Selasa, 23 September 2014

Jalan Sunyi Seorang Pendaki

.: Jejak Langkah Sepasang Sepatu :.
"Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung."         - Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran.

"Jika sedang patah hati, sebaiknya kamu naik gunung." kata seorang teman saya secara tiba-tiba di suatu siang yang biasa.

Saya tertegun sejenak. Ada banyak alasan mengapa orang naik gunung. Ada banyak pula hipotesis yang berkembang tentang alasan mengapa saya naik gunung kembali setelah vakum kurang lebih dua tahun. Dan mengapa kesemuanya merujuk pada musabab yang sama yaitu tentang perasaan patah hati ditinggal pergi ke pelaminan oleh perempuan-perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan saya, entah sebagai sahabat, entah sebagai ... ah sudahlah.  Sebegitu meranakah kelihatannya diri saya hingga selalu dihubung-hubungkan dengan hal remeh semacam itu. Namun demikian, hal-hal tersebut tetap saya dengar sebagai sebentuk perhatian yang hangat dari sebuah persahaban.

.: Alun-Alun Suryakencana dari Puncak Gunung Gede :.
Pendapat mereka tak sepenuhnya benar. Saya naik gunung karena memang sudah terlalu rindu bergumul kembali dengan alam. Sebuah alasan yang 'agak' klise dan sering dianggap sebagai sebuah jawaban pelarian. Entahlah. Paling tidak, saya tahu sepenuh hati tentang alasan mengapa melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Sedari awal saya sudah berkomitmen untuk tidak menyalakan telepon seluler. Bukannya tidak mau dihubungi atau diganggu sepanjang pendakian, hanya saja, saya pikir saat naik gunung adalah saat di mana saya ingin merayakan sebuah pergumulan yang menyenangkan baik dengan alam sekitar maupun dengan orang-orang yang saya temui selama pendakian. Bagi saya, relasi yang hangat dengan sesama makhluk yang ada di hadapan kita, baik dengan tumbuhan, hewan, maupun manusia, jauh lebih penting daripada hubungan virtual yang biasa dan sering saya lakukan hampir setiap hari.

Dan bukan sebuah kebetulan saya bisa dengan mudah melakukannya. Contoh latihan sederhananya, saat berada di rumah, hubungan kekeluargaan yang hangat bagi kami selalu mendapat tempat paling penting. Saat masuk rumah, semua orang sudah secara sadar menyimpan telepon seluler di meja kamar masing-masing. Tidak pernah ada pemandangan ada anggota keluarga sibuk bermain dengan telepon selulernya di meja makan atau saat mendengarkan orang yang lebih tua memberi nasehat.

Bapak saya pernah berpesan, bolehlah kamu memiliki sesuatu, menyenangi saat menggunakannya, akan tetapi jangan pernah sekali-kali tergantung dibuatnya, hingga lupa untuk melanjutkan dan melakukan kehidupan tanpa ada sesuatu tersebut. Perasaan melesapkan suatu keterikatan kepemilikan, apalagi terhadap sesuatu yang bersifat kebendaan dan kefanaan, dalam artian tidak melulu terganggu dengan perasaan khawatir akan kehilangan, tidak dapat melanjutkan aktivitas, atau bahkan tidak dapat hidup tanpa sesuatu adalah sebuah kemerdekaan hakiki yang jarang orang perjuangkan demi mendapatkan kedamaian pikiran. 

.: Finding Innerpeace :.

Ada perasaan damai dan tenang saat kita bisa menghikmati bercengkerama dengan alam sekitar. Udara segar, embun pagi, hangatnya sinar matahari, lumut hijau, semak belukar, kerikil mungil, debu beterbangan, awan putih tipis, dan langit yang biru. Itu semua adalah bonus yang sangat mengasyikkan. Setidaknya, ada beberapa hal yang layak untuk dialihkan sejenak dari pikiran demi sesuatu seperti ini.

Meski tidak ikut serta dalam kegiatan politik praktis, selama beberapa bulan terakhir sebelum pendakian ini, sebagai seorang pengguna aktif media sosial, saya memerhatikan banyak sekali hal-hal berubah drastis hingga sempat membuat saya membelalakkan mata. Orang-orang yang dahalu saya kenal pendiam tiba-tiba berubah seperti corong toa yang susah dikendalikan. Beberapa orang menunjukkan afiliasinya dengan kelompok tertentu secara berlebihan dan membabi buta dengan alasan yang patut dipertanyakan kembali alasannya.

