Rabu, 23 Desember 2015

Balada Beleq

.: [Bukan Arashiyama] Jajaran Bambu Menuju Desa Beleq, Sembalun Lawang :.

Tersohor sebagai pulau yang mengoleksi banyak gili, Pulau Lombok juga menjadi 'rumah' bagi banyak desa adat yang setia merawat tradisi. Posisinya tersebar di seantero pulau. Masing-masing mempunyai keunikan dan keistimewaannya sendiri. Dari sekian banyak desa adat yang sudah ditahbiskan sebagai destinasi populer di pulau yang mengapung di tepi garis Wallace ini, desa adat Beleq seolah bergeming dari ingar bingar modernisasi.

Letaknya tak jauh dari kaki Rinjani. Aksesnya mudah ditembus dan pesonanya sanggup merangkum kebersahajaan desa yang menawarkan keramahan paripurna. Saat banyak pejalan mengagungkan kegiatan pendakian ke gunung Rinjani dan mengabarkan panorama bukit di sekitarnya, desa adat Beleq seakan luput dari radar wisatawan. Saya mengunjungi desa tersebut suatu siang selepas memenuhi undangan makan siang di rumah pemandu pendakian Bukit Pergasingan. Sebuah ajakan yang pantang untuk dilewatkan.  

.: [Ternak Warga] Sapi-Sapi yang Digembalakan oleh Warga Sembalun :.

Lokasinya tak jauh dari jalan raya desa Sembalun. Aroma pembangunan sudah menjalar hingga desa ini. Setidaknya, jalurnya sudah dialasi aspal Buton, meski masih jauh dari sempurna. Deretan bambu betung bergerumbul membentuk koloni yang dipagari. Sekilas mengingatkan saya dengan panorama hutan bambu di Arashiyama, Negeri Sakura. Daun-daun kering berjatuhan di kiri-kanan jalan. Beberapa ekor sapi juga tampak digembalakan.

Anak-anak kecil tampak riang gembira, bermain bola di sejengkal tanah lapang di antara semak belukar. Saya malah sedikit khawatir. Biasanya, merujuk pada pengalaman masa kecil, sekawanan ular kerap melintas di semak dan hamparan dedaunan kering bambu betung. Saya melangkah dengan penuh kehati-hatian sekaligus dan pandangan menyelidik. Sebuah jalan tanah mengantarkan saya pada jalur pendakian sebuah bukit berupa deretan anak tangga yang menanjak rapi.  

.: Jalan Menanjak Menuju Puncak Dara :.

Langkah saya mengikuti alur anak tangga. Saya tidak melanjutkan untuk mendaki Bukit Anak Dara. Meski suka dengan kegiatan pendakian, saya merasa, pendakian kali ini saya cukupkan di Bukit Pergasingan saja. Saya hanya berhenti di Bukit Selong saja. Bukit Pergasingan teronggok dengan gagah di seberang. Puncaknya menyundul gerumbulan awan yang putih pucat.

Langit memang tak sepenuhnya cerah siang itu. Mungkin, tak lama lagi hujan akan jatuh, membasahi hamparan sawah bersemu hijau yang mulai ditanami padi dan sayuran. Sawah-sawah di sini terlihat seperti permadani. Bentuknya simetris, rapi, dan teratur. Polanya serupa motif batik tambal pamiluto. Meski tak membentuk pola jaring laba-laba sebagaimana sawah di Ruteng, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.

.: Hamparan Sawah Menghijau Layaknya Permadani :.

Di balik Bukit Selong, dikepung oleh rimbunan pohon bambu, desa adat Beleq bersemayam. Konon, di sinilah penduduk Sembalun bermula. Alkisah, manusia-manusia pertama yang bermukim di kaki Gunung Rinjani hidup damai dan tenang dilingkupi alam yang asri. Suatu ketika, saat Rinjani bergolak dan menggoyang seisi desa, tujuh pasang sejoli tersebut mengasingkan diri di timur Rinjani, membentuk koloni tersendiri, dan membangun desa yaitu desa Beleq.


.: Desa Beleq, Sembalun Lawang :.

Desa adat Beleq dipercaya sebagai desa pertama, pionir tempat bermula penduduk Sembalun. Dari Bukit Selong, desa ini terlihat sepi. Hanya dihuni tujuh rumah adat yang beratapkan jerami dan dialasi tanah. Areanya diberi pagar pembatas, seolah menegaskan aturan yang sudah pakem dan diampu bertahun-tahun yang lalu. Bahwa, jumlah keluarga yang boleh mendiami kompleks desa adat tersebut hanya tujuh keluarga saja. Tidak boleh lebih. Eksesnya, setiap orang yang sudah siap berumah tangga dan akan membentuk keluarga baru, harus siap untuk angkat kaki dan membangun rumah di luar area adat yang sudah ditetapkan.

