Sabtu, 15 Maret 2014

Jogja Melankolia

.: Welcome to Yogyakarta :.
Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta, Yogya, Jogjakarta, Jogja, Yogja dan malah ada yang menyebutnya dengan Yoja. Meski paham nama yang benar dan baku setelah Indonesia merdeka adalah Yogyakarta, tapi demi mendukung program yang diusung dalam tagline Never Ending Asia, saya akan menggunakan nama Jogja saja.

Saya tidak dilahirkan di Jogja. Tapi, entah mengapa, sepertinya mempunyai hubungan emosional yang kuat dengan kota ini sampai-sampai banyak orang mengira kalau saya berasal dari sana.

"Dari Jogja ya mas?" Begitu biasanya teman-teman yang baru kenal berusaha menimpali. Awalnya saya berpikir, apa yang membuat mereka mengidentikkan saya dengan (orang) Jogja? Kalau lagi niat menjawab, saya akan jelaskan kalau saya bukan dari Jogja dan tidak tinggal di Jogja. Tapi, kalau lagi malas, saya akan mengiyakan saja dan berusaha melihat reaksinya. Hehehe. Tapi, pada suatu kesempatan saya bertandang kembali untuk kesekian kalinya ke kota ini, saya sering mendapat pertanyaan, "Jogjanipun pundi mas?" (Jogjanya sebelah mana mas?) dari orang-orang Jogja sendiri. Lho? Wong orang Jogja saja mengira kalau saya bagian dari masyarakatnya, berarti saya pikir itu juga jadi alasan yang cukup untuk menjelaskan mengapa saya mempunyai hubungan emosional yang kuat dengan Jogja.   

Semua bermula ketika saya menemukan sebuah foto perjalanan keluarga yang dilakukan saat saya masih kecil. Jogja menjadi destinasi perjalanan pertama. Meski sudah berlalu sejak lama, pengalaman liburan ke Jogja pertama kali ini masih terpatri dengan jelas di benak. Mungkin ini juga yang menjadi pengalaman pertama orang tua saya menempa kebiasaan jalan-jalan secara mandiri dengan biaya yang terbatas.

.: [The Power of Chilhood Memory] Liburan Keluarga ke Yogyakarta :.

Menuju Jogja naik kereta ekonomi, ke mana-mana jalan kaki atau naik transportasi umum, menginap di losmen murah di daerah Pasar Kembang (dulu saya belum tahu kalau ini daerah 'lampu merah'), harus mau bangun pagi dan mandi air dingin agar tidak terlambat menuju destinasi berikutnya. Pengalaman inilah yang akhirnya menjadi kebiasaan dan kebisaan saya melakukan jalan-jalan secara mandiri saat ini.

Berniat untuk mengunjungi kembali Jogja setelah sekian lama tidak mampir, saya memutuskan untuk jalan-jalan sejenak di kota gudeg ini sekalian mengingat kembali momen manis saat saya melakukan perjalanan (jauh) pertama waktu kecil dulu. Karena tidak punya banyak waktu, saya mengagendakan perjalanan ke Jogja sekalian berusaha memaknai kota yang penuh dengan simbol-simbol budaya Jawa ini.

.: [Jejak Mataram] Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat :.
Filosofinya saya ambil dari sumbu imajiner yang sudah mengakar dalam masyarakat Jogja. Antara laut selatan (Pantai Parang Kusumo) dengan Gunung Merapi jika ditarik garis lurus, maka tengah-tengahnya adalah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Posisi itu merupakan episentrum pertemuan antara elemen api (dari gunung) dan air (dari laut) yang bisa diartikan sebagai sebuah harmoni atau keseimbangan.

Di antara Pantai Parang Kusumo dengan keraton, terdapat satu 'titik' yang disebut Panggung Krapyak, yang menjadi batas paling selatan kota tua Jogja. Jarak antara Panggung Krapyak menuju keraton sering dimaknai sebagai kiasan asal-muasal (sangkan) perjalanan kehidupan manusia. Sementara, antara keraton dengan Gunung Merapi, terdapat satu 'titik' yang ditandai dengan Tugu Jogja. Jarak antara keraton dengan Tugu Jogja dimaknai sebagai kiasan dalam perjalanan manusia menuju tujuan yang hakiki (paran) menuju keabadian.  

