Kamis, 26 Februari 2015

Suaka Primata

.: Welcome to the (real) jungle @ Tanjung Puting National Park :.

Pagi yang hening mendadak pecah oleh suara gaduh yang memekakkan telinga. Suara itu bukan berasal dari deru mesin kelotok (perahu kecil dengan mesin diesel). Sekawanan bekantan (Nasalis larvatus) baru bangun dari tidurnya. Sang pejantan, yang berhidung paling mancung dan berekor paling panjang, seperti dirigen yang memberi komando bagi kelompok paduan suaranya untuk secara lantang bersuara keras meski jauh dari merdu. Suara serak bersahutan tersebut seakan menjadi alarm pembuka hari di Taman Nasional Tanjung Puting pagi itu.

Terletak di peninsula selatan Kalimantan Tengah, Taman Nasional Tanjung Puting menaungi kawasan konservasi seluas 415.040 ha. Kawasan ini dibangun oleh ekosistem hutan rawa air tawar, hutan rawa air gambut, hutan bakau, dan hutan hujan tropis. Untuk kategori hutan yang disebut terakhir, Taman Nasional Tanjung Puting boleh berbangga mengantongi predikat sebagai hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia dan satu-satunya protected area di Asia Tenggara. Kawasan ini bisa ditembus melalui sungai Sekonyer dengan kelotok yang banyak berlabuh di pelabuhan Kumai, sebuah kota kecil berjarak 30 menit berkendara mobil dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

.: Sekawanan Bekantan di Taman Nasional Tanjung Puting :.
Saya sengaja bangun pagi hanya agar tidak melewatkan kisah bersambung pertunjukan kawanan bekantan yang bergelantungan di atas dahan-dahan pohon kemarin sore. Setelah para bekantan tersebut pergi secara bergantian masuk kembali ke tengah hutan, giliran sekawanan monyet-monyet lucu memecah keheningan. Dengan anggota komunitas tak sebanyak kawanan bekantan, monyet-monyet tersebut seakan mengendap-endap untuk menggantikan singgasana para bekantan yang 'menguasai' area tersebut sejak kemarin sore. Mereka bersahutan, tampak meriah sekali, menyahuti gurauan sesama komunitasnya maupun menanggapi secara random para wisatawan yang dengan jahil menggoda gurauannya.

Meski alamnya terbilang cukup liar, perjalanan menuju ke episentrum kawanan orangutan di taman nasional ini sudah diatur cukup rapi melalui beberapa agen perjalanan wisata. Peminatnya kebanyakan turis asing. Saya termasuk minoritas di sini. Bersama para peneliti asing yang senantiasa antusias bertanya banyak hal dan selalu berpenampilan layaknya Indiana Jones, serta beberapa pengajar dari International School di Jakarta, saya menyusuri sungainya yang berwarna hitam dalam kelompok-kelompok kecil kelotok.

.: Kelotok, sarana transportasi utama di Sungai Sekonyer :.

Setelah mandi dan sarapan pagi, kelotok berangkat perlahan meninggalkan para monyet-monyet liar untuk masuk lebih dalam di kawasan taman nasional. Jauh dari keriuhan kota, kawasan ini menyajikan pasokan oksigen cuma-cuma dalam jumlah tak terbatas. Pepohonan berkeriut lebat berebutan sinar matahari, bersaing ketat dengan deretan nipah dan semak belukar. Parit-parit kecil membelahnya, mengalirkan air gambut yang menyatu di sungai Sekoyer. 

Beberapa buaya air terlihat santai di pinggir 'muara' parit. Meski tak sanggup mengubah kulitnya dalam sekejap sebagaimana bunglon, direndam dalam sungai Sekoyer yang menghitam karena humus membuat kulit predator ini lambat laun serupa dengan air sungai. Jadi, harap hati-hati menjulurkan kaki bergelantungan di bibir kelotok. Alih-alih berusaha santai menikmati suasana hutan, bisa berakhir menjadi sarapan buaya muara (Crocodilus porosus). 

.: Anggrek bulu :.
Meski orangutan adalah maskotnya, bertemu orangutan di sepanjang daerah aliran Sungai Sekonyer bisa disebut sebuah keberuntungan karena kawanannya biasa bergelantungan jauh di dalam hutan. Pak Adi (namanya mirip sekali dengan saya, uh) yang menjadi pemandu saya sepertinya paham sekali dengan keinginan para tamunya. Dan sebagai warga negara minoritas di wilayah ini, saya cukup beruntung karena begitu 'dijamu' serta diberi tahu tentang tempat-tempat dan jalur trekking yang tidak dilewati oleh kelompok para bule saat berjalan menuju tempat feeding orangutan.

