Kamis, 17 Desember 2015

Palagan Pergasingan

.: Hamparan Sawah dan Perkampungan Sembalun dilihat dari Bukit Pergasingan :.

Menjulang setinggi 3.726 mdpl telah menempatkan Gunung Rinjani menjadi gunung tertinggi ketiga di nusantara. Pesonanya kian hari semakin cemerlang. Banyak pendaki yang memasukkannya dalam daftar pendakian saban tahun. Saya pun demikian. Sejak dua tahun lalu, saya sudah menempatkan Rinjani sebagai tujuan pendakian berikutnya, bersama Semeru dan Kerinci. Ketiga gunung tersebut seolah memancarkan magnet paling berkilau dalam jajaran gunung yang ingin saya daki di tahun 2015 ini.

Namun, saya sepertinya harus belajar banyak akan arti kesabaran. Saat jadwal pendakian menemukan titik terang, ternyata alam berkehendak lain. Semeru ditutup karena kebakaran hutan, teman-teman yang akan ikut pendakian pada tumbang karena sakit, dan saya disibukkan dengan kegiatan kantor yang tiba-tiba saja banyak berdatangan. Pendakian Semeru pun dibatalkan. Menjelang akhir tahun, saya mendapat undangan untuk mengikuti acara Travel Writer Gathering 2015 di Mataram, Lombok. Maksud hati ingin sekalian naik Rinjani, ternyata harus pupus juga karena Gunung Barujari sedang batuk.

Pihak panitia harus berkali-kali mengonfirmasi keberangkatan saya ke Lombok terkait dengan keinginan saya mendaki Rinjani di saat Barujari sedang erupsi dan mengaburkan langit seantero pulau dengan abu. Saya benar-benar harus bersabar untuk menunda pendakian Gunung Rinjani ke tahun mendatang. Saya sempat berpikir, apa yang akan saya lakukan untuk 'membunuh' sisa waktu liburan di Lombok setelah acara Travel Writer Gathering 2015 selesai.

Beberapa sahabat pendaki menyarankan agar saya naik Bukit Pergasingan, nama bukit yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya sempat merencanakan untuk leyeh-leyeh di Gili Trawangan saja sampai diberi tahu oleh pihak panitia bahwa dalam rangkaian acara Travel Writer Gathering 2015 terdapat jadwal pendakian di Bukit Pergasingan. Mungkin, kabar itu dimaksudkan untuk membesarkan hati saya karena tidak jadi mendaki Rinjani. Hati saya mengembang. Pikiran saya kembali hidup. Setidaknya, saya akan punya satu pengalaman pendakian di Pulau Seribu Masjid ini, sekalipun bukan mendaki Gunung Rinjani

.: Pintu Masuk Pendakian Bukit Pergasingan :.

Pendakian ini dilakukan sehari setelah saya keliling beberapa gili di Lombok Timur. Bermula dari Nauli Bungalow yang asri di kaki Rinjani, tempat saya menginap malam sebelumnya. Pagi sudah memburu waktu. Berbekal sarapan nasi goreng, saya dan beberapa peserta Travel Writer Gathering 2015 mulai mendaki Bukit Pergasingan saat adzan subuh sudah berkumandang. Waktu yang sangat sempit sebenarnya untuk mengejar momen matahari terbit. Saya mulai meniti anak tangga dan jalur tanah yang terjal dengan diliputi perasaan was-was saat mendengar gonggongan anjing yang menyalak di ketinggian.

"Pendakian ini paling akan memakan waktu sekitar dua sampai dengan tiga jam.", kata Riyal, pemandu kami.

Meski memiliki ketinggian 'hanya' sekitar 1.700-an mdpl, Bukit Pergasingan bukanlah medan biasa yang mudah didaki. Dengan tingkat kemiringan jalur pendakian mencapai 60 hingga 75 derajat, diperlukan kehati-hatian dan kewaspadaan ekstra saat meniti jalurnya. Tak ada pohon tempat berteduh. Tak ada batang untuk bergantung. Hanya gerumbulan kecil semak dan akar-akar kering rapuh yang dapat dijadikan pijakan dan pegangan saat mendaki. Di beberapa tempat, saya terpaksa harus merayap untuk menyeimbangkan diri agar tidak jatuh dan terpeleset ke jurang.     