Saya bertandang suatu siang. Desa ini benar-benar sepi. Tak ada tiket masuk. Penjaga gerbangnya pun tidak kelihatan. Saya mengira penduduknya sedang keluar untuk bertani atau bekerja di tempat lain. Sebuah gapura ringkih beratapkan jerami menyambut saya. Di belakangnya tampak kebun sayur yang dihuni segenap keluarga palawija semacam cabai, tomat, dan terong.

.: Gerbang Masuk Desa Beleq :.

Ketujuh rumah adat yang mendiami desa ini serupa, baik bentuk, ukuran, maupun bahan pembentuknya. Semunya menghadap ke utara. Hal ini memiliki filosofi bahwa umat muslim jika meninggal akan dimakamkan dengan membujur ke utara. Sedangkan jumlah rumah yang tak boleh beranjak dari angka tujuh melambangkan tujuh hari dalam seminggu.

Rumah-rumah ini meski pondasinya sudah relatif moden dengan campuran semen dan batu kali, lantainya masih setia beralaskan tanah. Sekilas, atapnya lebih mirip tudung saji yang disangga dengan tiang-tiang kayu atau bambu. Ukuran pintunya mungil dan terletak agak tinggi dari halaman. Untuk memasukinya, saya harus mendaki tiga anak tangga. Tangga yang berjumlah hanya tiga ini melambangkan bahwa penduduk desa adat Beleq menganut sistem wetu telu.

Begitu melongok ke dalam, ternyata rumah adat Beleq hanya terdiri dari dua ruangan yaitu tempat tidur dan ruang penyimpanan alat-alat perang dan bertani. Tapi, di rumah yang saya datangi, tak ada barang sama sekali. Semua tampak bersih dan sepi.

.: Warga Sedang Membuat Anyaman untuk Mengganti Atap :.

"Desa adat ini masih terawat, tapi penduduknya sudah pada tinggal di desa di luar pagar itu.", kata Riyal, pemandu saya waktu pendakian di Bukit Pergasingan, mengiringi langkah saya untuk jalan-jalan di halaman.

Saya berputar sejenak, menengok bagian belakang rumah. Tiba-tiba saya dipanggil Pak Hadi, pemandu saya yang mengantar keliling gili di Lombok Timur, dan ditunjukkan sesuatu. Tampak salah satu dinding bagian belakang rumah adat ada yang bolong sedikit.

"Lubang ini bolong karena itu merupakan adat bagimana muda-mudi penduduk Beleq bergaul." kata Pak Hadi.

Belakangan saya tahu berkat penjelasan dari seorang sahabat yang tinggal di Lombok. Tata pergaulan itu disebut dengan midang bejujuk, yaitu cara bergaul dengan membangunkan si gadis memakai lidi dari luar rumah. Kedua sejoli tersebut tidak diperkenankan bertatap muka langsung, tetapi harus menggunakan pemisah baik dinding rumah atau pagar. Lidi itulah yang digunakan sebagai media untuk memberi tanda atau kode.

.: Deretan Rumah Adat Beratap Ilalang :.

Saya kembali ke halaman. Tampak beberapa warga sedang menganyam rumbia untuk mengganti atap. Di sudut area desa adat, saya perhatikan terdapat sebuah bale atau langgar tempat rapat atau beribadah. Sepertinya, hanya bangunan inilah yang berpenghuni. Pak Hadi menjelaskan bahwa bangunan tersebut dihuni oleh warga yang bertugas merawat bangunan rumah adat ini supaya tetap terjaga.

Saya keluar dari area desa adat Beleq dengan perasaan termangu. Untuk ukuran sebuah desa adat yang menjadi semacam titik nol dimulainya suatu kawasan, saya merasa bahwa desa ini seperti kehilangan ruhnya. Tak ada kehidupan dan aktivitas layaknya desa adat lainnya. Entah mengapa generasi penerus tujuh pasang manusia pertama yang membangun desa ini enggan tinggal. Mungkin mereka punya alasan tentang pilihan tersebut. Saat benar-benar angkat kaki dari kawasan desa adat Beleq, saya diam-diam berharap bahwa suatu saat, akan tiba waktunya desa ini kembali hidup seperti sedia kala. Dan hal itu terjadi bukan karena tuntutan atau imbauan pemerintah terkait pengembangan kawasan wisata, namun karena kesadaran ahli warisnya dalam melestarikan kembali tradisi agung yang dibangun oleh leluhurnya. []