Berangkat dari pemahaman ini, saya berusaha menyederhanakan filosofi tersebut menjadi lebih sederhana, paling tidak menurut pikiran saya pribadi. Jika arah keraton menuju tugu dianggap sebagai kiasan dalam perjalanan manusia menuju tujuan hakiki yaitu kematian, maka saya akan berjalan dari tugu dan berakhir di keraton, agar dapat dimaknai (sekali lagi menurut pemikiran saya pribadi) sebagai kelahiran kembali menuju kehidupan yang lebih baik.

.: Mbecak? Jalan Kaki Saja :.
Dan saya pun berharap mendapatkan pengalaman seru dengan memilih rute ini. Saya pikir, jika mempunyai waktu singkat seperti ini, sepanjang jalanan dari kawasan perempatan tugu hingga keraton, merupakan miniatur Jogja secara keseluruhan. Ibaratnya, apa yang ingin dilihat di Jogja bisa dirangkum di sepanjang jalan tersebut. Dan untuk menikmati Jogja secara intens dan  personal, saya memilih opsi dengan berjalan kaki.

Kawasan Tugu Jogja sudah ramai saat saya datang. Tengara Jogja ini menjadi fokus pertama agenda saya ke kota pelajar ini. Ada semacam perasaan keingintahuan di sana. Saya pikir, tugu ini merekam banyak sekali peristiwa dan momentum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdirinya pal putih ini juga mengimbas pada penamaan beberapa tempat yang berada di sekitarnya. Setidaknya nama stasiun dan hotel mengadopsi keberadaan tugu ini. Saya harus bersabar sejenak untuk mendapatkan foto terbaik tanpa ada orang yang lalu-lalang.

.: Menunggu Tugu :.

Manunggaling Kawula Gusti. Begitulah pesan yang ingin disampaikan. Semangat persatuan antara rakyat dan penguasa melawan penjajah. Sebuah ikatan batin antara rakyat dengan raja yang masih mengakar dan terjalin hangat hingga sekarang. Tak ingin berlama-lama berada di perempatan jalan dan menghindari tatapan heran para tukang becak yang mulai merasa aneh ada cowok ganteng lari bolak-balik membetulkan kamera di tripot untuk foto diri, saya segera mengemas tas punggung dan berjalan pelan menuju arah selatan.

Saya perhatikan, betapa Jogja sudah banyak berubah dan berbenah. Sudah berkali-kali datang ke Jogja, baru kali ini saya memerhatikan markas Harian Kedaulatan Rakyat yang sering diceritakan teman-teman sebagai salah satu tempat asyik untuk menghabiskan malam di angkringannya atau menikmati alunan musik jaz. Saya juga baru tahu ada halte-halte kecil semacam halte busway di Jakarta. Hari menjadi semakin terang saat kaki saya melangkah menuju Jalan Malioboro

.: [Pulang Mangkal] Jalan Malioboro yang Legendaris :.

Jalan ini seakan menjadi rujukan bagi banyak pejalan. Selain gudeg, batik, dagadu, dan keraton, Malioboro merupakan salah satu hal yang langsung terlintas di kepala saat orang menyebut Jogja. Sebagai pengagun Tolkien dan JK Rowling yang menaruh minat pada asal-usul kata dan bahasa, sampai sekarang saya masih terkagum-kagum dengan muasal sebutan untuk jalan ini. Sebagaimana Yogyakarta, bagi saya kata Malioboro sungguh unik dan indah. Nama ini diadopsi dari kata dalam bahasa Sansekerta, malyabhara yang berarti karangan bunga. Hal ini merujuk pada keadaan jalan ini yang dikerap dipenuhi karangan bunga saat ada perayaan dalam prosesi upacara yang diadakan keraton.

Saat ini, Malioboro seakan sudah mengalami sebuah transformasi menjadi sarang sebuah kota kosmopolis. Di sepanjang jalan ini, nuansa Jogja sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis dan perputaran uang, pusat seni dan budaya, pusat pariwisata dan industri kreatif, pusat kontradiksi antara barat dan timur, serta modernitas dan tradisional seakan menyublim menjadi satu.  

