Senin, 15 September 2014

Gravitasi Gede

.: Jalan Menuju Puncak Gunung Gede via Gunung Putri :.

Setiap kali akan melakukan sesuatu yang membuat senang hati, perasaan saya selalu berdebar-debar dan bersemangat menyambut hari pelaksanaan itu tiba. Adrenalin saya meningkat. Animo untuk menyelesaikan pekerjaan seakan-akan bertambah, jika tak layak dikatakan meluap-luap. Sementara saya merasakan gejolak tersebut sebagai sebuah dorongan impulsif alamiah untuk mengawetkan masa muda, orang-orang di sekitar justru berasumsi bahwa saya sedang kehabisan 'obat' sehingga harus kelihatan 'kumat' (kambuh) dengan melakukan sesuatu yang berada di luar lingkaran pemikiran normal mereka.

Kali ini, yang membuat saya bersemangat adalah rencana untuk naik gunung kembali. Sepertinya sudah terlalu lama sejak pendakian saya terakhir kalinya dua tahun lalu. Saya merasa perlu untuk menyiapkan segala sesuatunya agak lebih serius. Bayangkan, tahun ini saja, dua ajakan mendaki gunung saya tepis dengan berat hati dan penuh doa supaya dapat terganti di tahun-tahun mendatang.

.: [Welcome Home] Hutan Rindang TN Gede Pangrango :.
Tawaran pertama adalah mendaki Rinjani. Mendaki gunung tertinggi ketiga di nusantara ini harus rela saya tunda karena rencana cuti yang tidak tepat. Saya harus berbesar hati untuk tidak mengambil cuti agar teman-teman kantor yang tidak cuti lebaran bisa liburan. Sedangkan tawaran kedua yaitu mendaki Semeru. Impian menjejak titik tertinggi di Jawadwipa ini harus saya tunda dengan ikhlas karena memang jadwal mendakinya tepat saat saya merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Bunuh diri namanya kalau saya berani absen menampakkan batang hidung saat lebaran, apalagi dengan alasan mau naik gunung.    

Tapi saya percaya, doa anak sholeh (sholeh?) selalu mendapat ijabah jika niatnya baik. Undangan mendaki Gunung Gede tiba-tiba saja melayang di pesan singkat dari Nukman, sahabat saya di bangku kuliah, terselip di antara ratusan ucapan selamat hari raya. Tentu, hal ini merupakan hiburan yang menyenangkan saat liburan di tempat yang jauh dari mal, toko buku, dan bioskop. Saya pun segera mengiyakan dan memasukkannya dalam rencana dua bulan ke depan yang patut dinanti-nanti pelaksanaannya. Saya juga berpikir, ternyata, sesuai dengan namanya, Nukman akan selalu saya kenang sebagai sejenis manusia lucu yang sangat bergunar. #eh

Perasaan akan kembali berada di dalam hutan seakan-akan membuat saya seperti akan pulang ke habitat. Setidaknya, tiga atau empat perjalanan terakhir yang saya lakukan adalah menembus hutan dan mengarungi taman nasional. Dan, dari lima taman nasional angkatan pertama di Indonesia yang ditetapkan pada tahun 1980, Taman Nasional Gede - Pangrango akan menjadi taman nasional ketiga yang saya kunjungi setelah Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur dan Taman Nasional Ujung Kulon di Banten. Jadi, meski di hari ketiga sebelum keberangkatan, Nukman mengundurkan diri dengan santun dari acara mendaki kali ini, saya tetap pada rencana semula untuk mendaki bersama orang-orang yang baru saya kenal.

.: Tetap semangat meski Jalan Menanjak :.
Jumat malam baru saja mencapai puncaknya. Sementara rombongan pendaki sudah berangkat sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan sejak pukul 8, saya bersama empat orang teman-baru-kenal, baru akan mulai mendaki pukul 3 pagi. Sebelum masuk gerbang pendakian melalui jalur Gunung Putri, saya sengaja menguras isi perut di salah satu toilet masjid perumahan warga. Alasannya sederhana, meski sudah siap segala kemungkinan yang akan terjadi, sebisa mungkin, jika tidak terpaksa, saya berusaha untuk tidak mengotori gunung dengan ranjau darat, apalagi sampah non-organik.

