Jumat, 04 Desember 2015

Terapi Cynophobia

.: Jogging Pagi di Kawasan Pantai Senggigi, Lombok :.

Entah mengapa, dari dulu saya selalu takut dikejar anjing. Orang bilang saya mengidap cynophobia. Mungkin gara-garanya karena dikejar anjing tetangga saat disuruh ibu membeli gula di toko kelontong, bertahun-tahun yang lalu. Sampai suatu ketika saya menuliskan catatan tentang ketakutan tersebut pada awal tahun 2015. Tak pernah menduga sebelumnya, ternyata banyak juga yang menaruh perhatian pada tulisan tersebut dan memberikan saran serta masukan tentang bagaimana menghadapi anjing.

Rata-rata memang menyarankan agar saya tidak takut. Mungkin saya memang tidak takut. Tapi panik. Kepanikan memang kerap menjadi pintu masuknya malapetaka. Dan kemampuan untuk mengendalikan kepanikan saat bertemu dengan anjing galak, ternyata tidak mengalami peningkatan signifikan. Saya tetap saja panik dan akhirnya takut saat, secara tiba-tiba bertemu atau berpapasan dengan seekor anjing.

Padahal, jauh di lubuk hati, saya ingin punya perasaan 'biasa' saja saat bertemu atau berpapasan dengan seekor anjing layaknya bertemu dengan kucing atau ayam. Berkali-kali saya bertemu dengan anjing, entah saat jalan-jalan maupun saat main di jalanan kompleks perumahan tempat tinggal. Berkali-kali pula saya selalu berusaha menghindar atau minimal, memberi kode kepada si empunya anjing untuk menjauhkan hewan kesayangannya tersebut saat saya melintas.
Kejadian yang berulang dan penyelesaian yang serupa membuat saya berpikir, ini harus ada solusinya. Sepertinya, tak asyik juga diperhatikan jika suatu saat bertandang ke rumah sahabat, harus merasa risih dan tidak nyaman 'hanya' gara-gara takut dengan anjing. Saya harus pelan-pelan merasa 'biasa' dengan kehadiran anjing jika sewaktu-waktu berpapasan di jalan.

.: Puncak Bukit Pergasingan yang 'dihuni' oleh seekor anjing berbulu putih :.

Ternyata memang tak mudah. Saya masih saja panik. Mungkin lebih karena kebiasaan daripada suatu respon kekagetan. Usaha saya untuk merasa 'biasa' kepada anjing seperti mendapat sinyal positif saat mendapat undangan untuk mengikuti acara Travel Writer Gathering 2015 yang diadakan oleh Badan Promosi Pariwisata Daerah Nusa Tenggara Barat di Mataram, Lombok.

Saya sudah sering berkunjung ke Lombok. Meski belum seluruhnya saya jelajahi, pulau cantik di tepi garis Wallace ini menyajikan semacam anomali bagi saya. Penduduknya mayoritas muslim. Jarang terdengar ada aktivitas perburuan babi, tapi kawanan anjing liar mudah sekali ditemui. Menyapa kembali Pulau Lombok seakan menjadi ajang untuk meleburkan diri kembali untuk bertemu banyak sekali anjing liar. Suatu kesempatan yang pantang untuk dilewatkan demi sebuah prosesi 'terapi' agar bisa berlaku lumrah terhadap anjing. 

Sejak hari pertama jalan-jalan di Lombok, saya sudah beberapa kali bertemu dengan anjing. Yang pertama di kawasan yang tak jauh dari Bandara Selaparang. Selanjutnya, saya juga mulai akrab dengan anjing-anjing kampung yang jumlahnya banyak sekali di Pelabuhan Tanjung Luar, sesaat sebelum menyeberang untuk menjelajah gili-gili di sebelah timur Gunung Rinjani. Yang membuat terkesan, saya bertemu dengan anjing peliharaan Mbak Lia, pemilik Nauli Bungalow di Sembalun, sebuah desa sejuk yang teronggok di kaki Gunung Rinjani.

.: Anjing Peliharaan Mbak Lia di Nauli Bungalow, Sembalun :.