.: Jalur Pendakian Bukit Pergasingan :.

Saat mencapai jalur pendakian yang lumayan datar, saya menyadari hanya seorang diri di atas bukit ini. Riyal masih ada di belakang, membantu teman-teman untuk mendaki lebih tinggi lagi. Matahari sudah terbit dari tadi, membakar Puncak Rinjani dan semak belukar dengan semburat cahaya merahnya yang hangat. Harapan saya untuk melihat matahari terbit di puncak bukit sepertinya harus ditunda layaknya pendakian menuju Rinjani. Rasa lelah menjelajah gili mungkin menjadi katalis bagi saya bangun 'kesiangan' dari jadwal yang ditetapkan. Satu hal krusial akan jadi catatan penting bagi saya untuk pendakian berikutnya: bahwa disiplin diri itu mutlak dilakukan, apapun alasannya. 

Saya kembali berjalan menembus semak belukar dan pepohonan kering. Saya perhatikan, di sepanjang jalur pendakian yang lumayan datar ini terdapat banyak sekali kotoran sapi. Saya terhenyak dan bertanya-tanya. Bagaimana mungkin mamalia penghasil susu itu bisa merumput di tempat setinggi ini melewati jalur terjal dan curam tadi? Saya kembali harus meningkatkan level kewaspadaan. Setidaknya, saya menyadari satu hal bahwa di tempat sesepi ini, saya tidak sendiri. Ada anjing hutan berbulu putih yang tadi menggonggong di pintu masuk bukit dan beberapa ekor sapi yang bisa jadi akan mengagetkan saya dari balik semak. Saya jadi teringat kejadian dikagetkan oleh seekor kerbau hitam berukuran besar saat menjelajah Pulau Rinca di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur

.: Rona Merah Gunung Rinjani Diterpa Matahari Pagi :.

Dari jalur pendakian ini, saya bisa melihat dan menyadari bahwa puncak Bukit Pergasingan masih jauh di atas sana. Tadinya saya mengira, tanah datar inilah puncaknya. Dari arah belakang, tiba-tiba saja dua orang pendaki lain melintas mendahului langkah saya. Hati saya kembali tenang. Setidaknya, ada orang bisa segera dimintai pertolongan jika tiba-tiba anjing berbulu putih di atas sana menyongsong dan menggonggongi saya tanpa alasan.

Jika diperhatikan, jalur pendakian setelah tanah datar tadi memang terus menanjak, tapi terdapat banyak pijakan dan tingkat kemiringannya sekitar 45 derajat sehingga lumayan aman. Matahari mulai meninggi dan sinarnya menghantam hamparan sawah yang menghijau. Deretan rumah-rumah di Desa Sembalun mulai bermunculan, dipisahkan jalur jalan yang meliuk-liuk seperti ular. 

.: Puncak Bukit Pergasingan dari Arah Punggungan Bukit :.

Kira-kira 300 meter sebelum puncak, saya menghentikan langkah. Kiranya pemandangan dari tempat ini jauh lebih indah, tidak tertutup oleh batang-batang pohon. Semilir angin gunung berhembus, menguapkan keringat yang membasahi tubuh sepanjang pendakian. Di kejauhan, Gunung Rinjani tampak anggun dan 'jinak', meski di satu sisinya masih menyisakan segumpal awan putih paska erupsi berlangsung.

Dua pendaki yang tadi mendahului saya sudah duduk beristirahat sembari menikmati bekal yang mereka bawa. Saya pun ikut duduk di dekatnya. Ternyata, kedua pendaki tadi adalah seorang geolog dari universitas ternama di Indonesia yang sedang mengadakan survey di Sembalun dan sekitarnya. Mereka cerita bahwa keberadaannya di Bukit Pergasingan menjadi semacam 'hiburan' setelah sebelumnya, secara sembunyi-sembunyi, melakukan pendakian di punggungan Rinjani demi memenuhi tenggat waktu survey yang diberikan oleh institusi tempat mereka mengabdi.

