Selasa, 03 Februari 2015

Babak Baru Baluran

.: Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur :.

Dari lima taman nasional angkatan pertama yang dimiliki Indonesia, Baluran adalah taman nasional keempat yang saya sambangi. Sebelumnya, berturut-turut saya mengunjungi Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur, Taman Nasional Ujung Kulon di Banten, dan Taman Nasional Gede-Pangrango di Jawa Barat. Sebenarnya, saya agak malu mengakuinya. Pasalnya, dari empat taman nasional yang dikoleksi Jawa Timur, inilah kunjungan yang pertama. Untuk orang yang numpang lahir dan besar di belahan timur Pulau Jawa, termasuk telat hitungannya mengunjungi taman nasional ini mengingat beberapa taman nasional lain di seberang pulau sudah dijamah lebih dulu.

Menempuh perjalanan darat kurang lebih enam jam dari Surabaya, bukan tanpa alasan saya mengunjungi Taman Nasional Baluran. Setidaknya, saya sudah lama dibuat penasaran dengan karakter taman nasional yang terletak di Banyuputih, Situbondo ini karena sedikit berbeda dengan taman nasional di dekatnya yang berhutan tropis. Tanah hitam aluvial mendominasi kawasan seluas 25 ribu hektar ini. Dengan curah hujan rendah, beberapa teman pejalan mengonfirmasi bahwa waktu terbaik mengunjunginya adalah di musim kemarau. Tapi, beberapa pejalan lain menenangkan dengan menyelipkan informasi bahwa Baluran juga menawarkan sesuatu yang layak dinikmati saat hujan sedang bermurah hati.

.: Evergreen, Kawasan Hutan Hujan yang Selalu Basah :.
Dari awal saya sudah memantapkan pemahaman untuk tidak terlalu berharap banyak bertemu dengan satwa di Baluran.

"Saat musim hujan begini, pasokan makanan dan air di tengah hutan melimpah, mereka tak perlu susah payah bertandang keluar untuk mencari kubangan air." kata mas Agus, pemandu saya, memberi penjelasan saat memasuki gerbang taman nasional.

Itulah menariknya mengunjungi taman nasional. Kita dibuat penasaran akan segala sesuatu yang akan dijumpai di dalamnya. Setidaknya, mata saya sudah menangkap sorot mata dua ekor rusa Jawa (Cervus timorensis) mengendap-endap di balik semak, mengawasi dengan ketat langkah kaki saya meninggalkan loket masuk menuju ke tengah hutan. Di tengah perjalanan, seokor elang terbang anggun melintasi pucuk-pucuk pohon yang meranggas dan menjulang ke angkasa.

Langit memang teduh sekali siang itu. Hujan sepertinya tinggal menunggu waktu. Tapi ada sepenggal area Taman Nasional Baluran yang mencoba membuat negasi dengan alam sekitarnya. Area yang disebut evergreen ini merupakan kawasan yang selalu basah sepanjang tahun. Sekelompok kupu-kupu berwarna kuning terkejut saat mobil yang saya tumpangi melintas. Kaki-kakinya yang rapuh berusaha menjejak kembali tanah basah di bawahnya seolah mengafirmasi tak ada sesuatu yang mengusik ketenangannya bermain lumpur. Kata mas Agus, jika beruntung, burung merak dan ayam hutan kerap melintas di kawasan ini. Saat ini, mungkin atraksi di dalam hutan lebih menarik daripada deru mesin mobil yang memecah hening.

.: Gunung Baluran, Menjulang di Tengah Area Taman Nasional  :.
Dua belas kilometer jarak yang harus ditempuh untuk mencapai Bekol, sabana luas yang merupakan episentrum Baluran. Sebuah gunung setinggi 1.247 mdpl menjulang di sebelah kiri jalan. Puncaknya dipeluk oleh awan hitam yang tebal. Dari jalan utama, gunung cantik ini dipisahkan oleh kawasan hutan yang lebat sehingga lembahnya tampak rapat tersembunyi.