Tepat pukul 3.30 WIB, saya mulai memasuki pos pemeriksaan. Tidak seperti pos di pintu gerbang Cibodas dan Selabintana, pos pemeriksaan jalur Gunung Putri terletak agak di atas bukit. Meski dirundung gelap, saya masih bisa mengenali gumpalan sayuran kol dan daun bawang berderet-deret di sawah-sawah warga. Sepanjang jalur ini banyak sekali tenda-tenda para pendaki. Dan begitu sampai di pos pemeriksaan, ternyata ada banyak sekali pendaki yang berkumpul. Beberapa pendaki menunggu jadwal keberangkatan, beberapa yang lain mengaku ditolak melanjutkan pendakian oleh petugas karena pengurusan ijin simaksi yang tidak memenuhi persyaratan dan jadwal pendakian yang jauh melewati waktu yang sudah ditentukan. 

Beruntung, meski sebenarnya agak terlambat dari jadwal yang seharusnya, setelah diperiksa dan diberitahu informasi singkat tentang keberadaan sumber air dan perlengkapan yang harus dibawa, hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama pendakian, dan informasi penting tentang keselamatan mendaki, kami diperbolehkan untuk segera memulai pendakian. Kecuali tisu basah dan cairan antikuman, segala perlengkapan mandi (sampho, sabun mandi, sabun muka, pasta gigi, cairan pembersih mulut, dan lain-lain) tidak boleh dibawa naik. Akan dikenakan denda sejumlah uang atau barang jika terbukti aturan ini dilanggar.

Angin gunung yang kering berhembus mengacak-acak bulu kuduk. Untung saja malam itu langit cerah. Jadi, meski tak bisa melihat hijaunya hamparan sayuran, saya masih bisa menikmati taburan bintang dan kerlip lampu kota di kejauhan. Sambil mengatur napas yang mulai naik turun, saya berusaha untuk membuat ritme berjalan sesantai mungkin.

.: Jalur (agak) Landai. Rute Lomba Kebut Gunung 2014 :.

Jika diperhatikan, menuju puncak Gunung Gede lewat pintu masuk Gunung Putri memang memerlukan waktu yang lebih pendek untuk mencapainya. Tapi, jalurnya sangat menanjak. Beberapa malah terlihat sangat miring dengan tingkat kecuraman 70 derajat. Selain itu, tak banyak 'hiburan' yang dapat disaksikan di sepanjang jalur ini seperti danau, air terjun, atau aliran air sebagaimana jika kita mendaki melalui pintu masuk Cibodas.   

Bagi saya, justru itu tantangannya. Mendaki gunung sebaiknya memang dilakukan sesantai mungkin. Saya beberapa kali tertinggal oleh teman-teman pendaki yang lain. Bukan karena berjalannya terlalu lambat, tapi menikmati alam sekitar termasuk hal-hal kecil yang jarang dilihat dalam rutinitas sehari-hari membuat saya kadang tertahan untuk berhenti sejenak, mengamati, melihat-lihat, beberapa kali mengambil gambar untuk mengabadikan, atau hanya sekadar diam untuk melihat dan mengendapkannya dalam memori.

.: Vegetasi Taman Nasional Gede Pangrango :.
Saya mungkin agak sulit dibuat terpukau dengan barang-barang ciptaan manusia, tapi begitu bergumul dan berada di alam bebas, kadang-kadang saya bisa merasa seperti anak kecil yang baru kenal hal baru. Saya bisa tiba-tiba terpukau dengan deretan semut raksasa yang berbaris rapi atau segerumbulan anggrek liar yang merambat di batang-batang pohon. Di kesempatan lain, saya takjub dengan titik-titik embun yang membuat lumut di dahan-dahan kelihatan begitu hijau dan murni.

