Minggu, 20 Mei 2018

Mandiri Jogja Maraton 2018: Berlari Keliling Candi

.: Sugeng rawuh wonten Jogja :.

Ada saat di mana kita begitu merasa mempunyai ikatan batin yang sangat kuat dengan suatu tempat. Perasaan yang begitu hangat dan tenang seperti saat berada di rumah sendiri. Entah mengapa, perasaan itu begitu menyala saat saya bertamu ke Jogja. Saya tidak lahir di Jogja. Tidak pula tinggal dan bekerja di Jogja. Namun, setiap kali bertemu dengan orang baru, saya kerap dituduh dan mendapat sematan sebagai orang yang berasal dari Jogja. Bahkan dari warga Jogja sendiri.

Betapa sering para tukang becak dan penjual nasi pecel yang berderet di sepanjang Malioboro dengan lugas melayangkan tanya, "Jogjanipun pundi mas?". Awalnya saya agak kaget. Lama-kelamaan akhirnya mampu menguasai diri dan mahfum. Saya berusaha menjawab dengan bahasa Jawa krama inggil. Mereka biasanya senang sekali. Membuat orang lain bahagia merupakan salah satu bentuk kebajikan, bukan?

Saya bertamu kembali ke Jogja untuk ikut ajang Jogja Maraton 2018. Sejak fokus menyiapkan diri untuk ikut lari maraton penuh sejauh 42,195 km di Kualalumpur, saya hampir tidak kepikiran sama sekali untuk ikut maraton di Jogja. Waktunya berdekatan. Saya harus memilih salah satu, meski race ini konon memiliki reputasi yang bagus tahun lalu. Tapi, mendekati waktu acara, saya dikontak oleh seorang kawan dan diberikan satu slot untuk turut serta. Kategori 10K saja. Semacam recovery run setelah mengambil maraton penuh seminggu sebelumnya.

.: Pasedulurun, lari bersama sehari sebelum Jogja Maraton 2018 :.

Begitu sampai Jogja, 'ritual' saya tetap sama: menyambangi penjual nasi pecel langganan di Malioboro. Setelah itu, saya menyempatkan diri untuk ikut acara pasedulurun, semacam lari santai keliling kota yang difasilitasi oleh para pelari dari Playon Jogja. Acaranya cukup semarak dan terorganisasi dengan rapi. Saya banyak berjumpa dengan kawan-kawan lari dari seluruh penjuru negeri. Guyub sekali.

Sepulang dari acara paseduluran, saya sengaja tidak pergi ke mana-mana. Entah mengapa, rasanya udara Jogja lebih panas daripada Jakarta. Badan meleleh dibakar matahari dan sepertinya terasa cepat sekali lelah. Untung perlengkapan lari untuk besok sudah tersedia di hotel. Jadi, saya tidak perlu harus antre dan repot mengurus ini itu. Rasa-rasanya, saya bersyukur sekali dikelilingi oleh kawan-kawan baik hati dan tidak sombong.

Saya pindah lokasi penginapan di dekat Candi Prambanan agar tidak repot menuju garis start esok paginya. Mungkin gara-gara itu, badan saya seperti dijerang kepanasan. Flu melanda. Kepala saya pusing pula. Segala rencana untuk mengambil gambar saat matahari terbenam di Candi Ratu Boko langsung ditunda. Saya hanya tidur saja hingga malam menjelang. Begitu bangun, saya segera keluar mencari makanan hangat dan berkuah. Rasa-rasanya, hanya itu yang saya perlukan, selain tidur lagi setelahnya. Sampai pagi.

.: Kuli milenial. Foto oleh Dzofar :.

Berhubung di penginapan merupakan satu-satunya pelari yang ikut lari kategori 10K, saya berangkat paling akhir. Saat semua kawan yang ikut lari maraton penuh dan 21K sudah berangkat lari, saya baru tiba di lokasi. Foto-foto sebentar, lalu melakukan pemanasan ringan. Badan saya cukup segar, meski belum pulih benar dari flu dadakan ini.

Saat menuju garis start, saya sungguh terpesona dengan pemandangan di depan mata. Terus terang, baru kali ini saya menyaksikan kemegahan candi Hindu terbesar di Indonesia ini saat pagi buta. Didirikan sekitar abad 9 oleh raja dari Wangsa Sanjaya, Candi Prambanan dibangun sebagai bentuk persembahan kepada Trimurti, tiga dewa utama dalam ajaran agama Hindu: Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Lokasinya terletak tepat di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pintu masuk candi ada di wilayah Klaten yang masuk provinsi Jawa Tengah dan lokasi candinya ada di wilayah Sleman, Jogja. Oleh karena itu, acara lari ini bertajuk Jogja Maraton 2018. Start dan finish-nya ada di kawasan Candi Prambanan.

.: Lemesin aja kalau diomongin orang. Foto oleh Dandi :. 😋

Jalur larinya cukup sempit. Saya berada agak jauh dari garis start karena datang belakangan. Tapi tidak apa-apa. Toh ini jadi semacam lari rekreasi saja buat saya. Tidak ada target untuk mengejar catatan waktu terbaik. Matahari sudah mulai muncul saat peserta lari kategori 10K dilepas dari garis start.