16 komentar:

  1. Desanya seperti desa2 di jepang jaman dulu yg sering saya liat di film2 mas (bukan jav lho). Kereen lah, noted!

    Http://www.idiotraveler.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, sayang sekali sekarang sudah tidak dihuni, meski masih terus dirawat dan dilestarikan :)

      Hapus
  2. Aku juga merasa 'ada sesuatu yang kurang' waktu mengunjungi desa adat ini... Bener kata kamu, desa ini seperti kehilangan ruhnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya karena tidak ada aktivitas layaknya sebuah desa biasa gitu. Tidak ada yang tinggal di rumah adatnya kecuali petugas penunggu desa. Coba kalau desanya hidup dan aktivitasnya banyak, mungkin akan banyak dilirik wisatawan yang bisa jadi mendukung perputaran ekonomi penduduk sekitar. Kita tunggu sentuhan tangan pemerintah daerah NTB untuk ini ;)

      Hapus
  3. Atau mungkin karena Watu Telu mengundang terlalu banyak polemik, sehingga tinggal di sana dan melestarikan kebudayaan itu dianggap sebagai suatu kesalahan oleh negara. Paling tidak begitulah yang saya dengar tentang nasib budaya Watu Telu di masa orde baru dulu, sengaja dihilangkan, dan ditolak untuk dilestarikan.
    Dalam sebuah tulisan resmi, hal tersebut bahkan diakui.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oooo gitu, baru tahu malah tentang informasi ini. Sama guidenya gak dikasih tahu soalnya. Mungkin mereka punya alasan tersendiri. Tapi, aku kok mikir kalau suatu saat entah keturunannya ada yang bakal balik lagi dan menghidupkan kembali desa adat itu. Meski mungkin gak mengikuti pakem wetu telu, paling tidak aktivitas di dalam desa itu kembali hidup dan desa seolah kembali bernyawa. Gak sabar menunggu hal itu tiba :)

      Hapus
  4. desanya asik banget, rumah-rumahnya baguuss.. ga tau ada begituan pas ke sembalun waktu itu, soalnya cm numpang lewat mau ke rinjani doang sih. kayaknya musti balik lg kapan2 deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha iya. Lokasinya memang bukan di pinggir jalan sih. Agak masuk ke dalam. Tanya penduduk lokal saja kalau sudah sampai Sembalun. Desanya memang sepi dan gak ada petunjuk jalannya. Wajib mampir kalau balik lagi ke Sembalun :)

      Hapus
  5. sayang ya .. kalau budayanya mulai berubah ... jadi sepi ... lama2 bisa menghilang ... hanya tinggal cerita ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makanya itu, ada beberapa penduduk yang masih setia merawatnya, walaupun sudah tidak tinggal di dalam kompleks desanya. Sayang banget sih sebenernya :'(

      Hapus
  6. Saya selalu tertarik untuk mengetahui bagaimana desa2 adat itu mampu bertahan dari perkembangan jaman. minimal, mereka tidak berusaha menjadi sebuah kota. di aceh, sebenarnya banyak desa yang dulu menjaga adat dan istiadat mereka. berumah panggung juga salah satu cirinya.. tapi kini? ah jadi mellow deh hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, banyak banget sebenarnya desa seperti ini. Kalau dikembangkan, sebenarnya gak kalah kok potensinya sama tetangga sebelah. Kita memang kurang pandai merawat banyak tradisi luhur nenek moyang. Mungkin karena merawat tradisi itu butuh dana. Sementara di sisi lain, ada banyak program pemerintah yang mungkin lebih mendesak dan perlu segera ditangani. Makanya, perlu banyak bantuan sukarela dari masyarakat untuk menghidupkan kembali dan merawat desa-desa (terutama desa adat) yang ada di sekitarnya ;)

      Hapus
  7. Orang lombomk sumbawa ini, malah pohon atau tanaman yg di kandangin sedangkan ternak nya dibiarkan berkeliaran #DuniaKebalik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau kamu maunya dikandangin atau dibiarkan berkeliaran? Please, jawab jujur wkwkwk :)

      Hapus
  8. itu pemandangan sawah bak permadaninya super cakeeeppp ^o^.. betah ih ngeliatnya lama2...

    dan unik bgt sig cara muda mudinya bergaul :D... kalo aja di jkt caranya juga gitu ya, mungkin bisa menekan pernikahan dini yg ga diinginkan ;p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha kalau di Jakarta kayak model begini, muda-mudinya bakal alim-alim bingits wkwkwk.

      Iya mbak, sawahnya aku juga suka banget. :)

      Hapus