Atau saat menemukan bonggol pohon besar dengan lubang menganga seperti sebuah pintu masuk kandang kelinci, imajinasi saya seakan diseret kembali dalam dunia dongeng anak-anak The Wonderful Wizard of OZ. Saya hampir dengan sembrono mengidentikkan suatu bagian hutan lebat di jalur Gunung Putri ini dengan Mirkwood, lokasi rekaan JRR Tolkien dalam buku The Lord of The Rings karena melihat jalinan akar yang saling bertautan di antara rimbunan pohon yang sangat lebat sehingga cahaya matahari minimal sekali dapat menembus humus yang saya injak. Namun begitu, meski terpukau dengan hal-hal yang lihat terkait imajinasi yang sudah terpatri dari buku-buku dongeng yang sudah saya lahap, konsentrasi dalam mendaki gunung mutlak diperlukan agar pikiran tidak kosong.

.: [Bonus] Jalan Setapak yang Mendatar :.
Karena asyik menikmati sesuatu di sekeliling, seringkali saya mendapati seolah-olah sedang mendaki seorang diri. Para pendaki yang berjalan lebih cepat daripada saya, telah berada jauh di depan, sementara para pendaki yang berjalan lebih lambat, tertinggal jauh di belakang.

Namun demikian, beberapa kali saya berpapasan dengan beberapa pendaki yang akan turun gunung atau mendahului para pendaki yang sedang istirahat di bawah bonggol pohon. Saya senang mendengar kata-kata penyemangat dari mereka. Mungkin sebenarnya sangat sederhana, tapi terdengar sangat berarti.

"Semangat mas, sebentar lagi sampai." Begitu kira-kira yang sering saya dengar ketika saya berhenti sejanak di sebuah tanjakan untuk mengatur napas.

Jalur Gunung Putri ini memang menguji kesabaran. Setelah saya pikir-pikir, Gunung Gede - Pangrango ini sebenarnya jalurnya cukup 'sederhana'. Cocok untuk pendaki pemula atau mereka-mereka yang ingin rekreasi naik gunung ala pendaki seperti di film 5cm. Hanya saja, jika dilakukan tanpa persiapan, dilakukan dengan sembrono, dan tanpa perlengkapan yang memadai, jalur dan alam yang tadinya bersahabat bisa jadi akan berubah menjadi ladang malapetaka. Paling tidak, persiapan sederhana seperti membiasakan diri untuk jogging dan berlari-lari ringan perlu dilakukan untuk membuat tubuh lebih siap mendaki dengan napas yang tidak kembang kempis. Selain itu, persediaan minum untuk sepanjang pendakian sebaiknya disiapkan dari awal untuk menghindari dehidrasi karena baru akan bertemu sumber air yang cukup aman untuk dikonsumsi di Alun-Alun Suryakencana. 

.: Bunga Edelweiss di dekat sumber air :.
Saya masih duduk-duduk santai di bonggol sebuah akar pohon. Sambil mengatur napas dan memerhatikan rombongan pendaki lain melintas, saya jadi teringat jika sering mendapatkan pertanyaan yang kadang sangat sulit untuk memberikan jawaban sederhananya.

"Apa yang membuatmu suka naik gunung? Sudah capek-capek naik, lalu susah pula turunnya. Lebih baik tidur dan makan saja di rumah." kata beberapa karib saya.

Yang lebih menyebalkan lagi, saya sering sekali dikomentari dengan sangat kurang ajar oleh beberapa sahabat dekat saat menjawab mau naik gunung untuk mengisi liburan.

Kata mereka begini, "Orang udah pada merangkak di 'gunung kembar', kamu masih susah payah saja mendaki gunung yang tidak pasti."

Tentu, dalam pikiran saya yang lurus akan mengasumsikan gunung kembar sebagai Gunung Sindoro - Sumbing yang ada di wilayah Temanggung dan Wonosobo. Tak tahu kalau sahabat saya mengasumsikan lain. Pasti mereka akan menganggap saya masih ijo. Mereka sepertinya memang lupa sudah lama bersahabat dengan orang yang sering dikira sebagai anak kuliahan (bahkan di bus saya sering dikira anak putih abu-abu).