Saya berjalan menuju pos jagawana yang di ujung jalan. Bertamu di Baluran saat musim liburan seperti menempuh ujian kesabaran. Deru mesin mobil dan sepeda motor meraung-raung memecah kesunyian. Hujan yang datang tanpa permisi seolah melengkapi alasan yang menguatkan tuan rumah taman nasional ini untuk menampakkan diri.   

Di kejauhan, saya melihat sekawanan kerbau liar (Bubalus bubalis) tengah merumput sembari dijerang panas yang menembus sela-sela awan. Tapi sayang, saya tak melihat seekor pun banteng Jawa (Bos Javanicus) maskot utama taman nasional. Menurut petugas taman nasional, populasi banteng Jawa masuk dalam status mengkhawatirkan. Berdasarkan survey lapangan tahun 2012 populasinya banteng Jawa hanya sekitar 26 ekor. Jumlah ini termasuk turun drastis jika dibandingkan dengan survey dua dekade sebelumnya di mana populasinya terhitung hingga 338 ekor.  

.: Sabana Bekol, Episentrum Taman Nasional Baluran :.

Ada banyak sebab populasi banteng Jawa ini terus merosot. Perburuan liar, predasi alami dalam lingkaran rantai makanan, serta menyusutnya kualitas dan kuantitas sebaran pakan untuk banteng diidentifikasi sebagai alasan banteng Jawa semakin susah untuk dijumpai. Yang terakhir, invasi tumbuhan akasia berduri (Acacia nilotica) disebut-sebut sebagai kambing hitam yang membunuh vegetasi asli alam Baluran termasuk rumput yang menjadi pakan sebagian besar penghuni taman nasional ini.

Pohon akasia tumbuh liar dengan sebaran yang cepat dan merata, menyulap sekitar 300 hektar hamparan rumput lamuran yang menjadi pakan banteng dan menggantinya dengan rumput rayapan, kapasan, dan otok-otok. Kini, sepertinya menjadi sebuah keajaiban jika tanpa sengaja tiba-tiba bisa berjumpa dengan banteng Jawa di tengah sabana.   

.: Etalase Tulang-Belulang Penghuni Taman Nasional Baluran :.
Sebagai gantinya, sebuah etalase berupa tengkorak banteng Jawa dan aneka satwa penghuni Baluran dipajang secara vulgar di area perlintasan sabana. Hal ini seolah memberi bukti bahwa satwa-satwa tersebut meski susah ditemui tapi dapat diketahui eksistensinya. Pengunjung kerap menggunakan tempat ini untuk beristirahat sejenak dan mengabadikan diri. Etalase ini sendiri mengingatkan saya pada pajangan serupa yang ada di pos jagawana komodo Pulau Rinca.

Saya berjalan meninggalkan kerumunan pengunjung menuju pos jagawana. Konon di tempat ini terdapat tempat penangkaran banteng Jawa dan burung merak. Tapi, langkah saya urung menuju kandang penangkaran karena ulah sekawanan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang berjalan berarak menuju kawasan sabana Bekol dari dalam hutan, menghadang langkah saya. Monyet-monyet ini sungguh berisik dan tak tahu sopan santun. Konon mereka menganggap diri sebagai 'tuan tanah' di kawasan ini. Jika tak berhati-hati, barang bawaan bisa dibawa lari oleh monyet-monyet jahil ini.

.: Kawanan Rusa di Atas Sabana yang Mulai Hijau (foto: @anersandi) :.
Matahari semakin condong ke barat. Hujan belum jadi menghunjam bumi. Saya beranjak semakin dalam ke kawasan lain taman nasional. Di tengah perjalanan, di kejauhan saya sempat melihat sekawanan rusa sedang berlari tunggang langgang. Saya tak tahu penyebabnya. Mungkin ada usikan dari raja hutan. Mungkin juga karena deru kendaraan yang lalu lalang. Saya hanya berharap bahwa kedatangan kali ini tidak mengganggu ketenangan penghuni asli kawasan ini. Setidaknya itulah aturan baku yang belum pernah saya revisi ketika berniat untuk mengunjungi taman nasional.

