Sabtu, 15 November 2014

Cinta dalam Secangkir Kopi

.: [Sarapan] Kopi, Nasi Goreng, dan Beberapa Iris Buah Segar :.
"Ibu lebih memilih tidak makan nasi daripada harus tidak minum kopi saat sarapan," kata ibu saya suatu ketika.

Kata-kata itu terlintas begitu saja saat saya sedang adu diam dengan buku menu di sebuah kedai di Jakarta. Gerimis yang syahdu menenggelamkan saya pada ingatan masa kecil yang menyenangkan untuk dikenang. 

Dari kecil saya sadar bahwa saya tumbuh di lingkungan orang-orang yang menyukai kopi. Ibu adalah orang pertama yang saya kenal sebagai seorang penikmat kopi militan. Beliau meracik sendiri kopi yang terhidang di meja. Mulai memilih biji kopi di pasar, mencuci dan menjemurnya di bawah terik matahari, menyangrainya di wajan tanah liat, dan kemudian menggilingnya. Beliau melakukan hal itu semua sendirian dengan penuh ketelatenan.

Setelah ibu, diam-diam saya mengimani kalau neneklah biang semua orang jadi kecanduan minum kopi. Di suatu pagi saat libur lebaran, saya melihat nenek tengah asyik menikmati kopi di sebuah kursi malas di depan televisi. Karena semua kerabat dan saudara ibu berkumpul semua, saya bisa memerhatikan mereka tengah riuh berbincang melepas kangen. Tak lupa, masing-masing orang memegang cangkir berisi kopi yang mengepul menguarkan aroma harum. Tampak akrab dan hangat sekali pemandangan itu.

.: Secangkir Kopi dan Setangkup Cerita di Ibukota Jakarta :.
"Saya pesan segelas kopi Aceh," kata saya kepada seorang pramusaji, segera setelah ingatan akan masa kecil tadi berkelebat.

Bukan tanpa alasan saya memesan kopi Aceh. Saya menganggap bahwa Svarnadwipa memang istimewa. Pulau besar penghuni wilayah barat nusantara ini dari dulu mengusik rasa penasaran saya untuk menjejaknya. Selain karena budayanya yang kaya, panorama alamnya yang memesona, dan sederet magnet yang mampu menjadi mantra ajaib yang mengundang orang untuk bertandang, kopi adalah alasan utama penariknya.

Dari banyak referensi dan cerita yang saya dengar dari mulut para petualang yang saya temui, Sumatera menawarkan petualangan minum kopi yang pantang untuk dilewatkan. Dataran tinggi pegunungan Andalas merupakan tambang emas hitam yang mengantarkan Indonesia menjadi salah satu produsen kopi terbaik dunia. Sebagai seorang petualang musiman sekaligus pecinta kopi, saya merasa perlu memasukkan Sumatera sebagai zona penting untuk memuaskan dahaga petualangan mencicip cairan biji kopi. Dan kopi Aceh merupakan satu pilihan terbaik untuk setidaknya dicicipi sekali dalam seumur hidup.

.: Seorang Barista Sedang Meracik Secangkir Kopi :.

Selain kopinya yang nikmat, saya senang sekali duduk di dekat tempat meracik kopi. Kalau boleh jujur, di sudut inilah sebenarnya daya tarik warung kopi di Aceh: suara air mendidih, gemericik air rebusan kopi dari saringan pernikel, harum kopi yang menguar, dan atraksi dari sang barista. Tidak seperti barista-barista kafe di Jakarta, barista warung kopi di Aceh sepertinya memang jauh dari kesan 'rapi'. Tapi, di balik penampilannya yang sederhana itulah justru yang membuat warung kopi di Aceh jadi kondang hingga ke luar negeri. Pasalnya, tiap ada liputan tentang warung kopi, pasti yang selalu diambil gambarnya adalah tingkah baristanya dalam menyajikan kopi dari saringan yang mirip kaos kaki ini.

Selain kopi Aceh, pengalaman mencicip kopi tradisional dari kantong-kantong tanah subur perkebunan kopi di penjuru negeri mengantarkan saya pada keeksotisan kopi kintamani di Bali dan autentisitas kopi Flores dalam suasana persahabatan yang hangat. Suatu ketika saya juga sempat mencicip secangkir Toraja yang filosofis dan segelas kecil kopi Belitong yang membudaya.