Saya duduk santai sejenak sembari memerhatikan setiap sudut Sembalun yang terhampar di kaki Gunung Rinjani ini. Bukit-bukit cadas teronggok membentuk siluet cantik, seolah menegaskan kepada setiap pendaki bahwa selain Rinjani, Sembalun mengoleksi bukit-bukit cadas yang menantang untuk didaki. Bukit Anak Dara menjulang lebih jangkung daripada Pergasingan, teronggok dengan gagah menaungi hamparan sawah menghijau. Saya sudah diberitahu oleh panitia bahwa sepulang dari Pergasingan akan diajak menengok desa adat Beleq yang terletak di kaki Bukit Anak Dara. Selain kedua bukit tadi, saya terpesona dengan keberadaan bukit Talaga, Dandaun, Anggrek Kanji, Selong, dan Nanggi yang di satu sisinya merona kemerahan ditimpa sinar hangat mentari.

.: Mengagumi Kebesaran Ilahi :.

Saya mengalihkan pandangan ke sisi lain Pergasingan. Di kejauhan, Rinjani sudah membuka tabirnya. Guratan kasar jalur lava mengukir punggungan gunung, mengisyaratkan bahwa gunung ini memang tidak mudah untuk didaki. Sebuah pesan manis yang mengajarkan kepada saya bahwa diperlukan persiapan yang matang dan kesehatan prima untuk menjejaknya hingga puncak. Saya baru menyadari bahwa rona kebiruan yang menghampar di kejauhan sana adalah perairan Selat Alas.

"Mas, saya turun duluan ya." seru kedua geolog tadi berpamitan.

Saya kembali tenggelam dalam kesendirian di atas bukit, menunggu teman-teman yang ikut mendaki sampai di puncak. Meski saat ini sepi, di hamparan tanah yang agak lapang di atas bukit ini sering digunakan sebagai tempat untuk bermalam para pendaki. Tenda-tenda kerap didirikan dan api unggun dinyalakan. Konon, di masa lampau, nama Pergasingan disematkan karena tempat ini sering digunakan sebagai arena bermain gasing oleh penduduk Sembalun. Mengingat jalur pendakian yang saya lalui tadi, saya pikir betapa niatnya orang-orang yang naik bukit terjal setinggi ini 'hanya' untuk bermain gasing.

Riyal dan beberapa teman yang ikut mendaki akhirnya sampai juga. Sebagaimana kebiasaan anak muda kekinian, semua langsung sibuk untuk mengabadikan pesona alam Sembalun dan momen di atas bukit. Meski tak mendapatkan momen matahari terbit, semua tampak gembira.

.: Tanah Lapang di Puncak Bukit Tempat Bermain Gasing :.

Berhubung matahari sudah membubung tinggi dan sinarnya mulai menyengat, kita memutuskan untuk segera turun agar tidak terlalu siang saat melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya. Dari atas bukit, tampak jalur turunan yang begitu menjorok dan curam. Rasa-rasanya jalan untuk turun lebih banyak memerlukan tenaga dan kehati-hatian.

Saya kembali berjalan menembus semak-semak kering dan jalur terjal nan curam. Punggung saya terasa terbakar. Mungkin, karena lupa memakai tabir surya. Saat sampai di jalur di mana saya harus kembali merangkak perlahan, beberapa porter dan penduduk Sembalun yang mencari kayu bakar tampak perlahan mendaki dengan alunan langkah tenang. Jalur curam ini seolah sudah menjadi sahabatnya saban hari. Selain mereka, beberapa pendaki dari mancanegara terlihat bergegas naik Bukit Pergasingan. Para pendaki asal Malaysia dan Ceko tersebut terlihat sangat lancar saat mendaki. Mereka menggunakan peralatan lengkap layaknya seorang pendaki profesional. Dari obrolan singkat saat berpapasan, tadinya mereka juga berniat mendaki Rinjani seperti saya. Namun, berhubung Barujari bergolak, akhirnya Pergasingan dijadikan peraduan untuk mengobati kekecewaan tak dapat menjejak Rinjani.

.: Tanjakan dan Turunan Menuju Puncak :.

