Senin, 30 November 2015

Rasa Sasak

.: Aneka Kuliner Penggugah Selera dari Bumi Seribu Masjid :.

Tersohor sebagai rumah bagi pantai-pantai teduh yang memanjakan mata dan hati tak serta merta menjadikan Lombok menjadi rujukan untuk menikmati sajian yang memuaskan mata dan perut. Setidaknya, dalam peta gastronomi nasional, Pulau Seribu Masjid ini hanya menempatkan satu wakilnya untuk menjadi pesohor. Dalam usahanya menjadi destinasi mandiri dan keluar dari bayang-bayang gemerlap pariwisata Bali, segenap menu andalan khas lokal yang diracik dari resep turun-temurun berusaha unjuk diri dengan kemasan yang masih mengedepankan kebersahajaan tampilan, tanpa mengesampingkan kualitas rasa.  

Diversivikasi menunya berpotensi untuk memukau para penikmat kuliner dari seluruh penjuru dunia. Rekomendasinya beragam. Melalui kombinasi bahan-bahan lokal pilihan dan kreativitas tanpa batas penduduknya dalam memadupadankan rasa, daftarnya mungkin akan bertambah saban hari. Pilihan terbaik untuk mencicipnya bisa melalui banyak kanal. Mengikuti rekomendasi penduduk setempat dalam memilih warung atau kedai makan sangat disarankan.

Untuk tampilan dan pengalaman yang lebih premium, beberapa hotel butik sudah memodifikasi dan mengemasnya menjadi sesuatu yang tampak istimewa. Namun demikian, keautentikan rasa dalam mencicipi kuliner yang khas dari suatu tempat, tak ada salahnya menyediakan waktu barang sejenak untuk berpelesir ke tempat sajian tersebut berasal.

.: Nasi Puyung :.

Saya datang ke Lombok saat Gunung Rinjani bergejolak. Asap hitam mengepul di angkasa, menguarkan aroma kekhawatiran bagi siapa saja yang termakan drama dunia dalam berita. Tak sempat mencicipi sarapan, perut saya dikenyangkan dengan sepiring nasi puyuh yang bermukim tepat di depan pintu gerbang Bandara Internasional Lombok.

Bermula dari nasi bungkus biasa, nasi puyuh tampil dengan setangkup nasi putih pulen dikelilingi sederet lauk yang digoreng ringan: kacang panjang tumis, kentang goreng, ayam suwir, ayam goreng, dan sambal. Menu ini sudah dimodifikasi dari menu asalnya. Tersembunyi di sebuah gang sempit di kawasan Lombok Tengah, nasi puyung orisinal dapat ditemukan di kedai Nasi Puyung Balap Inaq Esun. Lauknya hanya berupa ayam suwir bumbu pedas dan kedelai goreng. Tambahkan kerupuk dan telur dadar jika tak kuasa menahan rasa pedasnya.

Meski tak punya korelasi secara langsung dengan cabai, nama Pulau Lombok kerap disalahartikan sebagai palawija mujarab penghasil rasa pedas ini. Dan agenda saya untuk mencicipi kuliner khasnya sepertinya hanya sebatas permulaan. Malam menjelang sebelum perjalanan panjang dibentangkan. Sebagai seorang tamu, rasanya tak elok menyapa menu yang mendapat reputasi terpuji dan seolah diwajibkan untuk selalu dicicipi kala berada di Lombok: ayam taliwang, pelecing kangkung, bebalung, dan sambal beberok.

.: Ayam Taliwang, Pelecing Kangkung, Bebalung, dan Sambal Beberog :.

Kombinasinya sanggup menyingkirkan sejenak hawa dingin yang menyergap di waktu malam. Sebagai seorang pengampu lidah Jawa, menikmati menu-menu ini seakan bertemu kawan lama di tempat yang jauh dari rumah. Ayam bakar berbumbu rempahnya membuat saya lupa untuk membatasi diri mengonsumsi nasi di malam hari. Di lain sisi, tak mungkin rasanya kuah segar sop tulang dibiarkan tersisa dibuang percuma. Dan semua pakar kesehatan akan sepakat kalau sayuran rebus dengan bumbu kelapa lebih aman dikonsumsi daripada jenis menu apapun yang digoreng. Saat suapan terakhir dituntaskan, kelopak mata seakan tanggap untuk meneruskan pesan dari perut agar segera mengatup.

.: Aneka Buah yang Dipasarkan di Kawasan Taman Tirta Narmada :.

Dikaruniai dengan alam yang subur dan hawa yang sejuk, tanah-tanah pertanian yang dinaungi bukit cadas di sekeliling Gunung Rinjani menawarkan panorama yang sulit untuk dihiraukan keberadaannya. Saat mengetahui bahwa Rinjani ditutup untuk umum pasca erupsi Barujari, saya menuju kawasan Pergasingan sebagai persinggahan. Dari atas puncaknya, petak-petak sawah menghampar layaknya permadani hijau. Kenikmatan untuk mengalami pemandangan menakjubkan ini adalah perut kosong dan langkah lunglai akibat dibakar matahari di atas Pergasingan. 

