Selasa, 19 Agustus 2014

[7Wonders] Ekspedisi Terios: Memburu Kenikmatan dalam Secangkir Kopi

.: Menikmati secangkir kopi di pagi hari :.
Svarnadwipa memang istimewa. Pulau besar penghuni wilayah barat nusantara ini dari dulu mengusik rasa penasaran saya untuk segera menjejaknya. Selain karena budayanya yang kaya, panorama alamnya yang memesona, dan sederet magnet yang mampu menjadi mantra ajaib yang mengundang orang untuk bertandang, kopi adalah alasan utama penariknya. Sebagai seorang petualang musiman sekaligus pecinta kopi, saya merasa perlu memasukkan Sumatera sebagai zona penting untuk memuaskan dahaga petualangan mencicip cairan biji kopi.

Pengalaman mencicip kopi tradisional dari kantong-kantong tanah subur perkebunan kopi di penjuru negeri mengantarkan saya pada keeksotisan kopi kintamani di Bali, autentisitas kopi Flores dalam suasana persahabatan yang hangat. Suatu ketika saya juga sempat mencicip secangkir Toraja yang filosofis dan segelas kecil kopi Belitong yang membudaya. Dari banyak referensi dan cerita yang saya dengar dari mulut para petualang yang saya temui, Sumatera menawarkan petualangan minum kopi yang pantang untuk dilewatkan. Dataran tinggi pegunungan Andalas merupakan tambang emas hitam yang mengantarkan Indonesia menjadi salah satu produsen kopi terbaik dunia. Saya tak sabar untuk membuktikan kebenaran desas-desus yang beredar tersebut. 

.: Mengarung Teluk Lampung :.
Mungkin dengan rasa penasaran yang sama pula, Terios membuat sebuah proyek ekspedisi ambisius bertajuk Terios 7-Wonders: Sumatera Coffee Paradise untuk mengeksplorasi dan mengenalkan kekayaan kopi Sumatera di tujuh sentra utama penghasil kopi: Liwa, Lahat, Pagaralam, Empat Lawang, Curup, Mandailing Natal, dan Takengon. Perjalanan selama 15 hari (11-25 Oktober 2013) tersebut akan menggunakan tiga unit Terios Hi-Grade yang terdiri dari dua unit TX bertransmisi matik dan TX manual. Perjalanan tersebut akan dimulai dari kaki Sumatera di Provinsi Lampung dan akan berakhir di ujung barat nusantara, titik nol kilometer Indonesia di Sabang, Pulau Weh, Provinsi Aceh.

Bertolak dari Jakarta, selepas dari pelabuhan Bakauheni di Lampung, perjalanan dilanjutkan menyusuri bumi krakatau menuju Liwa. Kopi Liwa terkenal dengan kopi luwaknya. Dulunya saya agak jengah mengetahui bahwa kopi yang saya cecap merupakan feses dari seekor musang. Namun setelah mengetahui penjelasan penduduk setempat bahwa musang merupakan hewan yang piawai dalam memilih biji kopi terbaik yang tersebar di seantero perkebunan luas, saya begitu memuja kopi ini. Biji kopi yang berwarna merah gelap itu berasa manis. Luwak hanya menyantap kopi yang benar-benar matang sehingga terkadang apa yang menjadi pilihan para pemetik kopi sedikit kurang jeli dibandingkan kemampuan luwak yang dianggap mumpuni memilih biji kopi terbaik.

Saya mengenal kopi Lampung awalnya mencicip kopi Yen-Yen. Tapi, Ekspedisi Terios ini memberikan informasi yang lebih lengkap lagi saat mengunjungi sentra pengolahan kopi KUD Karya Utama di Sipatuhu. Meski sudah pernah mencicipinya, saya sangat penasaran dengan kopi kombinasi ginseng dan pinang, sebuah inovasi yang membuat kopi ini istimewa. Konon, kopi ginseng berkhasiat untuk menambah tenaga dan kebugaran tubuh, cocok bagi para pecinta kopi yang berusaha mengembalikan stamina tubuh sehabis melakukan perjalanan yang melelahkan. Setelah menginap semalam di pinggiran Danau Ranau, Tim Ekspedisi Terios melanjutkan perjalanan ke Lahat.

.: Kopi Lahat (Sumber: Booklet Terios 7 Wonders Sumatera Coffee Paradise) :.