Konon, anjing ini akrab sekali dengan setiap tamu yang menginap. Bulunya hitam. Ekornya panjang. Fasad tampan yang mengingatkan saya pada sosok si Tumang, tokoh anjing dalam legenda Sangkuriang. Anjing ini seakan paham bahasa manusia dan menurut saat dikomando. Meski tidak selincah anjing sirkus, setidaknya saya cukup terhibur dengan tingkah si anjing yang ramah sehingga mau diajak berjabat kaki.

Sayangnya, gambaran keramahan anjing hitam Mbak Lia segera tergantikan saat saya mendaki Bukit Pergasingan. Di bukit cadas tersebut, saya harus sedikit bersabar untuk mendaki gara-gara dihadang oleh seekor anjing hutan berbulu putih. Ukurannya tidak terlalu besar tapi perawakannya mirip sekali dengan serigala. Sebuah gambaran yang membuat nyali saya kembali ciut. Konon, kata Riyal, pemandu saya, anjing tersebut merupakan anjing 'penunggu' bukit. Saya pun langsung berpikir untuk menghindari punya 'urusan' dengan anjing ini dengan berlaku sopan sepanjang pendakian.    

Mungkin benar kalau ada yang bilang bahwa anjing itu bisa merasakan ketakutan seseorang. Suatu pagi di hari berikutnya setelah pendakian di Bukit Pergasingan, saya jogging pagi di kawasan Senggigi. Seperti terulang kembali kejadian tiga tahun silam, saya dikejar banyak sekali anjing liar sehingga harus menghindar dengan masuk sebuah resort yang tidak saya inapi. Ternyata hipotesis saya sebelumnya tidak sepenuhnya benar. Walaupun berat badan saya sudah naik cukup signifikan, saya tetap saja menjadi sasaran digonggongi dan dikejar anjing. Untunglah saya dibantu oleh para pegawai resort tersebut dan diantar sampai mendekati penginapan.

.: Anjing Putih mirip serigala serupa dengan anjing di Bukit Pergasingan :.

Siang harinya, saya diajak untuk menikmati aneka kuliner khas Lombok di Suranadi. Tempatnya sungguh sejuk dan cukup nyaman untuk rekreasi keluarga. Banyak pepohonan rindang dan terdapat satu sungai berair jernih yang bisa direnangi. Kios-kios penjual makanan berjejer rapi menawarkan aneka menu lokal seperti pecel, satai bulayak, dan sebagainya. Namun demikian, alih-alih mendapati banyak kucing berseliweran di area tersebut, saya justru mendapati banyak sekali anjing yang lalu lalang.

Salah satunya adalah anjing berbulu putih keperakan yang tiba-tiba saja muncul dari tengah kerumunan pengunjung yang sedang mandi di sungai. Anjing cantik ini mengingatkan saya pada anjing-berpenampakan-serigala yang saya temui di Bukit Pergasingan. Saya sampai sedikit terperanjat melihatnya berlari ke arah saya berada, seolah siap menyapa sebagaimana kawan lama.

.: Anjing Kampung di Kawasan Suranadi :.

Mendapati kenyataan tersebut, tentu saja saya segera menghindar dan 'bersembunyi' di antara kerumunan pengunjung. Setelah anjing berbulu keperakan tersebut berlalu, saya segera kembali ke salah satu kios yang menjual satai bulayak. Sembari menunggu pesanan diantarkan, beberapa ekor anjing tampak lalu lalang melewati balai-balai tempat saya duduk. Saya mencoba tetap tenang dan seolah-olah tidak merasa terganggu. Mungkin begitulah seharusnya relasi saya dengan anjing berjalan natural. Saya tidak perlu harus merasa khawatir dengan keberadaan mereka.

Saya perhatikan, anjing-anjing kampung ini begitu sehat dan terawat. Paling tidak, badannya bersih seolah rutin mandi. Tidak ada bekas luka atau tanda kalau anjing tersebut mendapat perlakuan yang tidak layak dari manusia maupun sesamanya. Saya sendiri sebenarnya pantang untuk menyakiti atau bahkan melempar anjing dengan batu jika kepepet, sesuai dengan saran yang teman-teman saya sampaikan. Maksud saya, mungkin, meski saya masih agak takut terhadap anjing, kok rasanya tidak tega melihat anjing dilempar batu. Prinsip saya sih, selama keberadaan saya tidak mengganggu ketenangan si anjing dalam beraktivitas dan berlaku resiprokal, saya akan menganggapnya bukan merupakan ancaman. 

