Asyik banget alamnya buat sepedahan :)

      Hapus
  14. eh aku gak nemu yang dua tengkorak itu adi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin udah dipindahin. Orang-orang agak ngeri kali ya kalau ada tengkorak secara frontal berjajar di mulut gua begitu hehehe :)

      Hapus