Meski saya sendiri belum pernah menyambangi Lahat, Tim Ekspedisi Terios berusaha untuk menguak dan menyebarkan berita ke kalayak nusantara bahwa Lahat sudah mengalami sublimasi dan perubahan yang patut diapresiasi. Mitos dan cerita yang sering bergaung mengatakan bahwa Lahat merupakan kawasan yang tidak aman. Dan dari ekspedisi ini, Tim Ekspedisi Terios seperti membuktikan sendiri bahwa Lahat sangat aman untuk dikunjungi dan cocok untuk tempat rehat sejenak sembari mencicipi secangkiri kopinya.

Perkebunan kopi sebenarnya membentang luas di Lahat. Namun, Pagaralam merasa mampu untuk membangun pemerintahan sendiri sehingga terlepat dari wilayah Lahat sekitar 11 tahun silam. Kontur daerahnya tak jauh berbeda karena memang hanya terpaut jarak 48 km. Namun demikian, menikmati hamparan perkebunan kopi di lereng Gunung Dempo sanggup membuat saya mengingat kembali lagu anak-anak saat saya masih kecil dulu yang liriknya menceritakan pegunungan-pegunungan di Sumatera. Apalagi, saat diundang oleh penduduk setempat untuk menikmati secangkir kopi di pinggir sungai, segala penat mendadak terangkat saat pikiran dan imajinasi menyatu dalam kehangatan alam yang memesona. 

.: Pagi, kopi, dan sederet inspirasi :.
Lain lagi ceritanya saat Tim Ekspedisi Terios mampir di Empat Lawang. Tak terasa sudah hampir separuh perjalanan dilalui. Sembari beristirahat sejenak, Tim Ekspedis Terios juga melakukan acara bakti sosial dengan menyambangi lima posyandu dan beberapa UKM yang dipusatkan di kota Bengkulu. Hal ini dilakukan sebagai salah satu bagian dari konsep Corporate Social Responsibility (CSR). Meski tak alpha mengunjungi rumah ibu Fatmawati dan tempat pengasingan Bung Karno, ekspedisi kopi segera kembali ke agenda semula dengan menyambangi Empat Lawang.

Empat Lawang dikenal sebagai episentrum kopi Sumatera. Di jantung daerahnya, kopi jadi semacam trending topic. Dari pelosok desa hingga pusat kota, kopi dianggap sebagai 'bahasa gaul' yang populer. Bahkan, lambang kabupaten ini adalah biji kopi. Kopinya sendiri merupakan kopi khas persilangan antara kopi robusta dan kopi arabika. Saya merasa takjub ada daerah di Indonesia yang masyarakatnya secara kumulatif bersekongkol mencintai kopi. Bahkan pemerintah daerah di sini memberikan lahan untuk perkebunan dan membangun gedung khusus untuk kopi. Melihat kenyataan tersebut, tiba-tiba terselip iman bahwa setiap pecinta kopi di penjuru negeri akan menemukan oasenya jika mempunyai kesempatan mampir di daerah ini. Mungkin saya agak sedikit berlebihan, tapi kemungkinan besar optimisme tersebut sangat beralasan.

.: Ekspedisi Kopi :.

Selain Empat Lawang, Curup merupakan sentra penghasil kopi di Bengkulu. Tapi namanya mungkin belum banyak bergaung. Jalan menuju ke sini pun penuh tantangan dan berliku. Untung saja, Daihatsu membekali mobil produksinya dengan Electronic Power System (EPS) yang membuat kemudi jadi ringan yang memudahkan untuk bermanuver mengikuti kontur alam pegunungan yang berbukit-bukit.

.: Pagi yang Sunyi di Ngarai Sianok, Bukittinggi :.
Kopi menjadi komoditas utama bagi masyarakat Kepahiangan dan Curup. Untuk produksi massal, tercatat kopi dengan merek Kipas hasil produksi perusahaan Sari Rejeki mendominasi pasar. Meski, sudah dipasarkan pula dari kawasan Lahat hingga Padang, produsen kopi di Curup menunggu dukungan semua pihak untuk membuka jalur pemasaran dan distribusi sehingga bisa merebut pasar yang lebih luas.