.: [Menu Sarapan] Secangkir Kopi dan Telur Ayam Kampung :.
Pesanan kopi saya datang. Tak sabar saya mencicipnya. Namun begitu, saya kembali terhenyak dan teringat kata-kata seorang kawan yang berada jauh di Jogja.

Katanya, "Belajarlah kamu dari para penikmat kopi. Mereka endapkan dulu kopinya. Setelah ampasnya turun, barulah diseruput."

Tadinya saya pikir hal itu hanya bualannya saja. Tapi setelah itu dia melanjutkan.

"Pesan moralnya, ambillah keputusan saat hati dan pikiranmu tenang, bukan saat emosional dan panik," tambahnya sembari menyeruput kopi.

Entah mengapa, setiap kali saya sedang berada di sebuah kedai kopi seorang diri, tiba-tiba saja datang momen untuk berkontemplasi. Saya kerap heran sendiri dengan hal itu. Beberapa kali saya memburu tempat sepi untuk menenangkan pikiran, jawabannya muncul begitu saja saat saya menikmati secangkir kopi di meja makan atau di sebuah kedai kopi sederhana di pasar tradisional. Mungkin saya tak henti-hentinya diingatkan. Perjalanan memang tak melulu soal tempat. Dan setiap hal, setiap orang, dan segala sesuatu yang kita temui dalam hidup, sepertinya hadir bukan karena sebuah kebetulan atau pelengkap cerita. Mereka ada untuk menggenapi kepingan pengalaman hidup kita untuk bekal menciptakan kenangan yang kita ingat di masa depan.

.: [Santap Siang] Secangkir Kopi dan Kue Nagasari :.
Saya hirup aroma kopi yang sudah mulai mengendap ampasnya. Saya sesap sedikit demi sedikit. Rasanya memang istimewa. Saya kembali duduk terhenyak dan terpesona dengan efek yang barusan saya rasakan. Ritual minum kopi merupakan sebuah kenikmatan personal bagi saya. Selain sanggup menyingkirkan sejenak dari kepenatan pikiran, ternyata, minum kopi juga sanggup menumbuhkan kembali kenangan akan hangatnya sebuah hubungan keluarga, manisnya sebuah persahabatan, dan kerinduan untuk selalu merawat keduanya. []

Facebook: Adie Riyanto
Twitter: @adieriyanto

20 komentar:

  1. Tapi gue nggak bisa minum kopi item khas daerah gitu, maag langsung kumat. Tapi kalo minum Americano di Sbux segelas gede kok nggak kenapa-kenapa yak :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, masa? Baru tau gw kalau lo ada maag. Kelihatannya pecinta kopi banget sejak gw baca tulisan lo di Toraja. Hahaha horangkayah sih ya, jadi minum kopinya harus di SBux :D

      Hapus
  2. Pengen nyobain juga nih, kebetulan gue juga suka kopi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, sama dong. Btw, udah nyicip kopi dari mana saja mas?

      Hapus
    2. Mas sampean opo wong nganjuk? Iki enek koncomu Ari Murdianto buzzerbeezz (kenal khan?) sak bis karo aku dalam acara Tour Blogger Jawatengah.

      Hapus
    3. Hehehe iya. Tapi udah lama pindah ke Jakarta. Ari temen kuliah. Sebenernya aku diundang juga ikutan Fam trip Jawa Tengah, tapi jadwalnya pas bentrok sama jadwal jalan-jalanku. Sayang banget sih sebenernya. Mungkin lain waktu bisa ikutan :)

      Hapus
  3. Suka suka sukaaaa.. ama filosofi endapan kopinya ☺

    BalasHapus
  4. saya juga engga suka kopi hitam tapi kopi yang ada susu nya suka :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kelihatannya, kamu genit ya orangnya hehehe. Nebak dari kopi kesukaannya sih ;)

      Hapus
  5. Selalu ada cerita bersama sebuah cangkir kopi :D

    BalasHapus
  6. ga semua kopi aku bisa minum...bukan berarti ngerti bgt ttg kopi jg sih ;p... Tpi buatku asalkan kopinya ga ninggalin aftertaste yg asam di mulut, aku bisa suka... tp kalo abis minum ada sisa2 asam, duhhh lgs pgn gosok gigi jadinya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha berarti cocoknya kopi sanger dari Aceh nih, lumayan nyaman dinikmati buat kriteria seperti itu :)

      Hapus