Tak terasa, ternyata dari tempat saya duduk-duduk terakhir tadi, pos pemberhentian terakhir sebelum mencapai puncak hanya tinggal 15 menit lagi. Beberapa tanjakan curam kembali saya temui dengan pepohonan yang semakin tua dan rapat. Memang, semakin dekat dengan hasil akhir, biasanya usaha yang harus dilakukan akan semakin ekstra. Sampai kemudian saya melihat jalur pendakian yang relatif landai terhampar di depan mata. Beberapa saat kemudian, pepohonan di sekeliling menjadi sedikit renggang. Dan perlahan-lahan, bagai sebuah panggung pertunjukan yang baru saja dibuka tirainya, di depan saya terhampar padang luas dengan dibentengi gunung-gemunung di sekelilingnya. Saya menjejak Alun-Alun Suryakencana. 

.: Akhirnya sampai juga di Alun-Alun Suryakencana  :.

Saya tak tahu mengapa tempat ini disebut sebagai alun-alun. Bisa jadi karena tempat ini menjadi tempat bermalam para pendaki. Banyak tenda-tenda didirikan sehingga hamparan tanah lapang yang berisi padang rumput, terselip warna-warni tenda di sela-sela semaknya. Di sinilah satu-satunya tempat sumber air bersih bisa ditemukan di sepanjang jalur. Dan yang membuat istimewa, bunga-bunga edelweiss sedang bermekaran dan seolah berlomba-lomba menampakkan kelopaknya yang menawan.

Bagi saya sendiri, edelweiss adalah bunga yang cantik, istimewa, sekaligus misterius. Bahkan lebih mistis daripada melati atau kenanga. Sejak pertama kali melihatnya pada pendakian pertama di Gunung Wilis, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, saya berjanji untuk tidak memetik setangkaipun bunga edelweiss ini. Alih-alih memetiknya, saya lebih suka mengagumi keabadiannya dengan mengamatinya dari jarak dekat dan mengambil gambar tanpa menyentuhnya sama sekali.  

.: Alun-Alun Suryakencana :.

Mungkin inilah daya tariknya pendakian Gunung Gede. Sepanjang pengamatan saya, tempat ini sangat photogenic. Lanskapnya mengingatkan saya pada Eriador, salah satu latar tempat di film The Lord of The Rings. Visualisasinya jelas membuat bulu kuduk merinding. Saya selalu percaya bahwa di sebuah alam yang cantik biasanya bersembunyi sebuah ancaman yang siap mencuri pada siapa saja yang tidak waspada.

Di awal pendakian ini, petugas di pos gerbang pertama berpesan bahwa Alun-Alun Suryakencana merupakan wahana anomali. Siang yang terik bisa jadi berhembus angin yang dingin. Cuaca yang cerah bisa mendadak berubah menjadi berkabut. Dan suhu udara yang 'hangat' bisa tiba-tiba turun menjadi minus 2 derajat. Bayangkan, di pucuk-pucuk bunga abadi tersebut terselimuti serpihan-serpihan es yang mengundang gigil.

.: Alun-Alun Suryakencana ramai oleh Peserta Lomba Kebut Gunung 2014 :.
Tapi setidaknya, meski suhunya memang dingin, sampai sore cuacanya cukup bersahabat. Saya bisa menyaksikan rombongan para pendaki mendirikan tenda di tempat yang sudah dikapling-kapling. Ternyata memang cocok sekali tempat ini disebut alun-alun. Ramai sekali menjelang malam. Selain rombongan pendaki hore macam kami yang jumlahnya ratusan, setidaknya ada 75 tim pendaki yang meramaikan Lomba Kebut Gunung 2014 yang diadakan oleh Vanaprastha, sebuah organisasi pecinta alam yang memiliki visi misi mulia untuk membentuk insan peduli lingkungan yang mencintai tanah air, alam, serta segala makhluk ciptaan Tuhan. Saat mendaki seorang diri di awal pendakian tadi, saya merasa yakin tidak akan tersesat karena di sepanjang jalur terdapat selempang berupa spanduk mini petunjuk jalur pendakian untuk Lomba Kebut Gunung 2014 ini.