Saya lari santai saja. Selain sempit, di kilometer awal, jalurnya bergelombang naik turun mengikuti kontur tanah. Saya menikmati pemandangan sekitar. Di antara deretan rumah warga yang berjejal dengan tanah tegalan, dipisahkan oleh pagar besi, tumpukan batu peninggalan dari masa lalu berserakan membentuk monumen.

.: Lari aja. Tanpa drama. Foto oleh Irvan Choky :.

Berhubung sudah beberapa kali mengunjungi kompleks Candi Prambanan, saya sudah hafal nama dan lokasi candinya. Prambanan sebagai candi Hindu, dikepung oleh deretan candi Budha. Berturut-turut yang ada di sebelahnya ialah Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan Candi Sewu. Di antara candi-candi 'satelit' ini, saya begitu terpesona dengan keberadaan Candi Sewu. Selain karena jumlah stupanya banyak, fasadnya relatif terawat. Menikmati keseluruhan kompleks Candi Prambanan, saya jadi teringat perjalanan mengelilingi kompleks Angkor Wat di Kamboja. Mirip sekali.

Setelah melewati kompleks candi, jalur larinya mengarah ke kawasan pemukiman. Saya jadi ingat suasana seperti saat mudik ke Nganjuk. Suasananya tidak jauh berbeda dengan desa tempat tinggal orang tua saya. Jalanannya kecil dan sudah beraspal. Beberapa warga tampak menyaksikan keriuhan ini dari depan rumahnya. Manis sekali.

Saya merasakan hangatnya matahari pagi saat memasuki jalur persawahan. Saya berpapasan dengan beberapa warga yang berangkat ke sawah. Hawanya sejuk. Angin berhempus sepoi. Beruntung dapat melaju duluan, jadi tidak perlu berebut ruang lagi dengan rombongan pelari. Sebenarnya, suasana seperti inilah yang menyenangkan untuk dinikmati dengan berlari tanpa memakai kaos. Alasannya, agar cahaya matahari dapat menyapu semua kulit secara merata, tidak membuat belang-belang berbentuk kaos kutung. 

.: Jalurnya beraspal mulus ..... di kompleks Candi Prambanan :.

Saya tetap berlari. Saya baru menyempatkan berhenti sebentar di water station ke-2. Saya pikir, sebenarnya saya bisa kuat tidak minum saat lari di kategori 10K. Tapi, hidrasi saya pikir sangat penting, terutama saat mengikuti race seperti ini. Adrenalin kita terpacu lebih cepat sehingga tubuh perlu segera mendapat suntikan tenaga untuk stamina.

Langkah kaki saya pelankan sedikit. Sepasang lansia sedang duduk di pinggir jalan dan tampak menikmati pagi dengan menyaksikan keramaian orang sedang berlari melewati jalanan di depan rumahnya. "Nuwun sewu nggih mbah, nderek langkung." Mereka pun dengan hangat menjawab, "Iyo le, sing ati-ati nek mlayu."

Saya segera melanjutkan lari kembali. Matahari perlahan-lahan mulai terasa panas. Padahal, belum juga jam tujuh pagi. Saat melintas di Candi Plaosan, saya sebenarnya ingin berhenti sejenak untuk mengabadikan gambar. Maklum, saya belum pernah mengunjungi candi ini. Keberadaannya baru saya ketahui sebelum berangkat ke Jogja. Ada merasa, semacam pesona sederhana yang memikat pada candi ini, mengabur dari bayang-bayang kemegahan Prambanan yang kerap mengundang decak kagum.

.: Finisher 10K under 55 minutes :.

Saya melewatinya dua kali karena rutenya memutar. Situs-situs ini seperti sengaja bersembunyi di antara rumah dan sawah warga. Saat bayang langkah saya melindap dari Plaosan, dalam hati tebersit niat untuk mengunjungi kembali Plaosan di lain waktu (dan Candi Ratu Boko saat senja tentu saja).

Saya memasuki kompleks Prambanan kembali saat matahari sudah mulai menyengat. Untung lingkungannya penuh pepohonan. Jadi terasa sejuk sepanjang sisa jalur lari. Terbayang, mungkin air putih biasa yang ada di water station menjadi hangat gara-gara ini. Entah mengapa, Jogja menjadi kian panas saja. Padahal, Merapi di utara sana kelihatan duduk manis saja tanpa aktivitas vulkanis yang mengganggu. Saya menginjak garis finish saat area masih relatif sepi.

.: My signature pose after finish :.

Dapat menyelesaian lari 10 kilometer dalam waktu 52 menit setelah menempuh jarak maraton penuh seminggu sebelumnya merupakan catatan tersendiri bagi saya. Setidaknya, saya jadi dapat mengukur kemampuan diri untuk memasang target 48-50 menit untuk lari di kategori 10K berikutnya. Di area finish saya sempat berjumpa dan berfoto bersama dengan beberapa penamat 10K yang tadi berlari di depan dan belakang saya. Beberapa sudah saya kenal sebelumnya.