Setelah melintasi kawasan  gersang dengan kontur jalan bergelombang, saya tiba di Pantai Bama, oase yang menyejukkan setelah mata dihantam dengan padang tandus nan gersang. Pantai Bama mungkin cocok dijadikan sebagai wahana bertetirah untuk mengembalikan tenaga setelah seharian menjelajahi kawasan sabana. Tersembunyi di balik rimbunan pohon, selintang pantai berpasir putih menghampar menyajikan air laut tenang bergradasi. Meski tak sebening dan seelok air laut di pantai Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon, laut Pantai Bama aman untuk direnangi. Di sini pengunjung juga bisa bermain kano atau sekadar duduk-duduk di bawah pohon rindang. 

.: Pantai Bama :.

Tapi, lagi-lagi kewaspadaan harus tetap dipegang teguh. Tuan tanah kawasan Baluran ternyata tidak hanya mendominasi Bekol. Mereka tak ubahnya seperti polisi hutan yang terus berpatroli ke setiap kawasan, termasuk juga Pantai Bama. Puluhan monyet ekor panjang menguasai atap mobil pengunjung dan menjadikannya semacam wahana bermain. Berusaha menyingkir dari serbuan monyet liar, saya menyusuri Pantai Bama dan menyerap ketenangan suasananya dalam benak. Saya menemukan banyak sekali pohon bakau terawat baik. 

.: Kawasan Hutan Bakau di Pantai Bama :.
Informasi dari mas Agus, pemandu saya, kawasan Pantai Bama juga menyembunyikan sejumput hutan bakau yang rindang. Mengikuti papan penunjuk arah, dari tempat parkir mobil saya mengikuti jalan setapak menuju sebelah kanan hingga bertemu dengan jembatan kayu. Jembatan kayu ini memudahkan pengunjung menembus kawasan hutan bakau hingga ke bibir pantai. Bakau-bakau ini terlihat sehat dan terawat. Akarnya menjuntai laksana gambaran rambut medusa dalam legenda Yunani. Untung laut sedang pasang sehingga monyet-monyet nakal itu menyingkir sejenak dari kawasan ini.

Saat air laut surut, hutan bakau ini merupakan tempat berkerumun kawanan monyet untuk mengais kepiting dan kerang. Dasar laut sekitar Pantai Bama memang kelihatan landai sehingga cocok juga untuk mencari ikan. Tapi, berhubung malas berbilas, saya mengurungkan niat untuk mandi di air lautnya yang tak terlalu biru. Karena harus melanjutkan kembali perjalanan ke Banyuwangi, saya juga mengurungkan niat untuk bermalam di Pantai Bama. Padahal, dengan harga penginapan sebesar Rp. 350.000, 00 per malam, setidaknya saya bisa menikmati suasana hutan bakau tanpa penerangan di malam hari dan panorama matahari terbit langsung di depan penginapan.

.: Santai Sejenak di Sabana Bekol Sehabis Hujan :.
Semburat merah menyelinap dari balik pepohonan yang mengering. Hujan sepertinya tidak jadi turun, tapi mendung masih konsisten menggelayut tak merata di ujung langit. Meski hanya sebuah kunjungan singkat, Taman Nasional Baluran sepertinya sanggup menjawab alasan mengapa kawasan ini pantang untuk dilewatkan oleh para pejalan yang haus akan petualangan. Alam liarnya yang kaya dan beragam membuatnya pantas dimasukkan dalam jajaran taman nasional tertua yang dimiliki negeri ini. Entah mengapa, hati saya seperti terpaut erat dengan taman nasional ini, seolah sudah lama bergumul bersama. Saat melewati gerbang keluar, kembali menyusuri jalan raya Banyuwangi, saya seperti baru saja melepas sahabat lama untuk berlalu pergi. []

24 komentar:

  1. Keren banget ternyata Baluran ini, setahuku Jawa Timur temasuk yang memiliki taman nasional yang bagus2, yang saya tahu tuh Taman nasional bromo semeru di malang ya, sama kayak Jabar lah :D

    www.salmanbiroe.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali. Ada empat taman nasional yang dikoleksi Jawa Timur: Baluran, Bromo-Tengger-Semeru, Meru Betiri, dan Alas Purwo. Terbanyak di Pulau Jawa. Keempatnya memiliki karakteristik yang unik dan pantang untuk dilewatkan oleh setiap pejalan yang selalu rindu petualangan :)

      Hapus
  2. Kamu pakai Pemandu itu keliling-kelilingnya naik motor atau jalan kaki Die? Ada tarif khusus buat Pemandunya?