Perjalanan Ekspedisi Terios berikutnya menuju Mandailing Natal. Rute ini merupakan rute paling panjang dalam ekspedisi ini. Dari Curup, rombongan menuju Bukittinggi untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Sumatera Utara. Sungguh sebuah perjalan panjang yang melelahkan. Tanpa dibarengi dengan performa kendaraan yang optimal, perjalanan menguji kesabaran seperti ini akan terasa lama dan membosankan.

.: Kopi Gayo Hangat dan Kudapan Lezat :.
Saat menyambangi Sumatera Utara, saya agak kaget saat diberi tahu seorang sahabat bahwa ada satu daerah yang bernama Madina. Saya pikir, daerah tersebut lebih pas berada di Sumatera Barat yang daerahnya didominasi oleh penganut Islam.

Namun ternyata, Madina tersebut merupakan kependekan dari daerah Mandailing Natal, sebuah daerah penghasil kopi yang pamornya kian redup sejak Indonesia merdeka. Padahal, daerah ini merupakan 'anak emas' bagi pemerintah kolonial Belanda untuk mendulang pundi-pundinya dari biji kopi. Konon, kopi-kopi Mandailing Natal menjadi andalan komoditas ekspor hingga Eropa terutama Austria.

Tim Ekspedisi Terios mengunjungi salah satu perkebunan kopi di sini melewati jalan semak belukar dan jalan tanah. Ada sekitar 200 hektar perkebunan kopi yang dikembangkan di perbukitan Mandailing Natal. Tujuh puluh lima persennya dikelola oleh warga Australia. Selebihnya dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Kopi jenis arabika atau kopi godang (mengikuti sebutan lidah lokal) menginvasi kebun-kebun kopi sederhana yang pengelolaannya masih konvensional. Mendengar pamor kopi Mandailing di masa lalu dan melihat kenyataan yang ada sekarang, sepertinya kopi-kopi kondang ini hanya menunggu disentuh oleh tangan-tangan kreatif dan profesional untuk mengembalikan aromanya yang pernah mendunia. 

.: Rehat sejenak di Pinggir Danau Toba :.

Sebelum melanjutkan perjalanan menuju destinasi terakhir, mobil Terios yang dipakai dalam ekspedisi ini dilakukan pengecekan kondisi mobil di salah satu bengkel resmi Daihatsu di Medan. Pengecekan ini dilakukan untuk memastikan kondisi mobil dalam keadaan prima dan mampu melanjutkan perjalanan hingga finis yang sudah ditentukan. 

Dan daerah terakhir yang menjadi tujuan dari Ekspedisi Terios ini adalah Takengon. Sebagai zona penghasil kopi yang letaknya berada di interior Provinsi Aceh, Takengon sepertinya absen dari pembicaraan intim tentang destinasi wisata. Kota Takengon ini kecil. Mengelilinginya tak perlu memakan waktu hingga satu jam. Kebutuhan penduduknya dipasok dari daerah lain. Namun, pesona kopi gayo dan kuda menjadi realisme dualitas yang tak terpisahkan dari Takengon.

.: Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh :.
Dari tanahnya yang gembur, membentang hijau nan luas tanaman kopi. Daerah ini juga dikepung oleh pegunungan-pegunungan yang kokoh sehingga membuatnya serasa terisolasi dari daerah lain di Aceh. Tidak mudah memang mencapai Takengon.

Pagi sering berjalan lambat di sini. Kabut dingin yang sering menyelimutinya seakan menambah sunyi suasana Takengon yang sepi. Pasca penetapan darurat militer di Aceh, Takengon memang mendadak mati. Tidak tentang pariwisatanya, tetapi juga pesona kopinya. Padahal, di masa lampau, daerah ini sangat terkenal sebagai sentra penghasil kopi arabika terbaik di Indonesia.

Tim Ekspedisi Terios merasa perlu untuk menyambangi Takengon sebagai destinasi pamungkas ekspedisi ini didorong oleh semangat untuk membangkitkan kembali sentra-sentra kopi di Sumatera, termasuk Takengon. Di sini, rombongan tim ekspedisi mampir di sentra penghasil kopi gayo, Ketiara.   