Sebelum malam mulai menghapus siang dari peredaran, beberapa dari kami mulai bersiap untuk mengisi persediaan air untuk minum, memasak makanan, dan menghangatkan badan. Dengan jumlah pendaki yang penuh sesak di Alun-Alun Suryakencana sore itu, sementara sumber air yang tersedia hanya satu dengan debit air yang sangat kecil, terjadi antrian mengular layaknya sebuah warga desa yang sedang antri minyak tanah. Hal ini setidaknya memberikan gambaran sederhana tentang betapa fenomena perubahan iklim akibat deforestasi bukan hanya merupakan sebuah permasalahan biasa dan penuh retorika, tapi merupakan sebuah ancaman serius yang perlahan-lahan bisa jadi berbuah bencana bagi umat manusia.

.: [Sahabat Baru] Tim Pendaki 'bedol desa' dari PPDDP KPDJP - Tanpa Nukman :P :.

Dan benar saja, menjelang senja, langit yang cerah tiba-tiba saja meredup. Kabut timbul dan tenggelam merayap menyelimuti punggungan bukit. Di sinilah saya merasakan suasana 'mistis'nya. Setelah segala persiapan untuk menyambut malam dilakukan, semua berkumpul di sepetak lahan lapang untuk duduk bersama. Saya lebih suka menyebutnya sebagai momen pengenalan diri. Saya pikir sebelumnya, di antara para rombongan pendaki ini sudah pada kenal satu sama lain, sehingga membuat saya merasa seperti alien-- yang menurut bahasa Nukman, seorang penumpang gelap. Eh ternyata, dalam satu kantorpun, banyak yang belum kenal satu sama lain. Mungkin acara pendakian seperti ini memang cocok untuk dilakukan kembali sebagai bentuk pelaksanaan Intenal Corporate Value (ICV) dan pengenalan pegawai untuk orang-orang kantor, meski dalam bentuk yang lebih disederhanakan agar bisa mengakomodasi semua rentang usia.     

.: Bertenda di Ujung Senja :.
Matahari sudah tenggelam di langit barat. Angin gunung pun sudah berhembus mencengkeram tengkuk. Para pendaki sudah sibuk membungkus diri dengan baju hangat, penutup kepala, sarung tangan, dan bersepatu atau minimal berkaos kaki.

Sembari mengantri ransum soto ayam dalam bentuk mie keriting dan sarden masak yang lezat, yang paling saya rindukan dari pendakian ke Gunung Gede ini adalah secangkir kopi panas yang diracik oleh orang-orang seru dan penuh humor. Saya pikir, tak ada yang lebih berharga saat kita jauh dari rumah selain keberadaan sahabat dan bergumul dalam sebuah kebersamaan yang hangat. Salam lestari. []

10 komentar:

  1. Saya pernah naik Gunung Gede..tanpa persiapan dan hanya iseng-iseng saja Mas Adie. Memang tersiksa banget. hanya pakai jaket biasa dan hanya bawa air mineral sebotol dan roti 2 bungkus doang. Jam 10 malam naik pakai jalur cipanas, jam 4 subuh dah sampai puncak gunung gede. dinginnya ngak tahan sampai tulang sumsum...bener2 tersiksa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh bahaya banget lho itu, sangat tidak disarankan. Meski setelah sampai puncak, pemandangannya indah banget tapi kalau kena hipotermia kan bahaya :'(

      Hapus
  2. Kemiringan 70° itu kan nyaris vertikal... -,- eh kak btw gunung rinjani itu gunung tertinggi ketoga di nusantara, yg kedua itu kerinci... indah sekali gunung gede..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh gitu ya, coba nanti saya cari info lagi. Tapi dua-duanya masuk wishlist saya lho untuk pendakian menantang berikutnya. Terima kasih banyak lho informasinya :)

      Hapus
  3. alun-alun surya kencana bagus banget fotonyaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh iya, cuacanya lagi cerah soalnya, saya juga suka foto itu :)

      Hapus
  4. Balasan
    1. Sampai betah banget foto-foto di sini. Cerah pula cuacanya hehehe :)

      Hapus
  5. setelah dibaca, makin besar niatan untuk traveling huuuuu , mantab gan (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha saya gak nabur racun lho ya, selama liburan sekolah, boleh banget jalan-jalan ke sana ke mari :)

      Hapus