.: Desa Sembalun dilihat dari Bukit Pergasingan :.

Sebagai obatnya, Riyal, pemandu saya saat meniti bukit, mengundang datang ke rumahnya untuk bersantap siang. Setelah beberapa kali menikmati menu khas Lombok yang disajikan di warung-warung pinggir jalan, rasanya ajakan untuk mencicipi kuliner sebagaimana yang dinikmati oleh penduduk lokal sayang untuk dilewatkan.

Layaknya menu rumahan, bertamu ke rumah Riyal seperti kembali pulang kampung ke rumah nenek. Menu-menunya diracik dari resep keluarga yang setia merawat tradisi. Disajikan di atas bakul, sebongkah nasi merah mengepul menggoda perut-perut yang kelaparan. Lauknya cukup beragam dan didominasi dengan menu sayuran. Sebagai seorang yang pernah mengenyam nasib sebagai vegetarian, menu-menu ini seperti memutar kembali memori masa silam. Meski tampilannya sangat familiar bagi lidah Jawa, aneka hidangan ini mengampu nama-nama unik yang membuat saya merasa perlu untuk mencatatnya.  

.: Menu Masakan Lokal Khas Desa Sembalun :.

"Yang ini namanya kelak sin." kata inaqnya Riyal seraya menunjuk semangkuk sayur bening dengan labu siam.

Saya baru tahu kalau bahasa sasak untuk sayur itu kelak. Setelah itu, meluncurlah nama-nama kelak yang tersaji di depan mata. Kelak kuning merupakan semacam sayur lodeh yang isinya berupa labu siam, ayam, dan potongan cabai hijau yang direbus dalam kuah kuning. Kelak batih itu sayur kacang merah. Disebut pula sayur kacang buncis. Yang membuat saya penasaran ingin mencoba adalah sayur lombok atau sayur cabai. Sebutan yang sematkan dengan sedikit ceroboh pada sayuran yang bahan utamanya cabai rawit hijau dan taburan teri renyah. Nama aslinya adalah banteng nganga.    

Jika mencicipi kuartet kelak tersebut dianggap terlalu 'keras' membakar lidah, ikan beloh goreng, apes (pepes) kepiting, dan suberang (kentang goreng iris kecil) dapat dijadikan penetralnya. Saya cukupkan dua piring saja untuk merapel asupan makan siang sekaligus sarapan hari itu. 

.: Sate Bulayak di Taman Jajan Suranadi :.

Namun, di akhir musim kemarau seperti saat ini, saat hujan belum sepenuhnya bertandang, seantero Lombok seakan dinaungi lebih dari satu matahari. Akibatnya, manusia-manusia yang aktif bergerak senantiasa merasa lapar sekaligus dahaga. Untungnya, sumber-sumber untuk meredamnya ada di seluruh penjuru pulau.

Tak jauh dari pusat kota Mataram, Suranadi hadir layaknya taman jajan di sebuah taman kanak-kanak. Lokasinya mudah dijangkau. Ada banyak menu yang bisa dipilih untuk disantap. Tapi yang paling direkomendasikan banyak pejalan hanyalah satai bulayak. Awalnya berbahan dasar usus dan hati kambing atau sapi. Lambat laun, satai bulayak mulai menggunakan daging, baik daging sapi, kambing, dan ayam. Satai empuk dengan saus kacang yang lembut disantap dengan bulayak, sejenis lontong yang dibungkus dengan daun aren. Bentuknya seperti lepet di Jawa tapi isinya nasi. Berhubung tidak terlalu suka daging kambing atau sapi, saya memilih satai ayam saja. Bumbunya memang menggugah selera.

.: Ayam Bumbu Khas Rarang, Lombok :.

Berhubung lebih suka ayam daripada menu daging-dagingan yang lain, di hari berikutnya saya diajak untuk mencicipi sajian ayam khas Rarang. Ayamnya dibakar ringan terlebih dahulu sebelum dibumbui. Saya mencium aneka rempah di dalam bumbunya. Meski tampilannya sedikit berkuah minyak, dagingnya yang lembut berpadu dengan bumbu yang kuat seolah sanggup mengembalikan ingatan saya dengan masakan ibu. Meski berbeda, ayam bumbu khas Rarang ini tampilannya mirip sekali dengan ayam bumbu rujak kreasi ibu saya.

Empat hari berkelana dari warung ke warung di seantero Pulau Lombok ternyata tak dapat merangkum keragaman menu yang ditawarkan oleh kreasi koki-koki lokalnya. Meski belum semuanya dicicipi, untuk menggenapinya, saya berusaha santai sejenak di kawasan Senggigi. Di pantainya yang sudah mulai kalah pamor paska berkembangnya pantai-pantai baru di belahan selatan dan timur pulau, saya diberi kesempatan untuk menyaksikan sang surya tenggelam di ufuk barat. Momen magis ini jarang sekali saya nikmati.