Yang lebih membuat saya tertantang untuk semakin belajar sabar dan menahan diri untuk tidak terlibat dalam sebuah perdebatan dangkal tanpa pangkal, saya mencatat bahwa teman-teman yang dahulu tidak termasuk orang yang menonjol secara akademis tiba-tiba saja bisa mengeluarkan pernyataan yang bahkan isinya cenderung tanpa perhitungan, pertimbangan, dan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.    

.: Film, Catatan, dan Diari Soe Hok Gie :.
Saya juga tambah heran sekaligus sedih saat mengetahui beberapa teman menjadi saling bermusuhan gara-gara berbeda pendapat dalam menyuarakan hak dan kewajibannya saat pesta demokrasi di negeri tercinta. Para saudara jadi agak menjaga topik pembicaraan jika menyangkut pilihan-pilihan yang disuarakan. Sungguh sangat disayangkan.

Beberapa hal alasannya tentang pusaran egosentris yang sulit dikendalikan. Namun yang lebih buruk dari semua yaitu alasan tentang uang, perut kosong, dan segala hal yang berpangkal pada kebodohan. Rasa-rasanya saya akan sulit sekali menoleransi orang-orang baik yang saya kenal sejak di bangku sekolah berubah menjadi monster dan pengkhianat yang mengganggu kemaslahatan orang banyak dengan menjadi relawan penyebar berita bohong, hasut yang mengadu domba, serta fitnah yang memberangus nama baik dan kerja keras.   

Kalau sudah begini, saya terkadang sering bertanya-tanya dalam hati, (si)apa sebenarnya yang salah? Sejak kapan konsep seperti ini berkembang dan menggurita? Jawabannya mungkin saja akan banyak mengisi daftar panjang permasalahan yang saling berkelindan di negeri ini. Tapi, jika boleh berbagi sedikit, sebenarnya prinsip-prinsip dasar kebaikan bisa dipelajari, diajarkan, dan ditularkan di lingkungan keluarga karena menurut saya, lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama peletak dasar sifat dan karakter seseorang. Jika ada proses selanjutnya yang dirasa menyimpang, alangkah mulianya jika dievaluasi saat-saat lingkungan peletak dasar karakter seseorang tersebut dibangun.

.: Indonesia Raya :.

Konsep tentang hubungan baik dengan sesama manusia, tanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup keluarga, nama baik, kasih sayang, cinta sesama manusia dan makhluk ciptaan Tuhan, sepertinya sudah mutlak untuk ditanamkan kepada siapa saja sejak masih kecil. Untuk saat ini, akar permasalahan yang membuat seseorang jadi makin susah diatur, egosentris, dan menunjukkan kecenderungan sifat serakah adalah pemahaman yang kurang tepat tentang konsep sukses yang seringkali distereotipkan dengan figur yang kaya secara finansial, memiliki segala aspek kebendaan yang sering digunakan untuk mengukur status sosial, dan pemahaman untuk menjalani hidup sederhana yang kian tidak populer.   

Ketika konsep sukses tersebut disebarkan oleh tokoh-tokoh yang dihormati, diagungkan, dan kerap dijadikan panutan, seringkali karena wujud konsep sukses berupa sesuatu yang bisa dilihat dan bersifat kebendaan, orang jadi berlomba-lomba untuk mewujudkan dirinya mendekati gambaran yang sering distereotipkan oleh tokoh yang dijadikan panutan tadi.

.: Bukan Demonstran, Bukan (pula) Seseorang dalam Pengasingan :.
Menurut saya, konsep ini sangat berbahaya jika dipahami secara parsial dan tanpa pendampingan berkelanjutan. Dan karena tuntutan untuk segera menjadi kaum berpunya, keinginan untuk dilihat orang, meningkatkan status sosial sehingga bisa memasuki komunitas tertentu, kebanyakan orang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, baik dalam skala kecil maupun dalam kerangka kehidupan berorganisasi di lingkup pemerintahan, secara individu maupun komunal. Sadar atau tidak sadar, jika melihat orang-orang di sekitar, kita akan mudah menemui fenomena demikian. 