Seperti misalnya, saya langsung digiring ke dalam sebuah taman pengembangbiakan anggrek di Tanjung Harapan saat bilang ingin sekali melihat anggrek hitam. Setelah sehari semalam menyusuri sungai Sekonyer di mana banyak sekali anggrek hutan bergelantungan di dahan pohon, saya masih dibuat ternganga dengan koleksi anggrek di sini. Paling tidak, beberapa spesies baru saya kenal dan lihat untuk pertama kalinya. Selain anggrek hitam, saya terpesona dengan anggrek bulu. Sayang sekali, kedua puspa langka itu sedang tidak berbunga.

Iseng-iseng saya bertanya, " Apakah di sini juga terdapat anggrek darah?".

Sungguh, sebenarnya saya tidak tahu apakah spesies ini eksis di dunia. Saya hanya pernah mendengar informasi ini saat menonton film Anaconda yang dibintangi oleh Jennifer Lopez. Pak Adi bilang kalau di sini tidak ada jenis anggrek yang saya maksud. Pun, beliau juga baru dengar ada anggrek darah. Saya berasumsi, kalaupun anggrek darah memang benar ada, bisa jadi tumbuhnya jauh berada di dalam hutan sehingga tidak banyak orang yang mengetahuinya.

.: Jamur-Jamur Cantik di Bonggol Kayu yang Telah Mati :.

Selain di Tanjung Harapan, saya juga menikmati saat dibawa Pak Adi melangkah jauh masuk ke dalam hutan meninggalkan rombongan yang lain hanya untuk ditunjukkan aneka flora unik yang tersembunyi di hutan Kalimantan. Ada jamur kayu yang tumbuh menyebar di bonggol pepohonan yang lapuk dan lembab secara bersamaan karena pengaruh cuaca. Jamur-jamur ini tumbuh subur seolah tanpa ada yang mengusiknya.

.: Kantung Semar (Nepenthes ampullaria) di TN Tanjung Puting :.
Ada juga tumbuhan kantung semar (Nepenthes ampullaria) yang bentuknya sungguh imut dan menggemaskan. Flora karnivora ini tumbuh secara bergerombol di bawah tunggul pohon maupun melilit pohon yang menjadi 'sandarannya'. Para pecinta kantung semar dijamin akan meneteskan air liur tanda lapar ingin menambahkannya dalam daftar koleksi saat melihatnya. Beberapa bunganya tampak dikerumuni serangga saat saya sambang yang mengingatkan saya pada materi pelajaran biologi di bangku sekolah. Saya memang sengaja berlama-lama di tempat ini karena tak bosan memerhatikan ada banyak sekali jenis kantung semarnya. Ada yang bentuknya seperti terompet, canting, cinthung, maupun koteka.

Tak mau melewatkan kesempatan menikmati kawasan Taman Nasional Tanjung Puting dari setiap sudutnya, saya langsung berniat untuk naik ke atas menara pandang di tengah area hutan yang agak lapang. Pak Adi bilang, "Jangan kaget kalau melihat hutan dari atas. Hutan di sini lebatnya sudah tidak merata."

.: Menara Pandang dan Jalur Trekking Menuju Tempat Feeding Orangutan :.

Jauh sebelum punya kesempatan bertandang ke sini, saya sudah lama mendengar bahwa pamor hutan Kalimantan yang karenanya Indonesia pernah mendapat julukan sebagai negeri zamrud khatulistiwa dan kawasan paru-paru dunia sudah lama merosot tajam. Bahkan, hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change tahun 2012 lalu disebutkan bahwa laju deforestasi di Indonesia mengalahkan Brasil sehingga menempatkan bumi pertiwi ini sebagai negara dengan produksi emisi gas rumah kaca tertinggi ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Amerika. Dan dari ketinggian menara pandang itulah realita ini mungkin bisa sedikit ditilik. Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Tapi, ancaman illegal logging dan pembukaan lahan untuk sawit sepertinya menjadi bayang-bayang kelangsungan pelestarian hutan Indonesia berikut penghuni di dalamnya.

.: Wisatawan sedang trekking menuju tempat Feeding Orangutan :.
Saya bergerak menuju tempat feeding orangutan. Dari ketiga tempat feeding di Taman Nasional, Camp Leaky menjadi tempat yang paling ditunggu. Selain letaknya yang paling jauh dari Pelabuhan Kumai, Camp Leaky juga dianggap sebagai 'kerajaan'nya Orangutan di Taman Nasional Tanjung Puting.

Camp Leaky berdiri atas prakarsa dari Birute Mary Galdikas, satu dari tiga Leakey's Angle yang dikirim oleh sang guru yaitu Louis Leaky untuk meneliti kehidupan primata di tiga belahan dunia yang berbeda. Galdikas dikirim ke Indonesia untuk meneliti orangutan Kalimantan, Jane Goodall dikirim ke Tanzania untuk meneliti simpanse, dan Dian Fossey dikirim ke republik Rwanda untuk mengamati gorila.