.: Seorang Barista Membuat Kopi Aceh :.
Berbicara kopi di Aceh rasanya tak patut tanpa menyebut budaya minum kopi masyarakatnya. Saat menyambangi Aceh dan keliling Sabang, saya sengaja menyempatkan diri berlama-lama untuk nongkrong di kedai-kedai kopi yang tersebar di penjuru Aceh. Penyajian kopi di sini unik, memakai saringan serupa kaos kaki panjang yang membuat sang barista tampak khusuk menyajikan secangkir kopi hangat yang nikmat. Atraksi barista ini sering menarik perhatian bagi siapa saja yang baru berkunjung ke Aceh, termasuk saya.

Kopi gayo sendiri dari Takengon menjadi komoditas yang dipasok ke kedai-kedai kopi. Jika Anda tak sempat ke Takengon, cukuplah mampir ke salah satu kedai kopi di kota Banda Aceh. Tapi, jika Anda seorang pecinta kopi yang haus akan perburuan kopi yang sarat akan petualangan, tak ada salahnya mencoba menyusuri rute yang telah ditempuh oleh Tim Ekspedisi Terios dalam menyusuri daratan Sumatera yang kaya akan potensi kopi yang memesona.

Dari kota Banda Aceh, rombongan Tim Ekspedisi Terios melanjutkan perjalanan ke Pulau Weh untuk menuju Titik Nol Km Indonesia. Di sinilah ekspedisi ini akan diselesaikan. Sebagai sebuah misi mulia untuk mengenalkan dan membangkitkan potensi kopi di bumi Svarnadwipa, misi ini semakin lengkap dengan mengajak para pesertanya menghayati rasa cinta tanah air dengan menjejak titik paling barat nusantara sehingga mendapat kesan bahwa Indonesia itu merupakan negara besar. Negara dengan kekayaan alam berlimpah, bertanah subur, dan berbhineka ini sudah selayaknya mempunyai kewajiban moral untuk senantiasa menjaga keutuhan dan mengembangkan diri menjadi bangsa mandiri yang tak lelah bekerja dan berkarya demi kemakmuran rakyak yang merata. Bisa jadi, Ekspedisi Terios ini menjadi langkah awal yang membuka jalan kemajuan selanjutnya. []

19 komentar:

  1. wuih kakak ini ikutan juga... :D

    http://dananwahyu.com/2014/07/12/7-wonders-napak-tilas-7-wonders-kopi-ujung-ujung-sumatra/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe biar bisa jalan-jalan bareng kak Danan dan kak Wira keliling Sulawesi. Siapa tau beneran bisa :)

      Hapus
  2. Coba kopi dayak juga..banyak campuran rempah kaya kayu manis di dalamnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hah, baru denger nih ada kopi dayak. Mau dong dikirimi dikit aja buat tester hehehe :)

      Hapus
  3. Wuih ada event seru dari terios lagi... selalu pengen ikutan... wah saya juga pecinta kopi dan selalu ingin coba kopi saring aceh... tapi sayangnya mungkin gak bisa ikut...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, kenapa? Ikut meramaikan kan gak apa-apa mas. Siapa tahu beruntung bisa ikutan. Kan kamu ada di Ternate, jalan-jalannya kan di Sulawesi. Jadi tinggal terbang ke Manado kan hehehe :)

      Hapus
  4. Wihh keren haaa, pecandu kopi kayaknya :-) Semoga berhasil bro :-)

    BalasHapus
  5. Weiiitsss ikutan ya
    Aku terlewat DL krn ketiduran hahahaha
    Sakses yak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, ini aja nulisnya juga pas mepet setelah acara workshop kemarin hehehe. Terima kasih dukungannya, semoga bisa ikutan hehehe :)

      Hapus
  6. Wah kamu ikut acara terios yg ini toh mas... enaknyaa sampe ke Aceh nikmatin kopi.. aku ampe skr masih penasaran ama rasa kopi aceh itu... pdhl dulu tinggal di sana 18 thn, ga sekalipun nyempetin mampir di kedai2 kopinya.. tp mungkn krn dulu blm tertarik ama kopi sih..:D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kopi Aceh emang enak banget. Kalau mau yang 'spesial' cicipi kopi Gayo, wuiiiiiih nikmatnya bikin orgasme hehehe :)

      Hapus
  7. Enak kayaknya itu gan >,< Memang benar ya, kopi buatan sendiri lebih enak daripada pakai mesin kopi >,< Eh.. tapi tergantung selera juga sih ya gan xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tergantung selera sih. Tapi buat gw sih, yang tradisional biasanya lebih autentik. Selamat minum kopi ;)

      Hapus