Tak mau melewatkan momen langka mendapatkan latar Prambanan dalam keadaan sunyi, saya segera mengambil gambar di beberapa sudut Prambanan yang memang mempunyai aura magis karena kemegahannya. Setelah itu, saya duduk-duduk saja di taman sambil menunggu kawan-kawan pelari yang baru menyelesaikan larinya. Sama seperti ketika ikut lari kategori 10K di Borobudur Maraton 2016, saya tidak merasakan sesuatu yang mengganggu sama sekali. Tak ada drama. Semuanya berjalan rapi dan lancar, baik pembagian medali maupun paket refreshment yang cukup. Bahkan, belakangan saya baru sadar, flu yang kemarin melanda mendadak lenyap begitu saja. Saya tidak tahu untuk jalur kategori 21K (Half Marathon) dan maraton penuh (Full Marathon) karena tempat finishnya berbeda. 

.: Anggota jamaah julidiyah yang super duper rebyek jaya. Drama kabeh 😍 :.

Jika konon, race ini disiapkan sebagai race lari berstandar internasional semacam Standard Chartered Kualalumpur Marathon, saya hanya berharap semua informasi terkait keberlangsungan acara sudah dipublikasikan dalam website resmi. Yang lebih penting lagi adalah ketegasan panitia terhadap batas waktu (cut off time/COT) dan konsekuensi terhadap pelari. Jika memang ada aturan COT di kilometer tertentu, laksanakan itu sesuai ketentuan dan tanpa kompromi. Mobil sweeper benar-benar baru bergerak setelah batas akhir waktu, di posisi kilometer di mana seharusnya terjadinya sweeping. Bukan melaju tidak sabar dengan merendengi dan menyapu pelari yang waktunya tipis mepet dengan COT.

Dan pelari yang sudah melampau COT harus benar-benar legowo untuk diangkut ke area finish, digunting BIB-nya, tanpa mendapatkan medali dan kaos penamat. Jadi, tidak ada ceritanya peserta dapat lari kembali setelah sebelumnya menumpang kendaraan panitia untuk diangkut. Hal itu dilakukan untuk menjaga marwah ajang maraton. Bahwa kalau memang belum sanggup untuk finish sebelum waktu yang ditentukan, pastinya harus latihan lagi yang lebih rajin dan disiplin. Karena sebenarnya, mengutip kata-kata olokan yang digunakan sebagai penyemangat di race yang saya baca, ini adalah ajang maraton, bukan mlakuton. Semangat. [] #AyoMlayu

14 komentar:

  1. Pas acara ini beberapa teman bloger ada yang meliput loh mas. Sayangnya aku nggak ikutan hehehhehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Tapi aku gak melihat mereka di arena hehehe. Mungkin terlalu sibuk dengan teman-teman pelari. Tapi, bagaimana pun juga, buzzer yang bukan pelari nge-buzz-nya kok terasa, mohon maaf, 'kering' ya.

      Mungkin karena mereka ngomongin sesuatu yang bukan dunianya ya, tapi dari panduan yang diberikan panitia hehehe. ;)

      Hapus
  2. Khan kita juga termasuk blogger yang meliput. Sekaligus ikutan. Jadi tulisan kita lebih masuk dibanding buzzer hohoho.

    Btw aku jik nunggu pendaftaran Borobudur Marathon yg entah kapan dibuka lagi. Sing ig mbok share kae dudu akun resmi boromar. Cuma repostan tok. Dan yg direpost adalah postingan berminggi yang lalu. Hohoho.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha heits ya kak. Ya aku kan mengikuti beberapa twitnya. Kok ya mereka ngetwit sesuatu berdasarkan panduan dari panitia itu kelihatan banget gitu. Mungkin karena bukan dunianya, jadi memang terasa gimana gitu.

      Semoga segera dapat slotnya untuk Borobudur Maraton, biar bisa lari bareng lagi nanti :)

      Hapus
  3. Selalu kagum ama yang berdedikasi pada olahraga lari. Ku paling sekali seminggu lari kompleks aja ehhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha latihannya harus disiplin mbak. Semua bisa karena terbiasa kok. Kuy lah ;)

      Hapus
  4. Pose lari dengan latar belakang Prambanan itu warbiyasak mas. Pingin bisa pose kayak gitu juga, nanti, kalau perut dah rata haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha mulailah latihan dari sekarang. Segala sesuatu tidak akan datang secara instan kalau mengenai bentuk tubuh dan kesehatan. Semangat :)

      Hapus
  5. Beuuh sehat betull..
    Lari dari kenyataan yang belum ya, Mas?

    BalasHapus
  6. Hebat dong mas udah 10K aja.
    Saya yang baru lari 5K aja udah ngos2an pas di garis finish, wkwkwkwk :))
    Karena gak biasa lari juga sih :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Latihan lagi yang rutin. Biar bisa finish 10K dengan tampan rupawan ;)

      Hapus
  7. Males yeh. Lagi flu. Abis FM. Lari rekreasi. Hasilnya 52 menit. Bakaaarrrr.

    BalasHapus