Awalnya camp ini merupakan tempat konservasi orangutan yang steril dari kunjungan orang-orang yang tidak berkepentingan langsung dalam penyelamatan orangutan. Tapi, lambat laun, setelah upaya konservasi sedikit banyak mendapatkan hasil, camp ini mulai dibuka untuk umum bagi siapa saja yang ingin mengetahui lebih dekat kehidupan orangutan berikut usaha pelestariannya.

.: Orangutan berayun-ayun sambil menikmati pisang :.

"Di sini, sekitar 200 ekor orangutan sudah dilepasliarkan. Pada jam-jam tertentu memang sengaja diberi makan sekali dalam sehari." kata Pak Adi.

Hal ini dilakukan untuk membiasakan para orangutan tersebut agar mencari makanan sendiri di dalam hutan. Oleh karena itu, perlu diberitahukan kepada para pengunjung Taman Nasional Tanjung Puting bahwa seperti halnya mengunjungi taman nasional yang lain, tidak ada garansi pasti akan bertemu dengan orangutan. Justru kalau ternyata tidak ada orangutan yang datang di tempat feeding artinya pasokan makanan di dalam hutan sedang melimpah sehingga mereka tidak perlu tergantung pada makanan yang disediakan oleh para jagawana taman nasional.

Jika diperhatikan, manusia akan menganggap orangutan ini lucu dan memikat hati. Padahal, jika ditilik lebih dekat lagi, secara genetik, mereka 97% sama dengan manusia. Tingkah polah dan pergerakannya yang dianggap lucu itu secara tidak langsung juga bermanfaat untuk membuka kanopi hutan. Hal ini secara perlahan akhirnya bisa melengkapi siklus yang berlangsung di dalam hutan itu sendiri. Selain itu, dengan daya jelajahnya yang mencapai 5.000 hektar, mampu menyebarkan biji buah melalui makanan yang dikonsumsinya.

.: Save Me, Please! #SaveOrangutan :.
Hari sudah sore saat saya memutuskan untuk segera kembali ke dermaga Pondok Ambung untuk bermalam, agar esok harinya tidak terlambat untuk kembali ke dermaga Kumai. Merasa 'beruntung' bisa melihat langsung orangutan di alam liar, hari itu orangutan yang menyambangi tempat feeding cukup banyak. Meski Tom, sang raja orangutan tidak menampakkan batang hidungnya, tapi Siswi, orangutan lain yang juga populer di Camp Leakey tampak santai, bahkan paling bersemangat menyambut para turis yang datang bertandang.

Begitu melihat tingkah polah mereka serta penjelasan singkat dari jagawana dan pemandu bahwa keberadaan orangutan ini meskipun penting tapi masih hidup di bawah bayang-bayang ancaman pembalakan liar dan deforestasi pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, diperlukan dukungan dan upaya perlindungan secara nyata dari para pihak pemangku kepentingan untuk secara tegas tidak mengganggu kelestarian hutan alami Indonesia, terutama yang statusnya sudah ditetapkan sebagai kawasan taman nasional dan cagar alam.

Dalam perjalanan pulang ke dermaga Kumai, saya membaca sebuah tulisan di sebuah papan. Tulisan tersebut berbunyi "Jika pohon terakhir telah habis ditebang dan tetasan air telah habis diminum, manusia akan sadar bahwa ternyata uang tidak dapat dimakan." Sebuah tulisan 'peringatan' yang membuat perjalanan pulang kembali ke dermaga Kumai menjadi sarat perenungan. []

8 komentar:

  1. OMG, pengen banget aku ke Tj. Puting. It was on my bucket list already. Suka banget sama alama apalagi ada Orang Utannya. So cute! :)

    xx,
    www.indahjelita.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Segera booking tiket dan luangkan jatah cutinya mbak. Selagi ada kesempatan, jangan disia-siakan ya hehehe. ;)

      Hapus
  2. Orang-orang harus nyari cara supaya jadi sejahtera tanpa harus merambah hutan dan berkebun sawit...

    BalasHapus
  3. Tanjung puting ini memang keren, si putri pengen banget kesini tuh :D Dilema sih, masalah penebangan hutan dan kebun sawit itu :( manusia memang terlalu serakah :( Kalau hutan habis, mereka mau tinggal dimana...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener banget. Makanya, sebelum ke Australia, ajaklah Putri ke sini dulu. Yakin gak bakal nyesel ;)

      Hapus
  4. Aaaah aku enjoy banget live on board di Tanjung Puting with our Kiddos. Subhanalloh, Indonesia itu indah banget yaaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ketagihan nih kayaknya. Yang paling aku inget sih, pas live on board di Tanjung Puting itu makanannya yang enak-enak dan melimpah. Perut kenyang hati riang deh pokoknya hehehe ;)

      Hapus