.: Mal dan Mural, Dua Hal yang Mulai Mengepung Jogja :.

.: Yang Kuno, Yang Memesona :.

Ada berderet-deret warung kaki lima. Ada ratusan gerai dan toko yang berebut uang para pemburu batik dan cendera mata. Ada bermacam-macam bentuk arsitektur Belanda kuno yang masih bertahan. Ada beberapa pasar yang bersaing ketat menggandakan modal. Ada pusat pemerintahan yang siang malam mengawasi jalannya roda pemerintahan. Ada banyak sekali seniman dan budayawan lahir dari emperan di jalan ini. Ada jutaan pasang mata yang berusaha menikmatinya, baik dengan kacamata penguasa, pribumi, atau bahkan sebagai penikmat suasana.

Mal dan mural. Dua entitas yang menyublim mewarnai wajah kota. Di antara dengungan protes warga dan desakan investor yang berniat menghiasi wajah Jogja dengan mal dan billboard, para seniman mural bergerilya mewarnai kota Jogja dengan hiasan magis yang mengandung pesan  menjadikan Jogja sebagai tempat yang nyaman untuk menua bersama. Saya melihat satu di antaranya di sebuah gang kecil di Jalan Pasar Kembang berupa ajakan untuk membuat udara Jogja menjadi layak dihirup dengan menggalakan kegiatan bersepeda. Saya pikir, hal ini merupakan sebuah gambaran kecil, betapa Jogja merasa dimiliki oleh rakyatnya. Hal yang sudah semestinya diperhatikan dan menjadi titik tumpu bagi pemimpin yang berkuasa dalam membuat kebijakan-kebijakan yang senantiasa mengedepankan kepentingan rakyat.

.: Waktu seolah melambat, selow sitik bro :D :.
Di sepanjang Jalan Malioboro pula, saya mendapati kenyataan bahwa Jogja serasa sesak dengan keberadaan becak. Mungkin, semangat untuk membuat Jogja berudara bersih menjelma juga dalam bentuk becak, andong, dan sepeda daripada ojek motor.

Yang membuat lucu (karena saya sudah sering mendengarnya dari beberapa teman yang berdomisili di Jogja), para tukang becak ini begitu santunnya menawari saya keliling Jogja naik becak dengan ongkos yang sangat murah.

"Mangga mas nitih becak keliling Jogja, tigang ewu mawon." (Ayo mas, sila naik becak keliling Jogja, tiga ribu saja), kata beberapa tukang becak, berusaha menawarkan becaknya. Tapi, karena menurut saya jaraknya dekat, berbekal pengalaman tidak ingin diantar-antar ke toko untuk berbelanja, dan niatan awalnya memang ingin menikmati Jogja secara intens, saya berusaha menimpalinya dan memilih opsi dengan berjalan kaki. "Mboten pak, matur sembah nuwun, kula mlampah kemawon." (Tidak pak, terima kasih banyak, saya jalan kaki saja.). Sembari mengembangkan seulas senyum, saya pun melipir menuju titik di mana cerita Kota Jogja bermula.

Saya tak menyangka jika titik nol km Kota Jogja terletak di kawasan perempatan sekitar kantor pos. Saya pikir, bukankah, jika mengikuti pakem yang selama ini dipercaya dalam masyarakat Mataram Jogja, Keraton Kasultanan Yogyakarta-lah pusat segala yin-yang dalam semesta yang disebut sebagai region kesultanan. Tapi, ketika saya tanya petugas museum  benteng Vredeburg, kawasan di sekitar perempatan inilah yang menjadi titik 0 km Kota Jogja.

.: Kawasan Titik 0 KM Kota Yogyakarta :.

Sudah sejak lama saya memang menaruh minat pada keberadaan titik 0 km yang menjadi penanda wilayah di seluruh penjuru nusantara. Ada semacam keinginan untuk menjejak setiap titik-titik tersebut. Berbeda dengan di Sabang, Pulau Weh yang titik 0-nya diberi penanda, titik 0 km Kota Jogja justru terletak di tengah perempatan, dikepung konstruksi kokoh peninggalan imperium Belanda yang senantiasa mengawal eksistensi keraton Jogja. 