.: Senja di Senggigi :.

Begitu malam menjelang, saya menginap di d'Oria Boutique Resort. Teronggok menyendiri di salah satu bukit kawasan Senggigi, hotel ini mengampu hanya satu restorasi. Warung Sunset d'Oria mengoleksi satu menu spesial yaitu nasi bogem. Tampilannya berupa selapis isi oseng tuna asap pedas yang dibungkus dalam setangkup nasi pulen dengan wangi sedap daun pisang. Ditemani segelas susu jahe hangat yang dipesan secara personal, kedua menu tersebut seakan sanggup menangkal sejenak semilir angin laut yang membuat ombak beriak-riak menghantam karang.   

.: Nasi Bogem yang Mak Nyus di Lidah :.

Di hari yang berbeda, melangkah tak jauh dari d'Oria Boutique Resort, saya menginap di Svarga Resort Lombok. Serupa dengan d'Oria, properti unik dengan dominasi bangunan berbentuk kubus ini juga hanya mengoleksi satu restorasi: SalZa. Bersanding dengan kolam renang infinity, restoran SalZa mengajak tamu yang menginap mengudap makanan sehat. Beragam menu dapat dijadikan pilihan seperti nasi kuning betawi, kombinasi roti bakar dan telur mata sapi dengan irisan tomat segar, serta menu-menu lain yang tampilannya familier bagi penduduk Indonesia namun dilabeli sebutan-sebutan yang menginternasional.

Minumannya pun masuk dalam kategori aman bagi kesehatan maupun norma kesusilaan. Segala sesuatu yang berbahan alkohol dilucuti dari daftar menunya. Sederet pilihan jus buah segar, kopi panas, dan teh menjadi substitusinya. Melewatkan pagi yang syahdu dengan satu sesi sarapan setelah berenang merupakan opsi yang bisa dipilih untuk mereka yang malas beranjak dari kawasan hotel. Setidaknya, setelah sekitar seminggu dijejali dengan makanan racikan warung dan khas rumahan, menu-menu ini sanggup menciptakan variasi yang memuaskan mata sekaligus perut.  

.: Menu SalZa: Roti Bakar dan Telur Setengah Matang :.

Seminggu memang bukan waktu yang leluasa, meski tak bisa juga dibilang sempit untuk mencicipi setiap makanan lokal di seluruh penjuru pulau. Tapi, menafsirkan kuliner khas Lombok sebagai kiblat dalam peta kuliner nusantara sepertinya juga terlalu prematur. Namun begitu, sebagai penyandang gelar World Halal Travel Awards 2015, diversifikasi menu yang dimiliki Pulau Lombok cukup mengesankan. Dengan sedikit sentuhan kreativitas koki-koki peracik bumbu, menu-menu lokal tersebut bisa jadi mendulang pamor dan siap bersanding bersama sajian ayam taliwang di jagad kuliner nasional. Saat hal itu tiba, saya pikir, Bali akan benar-benar menemukan pesaingnya. []

9 komentar:

  1. Pengen makan banteng nganga ama nasi puyung lagi... Nasi bogemnya d'oria juga juara! Postingan ini bikin laperrrr....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banteng nganga ki pedes banget, aku kecele e waktu itu. Nasi puyungnya enak. Nasinya pulen. Ayam suwirnya gurih.

      Soal nasi bogem, harusnya menu itu dipopulerkan di seantero Lombok. Tambah saos sambal, oseng tunanya mantab. Sayang porsinya mini banget. Hiks, hehehe :'(

      Hapus
  2. Kamu ngak nyobain sate rembige yg tersohor dan ternikmat itu ??? Trus ada nasi balap yg pedessss

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah kak, tapi untuk ulasan kali ini, sudah terwakili dengan Satai Bulayak dan Nasi Puyung. Sama-sama endessnya ;)

      Hapus
  3. BW kesini pas jam maka siang duuuuh menggoda sekali makanannya dan pastinya enak tuh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah, jangan salahkan aku ya mbak hehehe. Monggo dicicipi :)

      Hapus
  4. wah .. bener2 sangat menggoda ... banyak sekali ragam makanannya
    saya hanya baru pernah nyobain ayam taliwang dan pelecing kangkung ... dan pelecing kangkungnya bener2 nikmattt .. top deh ... mungkin karena saya suka lalapan kali ya ... hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, taliwang sama pelecing kangkung soalnya udah umum mas. Di mana-mana ada. Hehehe. Kalau mau nyobain yang lain, kayaknya musti datang langsung ke Lombok deh. Naik sepeda di Sembalun treknya bagus lho mas :)

      *nebar racun jalan-jalan* :)

      Hapus
  5. Bener banget. Saya juga suka masakan rumah begini. Duh, jadi kangen Lombok :')

    BalasHapus