Tak semua orang mampu dan mau untuk mengoreksi dirinya. Apalagi jika berada dalam posisi nyaman dan menyenangkan. Hal-hal positif yang sedianya mampu menyentil nurani untuk kembali ke jalan yang semula dicita-citakan ketika masih berada pada tahap berusaha dan belum punya apa-apa, akan perlahan tereduksi dan menjadi sesuatu yang tak dihiraukan. Tak mudah memang menjadi seseorang yang secara konsisten memilih hidup sederhana, tidak mudah terikat baik fisik maupun pikiran dengan segala hal yang bersifat kebendaan, dan bersikap kritis sekaligus berpihak pada kepentingan masyarakat banyak.

Saya jadi teringat sosok Soe Hok Gie. Meski beda generasi, sebagai seorang pendaki, sedikit banyak saya ikut juga memahami apa yang menjadi keresahan Soe Hok Gie melalui catatan hariannya, film yang diangkat dari catatan hariannya, dan kesan dari orang-orang yang pernah dekat baik secara fisik maupun terlibat dengan jiwa sang demonstran saat pembuatan film berlangsung. Fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkup bertetangga maupun dalam kehidupan politik nasional, sepertinya tak jauh berbeda. Masih mudah kita temukan orang-orang yang sering menebar janji kemakmuran pada masyarakat, namun kemakmuran yang dimaksud berupa perwakilan dalam menikmatinya.

.: Jalan Sunyi Seorang Pendaki :.
Mungkin saya juga termasuk orang yang 'agak' terpengaruh dengan kegemaran Soe Hok Gie naik gunung, berpuisi, baca buku, serta (meminjam bahasa ibu saya) sering protes kalau ada sesuatu yang dianggap tidak benar atau tidak adil, dan banyak orang yang mengetahuinya tapi hanya diam saja, meski dalam beberapa hal, saya agak berbeda pendapat dengan buah pikirnya. Beberapa orang menganggap saya idealis. Beberapa yang lain mengidentifikasi saya sebagai seorang perfeksionis.

Untungnya, saya sendiri cenderung bebal menanggapi segala macam embel-embel itu. Alih-alih berdamai dengan nasehat dan pemikiran orang untuk bersikap permisif terhadap sesuatu hal yang sulit saya terima kebenarannya berdasarkan logika, mungkin saya lebih memilih sibuk bergumul dengan alam dan teman-teman pendaki untuk mengawetkan segala sesuatu yang saya yakini benar, sembari dengan semangat gegap gempita merayakan keheningan. Dengan begitu, semoga saja tak ada lagi yang mengait-ngaitkan kesenangan saya mendaki gunung sebagai pelarian akibat patah hati ditinggal perempuan. []

10 komentar:

  1. Baru tahu tips buat yang patah hati itu mendaki gunung :)

    Foto fotonya keren nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha itu kata temen saya lho, bukan dari saya. Btw, terima kasih apresiasinya :)

      Hapus
  2. kalo naik gunung dihitung karena patah hati, berarti aku sebulan 2-3x patah hati haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Subhanallah, gak tau nih saya harus ikut seneng atau prihatin. Tapi kalau memang benar begitu, harusnya patah hati kamu sangat menyenangkan untuk dikenang-kenang hahahaha :)

      Hapus
  3. Hati-hati emosi memuncak nanti gak bisa bedakan tapak pendakian dan jurang, Mas. hihi, canda. eh yah, saya belum pernah mendaki, pengen deh ke Semeru atau Bromo, hhehe. ajak saya dong, Mas :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh, jangan sampai dong. Semoga tetep bisa fokus dan konsentrasi hehehe. Saya juga belum ke Semeru dan Bromo kok. Bisa diatur itu hehehe :)

      Hapus
  4. parah mas tiap kali patah hati harus naik gunung hahaha...

    adies, next time kalau mau ke gunung mana lagi?? ikut!! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha enggak ah, capek, kalau tiap patah hati harus selalu naik gunung. Maunya ada leyeh-leyehnya lah hehehe :)

      Weekend besok mungkin mau naik anak Gunung Krakatau kayaknya :)

      Hapus
  5. Sudah ngga patah hati sih, tapi pingin banget naik gunung :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau cuma pengen aja, pasti gak akan kesampaian lho hehehe :)

      #jleb

      Hapus