    BalasHapus
  3. tadinya pesimis ketemu banyak hewan di baluran soalnya temen2 byk yang kecewa gitu hewannya sedikit, ga ketemu sama rusa & bantengnya sama sekali. tapi pas di baluran malah ketemu hewan2 yg sering ngumpet, mungkin waktunya yang harus pas, lebih baik pagi hari gt atau safari malam :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah senang sekali ya. Itulah uniknya main ke taman nasional. Memang tidak ada garansi kita bakal ketemu sama hewan-hewan penghuninya, tapi kalau lagi beruntung, wah bakal jadi petualangan yang seru sekali :)

      Hapus
  4. Tamannya masih kurang pengunjung iya mas masih sepi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya ini ramai sekali lho. Kan ke sininya pas libur panjang akhir pekan. Tapi saya emang paling suka difoto yang gak ada background banyak orang. Jadi kesannya sepi :))

      Hapus
    2. Oh begitu, saya kira sepi dan cuma ada mas doang hehehe

      Hapus
    3. Hahaha TN Baluran ini luas banget kok, jadi bisa milih titik tertentu untuk bisa foto-foto tanpa ada background yang mengganggu :)

      Hapus
  5. Nggak usah malu bro. Masih ada yg lebih parah. Misalnya aku ini, sama sekali belum pernah berkunjung ke taman nasional manapun di Indonesia... hiks....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ayo disegerakan tahun ini. Yang paling dekat dulu mas dari rumahnya :)

      Hapus
  6. Ah, nyaman sekali membaca untaian kata demi kata tentang Baluran ini. Indah sekali, seindah Baluran seperti seharusnya. Semoga Baluran benar-benar kembali ke babak baru, bukan babak belur di tengah ancaman invasi akasia dan kerakusan manusia ya Mas :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waw, terima kasih banget apresiasinya. Masih banyak sekali PR yang harus dikerjakan untuk mengembalikan pamor Baluran seperti saat ditetapkannya menjadi taman nasional tahun 1980-an dulu. Semoga perlahan-lahan bisa. Semua berharap hal yang sama :)

      Hapus
  7. Dulu ke Baluran pas hujan, jadi hewan yang nongol gak banyak. Bos Javanicus juga gak nongol satupun. tapi akhirnya bisa ketemu puluhan Bos Javanicus di Taman Nasional Alas Purwo...:D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku gak ketemu dua-duanya. Mungkin benar juga kata pemanduku, pasokan makanan di dalam hutan lagi banyak :)

      Hapus
  8. hmm..kapan2 balik ke sana lagi pas musim kemarau, Di.. biar serasa di Afrikaahh :D *lha wong lagi jelajah Indonesia, ngapain juga nyari2 Afrika ya? :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya emang gitu sih, pengen balik ke sana pas lagi kemarau. Katanya banyak hewan pada reuni di Bekol :))

      Hapus
  9. orang-orang pada suka ke savan bekol pas lagi kering, tapi ntah kenapa aku malah pengen liat yg pas lagi ijooo :))

    eh kmrn beneran ga pake nginep kak? lewat gitu doaang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau aku suka dua-duanya. Pengen banget balik pas musim kemarau. Iya, kemarin ke sana gak nginep, soalnya emang rencana utamanya adalah naik gunung Ijen hehehe. Jadi ada alasan buat balik kan ;)

      Hapus
  10. Monyet2 lah yg bikin aku trauma ama baluran. Aku sedih mangga dan makanan lainya diambil :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ikhlaaaas kak, rejeki anak sholeh (bukan Anak Bupati Gresik) gak akan ketuker dan berkurang kok. Apalagi cuma mangga dan makanan lainnya, bisa jadi diganti sama cemilan-cemilan heratis dari hotel berbintang :) :P

      Hapus