Saya kembali melanjutkan perjalanan. Lutut saya kelu. Pergelangan kaki sedikit kaku. Mungkin ini akumulasi kelelahan paska pendakian minggu-minggu sebelumnya. Saat mendapati jalur tanah yang berujung pada anak tangga, saya merasa lega sekali. Peluh membasuh tubuh. Terik membakar kulit. Rasa-rasanya, yang saya perlukan saat ini adalah sebotol air putih dan naungan pohon rindang.

Saya mendongak ke atas sejenak sebelum meninggalkan bukit. Teman-teman masih di atas, berjuang perlahan-lahan meniti jalur menurun yang curam. Saya pikir, untuk ukuran sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi, Bukit Pergasingan cocok digunakan sebagai arena pemanasan sebelum mendaki Rinjani. Jalurnya lumayan menantang dan sanggup merangkum tipe tanjakan pada pendakian saya sebelumnya. Setidaknya, setelah mendaki Bukit Pergasingan dan menyapa Rinjani dari kejauhan, mimpi saya untuk menjejak titik tertinggi Pulau Seribu Masjid ini semakin menyala-nyala. Saya tak sabar untuk menunggu kesempatan itu tiba. []

23 komentar:

  1. Aku pengen balik lagi ke Pergasingan... Pengen duduk-duduk santai di puncaknya, gak pengen buru-buru turun... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huahahaha ajak saja Mbak Katerina, biar tambah seru. Doi kan anak gunung banget wkwkwk :)

      *dipecut Mbak Katerina*

      Hapus
  2. Balasan
    1. Hahahaha mau jalan ke hatimu kak, terjal banget jalurnya. Aku lelah dan bikin tersesat. Makanya mengasingkan diri sejenak ke Bukit Pergasingan ini :)

      Hapus
  3. Balasan
    1. Menyenangkan sekali pokoknya. Sensasinya sanggup menghadirkan ketenangan dan merejuvenasi diri. Cobalah sekali-kali :)

      Hapus
  4. Duh tulisan ini menambah keinginan saya untuk bisa kesana nih. Semoga ada kesempatan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Semoga disegerakan ya mas. Tempatnya asyik banget :)

      Hapus
  5. mau deh sesekali naik gunung gitu. thanks ya sudah mampir ke blog aku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Diniatkan saja. Menyenangkan kok naik gunung itu. Biasanya kalau sudah nyobain sekali akan ketagihan deh. Hehehe :)

      Hapus
  6. Pergasingan memang lagi terkenal banget di Lombok... dan memang keren banget ya, Mas. Jadi pengen ke sana deh kalau mudik nanti, mudah-mudahan bisa :hehe. Sawahnya itu seperti petak-petak kaca patri yang disusun sembarangan soalnya gradasi hijaunya beda-beda, tapi keindahannya keluar. Itu sih yang menurut saya membedakan Gumi Sasak dengan daerah lain di Indonesia :haha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha iya, heits banget pokoknya. Walaupun naik ke sini juga lumayan menguras tenaga, tapi pemandangan dari atas memang luar biasa. Sawah-sawahnya memang unik. Setimpal dengan usaha untuk naik ke atas deh pokoknya hehehe ;)

      Hapus
  7. perjuangannya beratt .. tapi terbayar dengan pesona alamnya .... foto yang tangan membentang .. keren bangett

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha heits banget itu. Memang butuh perjuangan untuk bisa sampai ke puncaknya :)

      Hapus
  8. Bagus ya tempatnya Mas Adie. Tahun ini aku akan terbang paralayang di sana ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamu selalu bikin ngiri diriku kalau urusan terbang itu. Hiks :'(

      Hapus
  9. Pingin munggah gunung malihan. Mbok racuni hahahah

    Kudu moco artikel tentang tata cara munggah gunung dan kudu nggowo opo ae selama munggah gunung.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha gak perlu macam-macam sih. Paling perbekalan biasa sama stamina prima. Oiya satu lagi, kamera dengan baterai full buat foto-foto hehehe ;)

      Hapus
  10. sejuknya dibukit pagi emang indah yah kak, pemandangan alam Bukit pergasingan yah kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Tiba-tiba kok kangen dengan tempat ini ya gara-gara kamu komen hehehe :)

      Hapus