.: Anjing Peliharaan Sebuah Warung Makan di Pantai Pangandaran :.

Seminggu setelah angkat kaki dari Pulau Seribu Masjid ini, saya diajak oleh salah seorang sahabat berlibur ke Pantai Pangandaran. Entah mengapa, rasa-rasanya Pantai Pangandaran sekarang jadi penuh anjing dan juga manusia.

Seperti kebiasaan sebelumnya, jika berlibur ke pantai, rasanya pantang sekali untuk melewatkan kesempatan jogging di pantai. Berhubung Pantai Pangandaran sekarang ramainya seperti Pantai Kuta di Bali, saya jadi harus tetap waspada dengan keberadaan anjing-anjing kampung yang sebenarnya lucu-lucu dan menggemaskan itu biar tidak dikejar atau bahkan sampai digigit. Kesempatan ini juga sekalian saya manfaatkan untuk melanjutkan sesi 'terapi' untuk semakin membiasakan diri menganggap 'biasa' kehadiran dan keberadaan anjing di sekitar saya.

Mula-mula memang masih tersimpan rasa khawatir. Anjing-anjing di Pantai Pangandaran ini lumayan besar. Bulunya lebat dan badannya sehat. Meski tidak suka menggonggong terlalu keras, anjing-anjing ini doyan sekali melintas melewati pengunjung pantai layaknya kucing-kucing centil yang haus akan perhatian manusia.

Saat para sahabat berenang di laut, saya memilih untuk leyeh-leyeh dan minum air kelapa muda saja sembari perlahan mendekat dan berusaha berakrab ria dengan anjing peliharaan si empunya kios. Melihat gelagat saya, untungnya si pemilik kios bersedia membantu saya meyakinkan diri bahwa anjingnya jinak dan ramah kepada pengunjung. Saya pun akhirnya berani untuk duduk bersanding dengan si anjing, meski tidak sampai mengelus kepalanya.

.: Cieee, yang udah gak takut sama anjing lagi ;) #pencitraan2015 :.

Berkaca pada pengalaman di Nauli Bungalow, Suranadi, dan Pangandaran, saat bertemu dan bercengkerama dengan anjing-anjing yang lumayan 'jinak', saya pikir sebenarnya masalah terbesar saya bukan pada ancaman cynophobia. Masalah terbesar saya takut anjing adalah ketakutan dan kekhawatiran itu sendiri.

Terapi (saya lebih senang menyebutnya demikian) ini memang belum selesai. Saya akan terus membiasakan diri untuk bersikap 'biasa' saja saat berpapasan atau berada di dekat-dekat anjing. Memang terlihat sepele bagi mereka yang dari awal mudah akrab dengan anjing. Tapi untuk saya, hal seperti ini merupakan tantangan. Untuk menjawabnya, mungkin saya harus lebih banyak lagi jalan-jalan ke tempat yang banyak anjingnya. Dan, di Indonesia, tempat dengan kriteria tersebut masih banyak yang belum saya sambangi. []

4 komentar:

  1. :) ... kayaknya mesti lihat program TV Dog Whisperer Cesar Millan ... bagaimana memahami anjing ... saya juga agak takut sama anjing .. tapi setelah melihat acara TV itu .. jadi punya sedikit tips untuk menghadapinya ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, belum pernah nonton acara itu e. Coba nanti aku cek. Ini juga masih menjalani sesi 'terapi' biar tambah terbiasa dengan keberadaan anjing di sekeliling. Soalnya aku suka panik duluan kalau tiba-tiba ada anjing yang menggonggong hehehe. Cemen yak. Hiks :'(

      Hapus
  2. ndik Bali aku ruip 5 wulan. Akeh asu juga. Eh, untunge aku gak begitu wedi karo asu. Tapi tetep emoh ndemek ae sih. Untunge asu asu ra seneng nyeser nyeser koyok kucing, walhasil aman sih hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha asune juga milih-milih kali mas mau deket-deket sama orang :D :P

      Hapus