Serasa memutar memori masa kecil, kawasan titik 0 ini mengingatkan saya pada pelajaran sejarah waktu SMP, mengingatkan pula pada pengalaman piknik bersama teman-teman sekolah, saat saya naik becak keliling keraton melewati kawasan Pathuk, beli bakpia dan kaos dagadu, dan berakhir di alun-alun utara keraton melewati depan Gedung Kantor Pos Jogja dan Bank Indonesia yang megah. Di kawasan ini pula saya akhirnya mendapat pengetahuan baru tentang batik Jogja yang motif dan penjelasannya tertata apik di Monumen Batik Yogyakarta.  

.: Bangsal Pagelaran, Keraton Kasultanan Yogyakarta :.
Saya hampir saja menyelesaikan rute paran sebagaimana dikiaskan dengan keberadaan keraton dan tugu saat berada di depan Bangsal Pagelaran keraton Jogja. Di sinilah segala hal bermula. Tempat yang menjadi agung dan secara ajeg diagungkan dalam khasanah kebudayaan Jawa Mataram Jogja.

Ada semacam perasaan ayem tentrem saat berada di lingkungan keraton, bergumul dengan para abdi dalem, memerhatikan tindak-tanduk mereka yang sacara arif memakai busana tradisional Jawa, lengkap memakai blangkon bermondolan, dan berbicara dengan bahasa Jawa krama inggil. Mungkin semacam perasaan kembali ke habitat. Hal-hal semacam inilah yang berusaha saya timbulkan kembali setiap kali saya jalan-jalan ke Jogja, agar apa yang menjadi wejangan mbah saya dapat senantiasa ada dalam diri: wong Jawa aja sampe kelangan Jawane (orang Jawa jangan sampai kehilangan keJawaannya).

Saya percaya bahwa setiap perjalanan akan membawa sebuah kenangan. Ketika tiba waktunya untuk pulang, saya sempatkan berdiri di depan gerbang Bangsal Pagelaran, mencoba memandang lurus ke utara, berusaha memaknai apa yang dikiaskan oleh Sultan Hamengkubuwono I dulu antara keraton menuju tugu, bahwa akan banyak godaan dan cobaan dalam menggapai sebuah keabadian (moksa). Dengan berbekal pada kenangan istimewa tentang Jogja dan pembelajaran tentang filosofi luhur masyarakat Jawa, setidaknya saya merasa baik-baik saja menjadi orang yang biasa-biasa juga. Dan saat menatap lurus ke depan, saya merasa siap menghadapi segala tantangan yang bakal mengada. []

32 komentar:

  1. Ah kau membuat aku makin kangen jogja, kangen keramah tamahan nya kangen makanan dll ....

    #nanggisDipojokan

    BalasHapus
  2. Ah jadi makin kangen jogja, kangen segala macam nya. Makanan nya tempat nongkrong nya ihik ihik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah, buruan cuzzz aja langsung ke sono, naik kereta malam sensasinya lebih seru lho :)

      Hapus
  3. lebih suka pinggiran jogja kayak bantul, ga ramai dan banyak sawah dan pastinya banyak makanan murah :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, boleh-boleh saja, saya malah belum kesampaian nih mau jalan-jalan ke gua-guanya, sepertinya menarik kalau lihat foto-fotonya. Kalau sawah dan makanan murah, di deket Jakarta sini juga banyak mas, tapi keratonnya yang gak ada hehehe :D

      Hapus
  4. Balasan
    1. Lho, itu halte apa hati, kok nyaman? :D

      #eh #salahfokus

      Hapus
  5. Kami langsung berencana untuk segera ke Jogja lagi. btw, judulnya pas sekali :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, ini koko Teddy pasti ngiri dengan pengalamannya Mbak Maesy pas ke Jogja kemarin nih. Jogja emang selalu ngangenin dan meninggalkan kenangan bagi setiap pejalan. Terima kasih sudah mampir :)

      Hapus
  6. Saya juga bukan orang Jogja, tapi klo pas pergi ke luar Jogja dan ditanya asalnya dari mana pasti saya nyebutnya dari Jogja, hahaha. Dibanding kota Jogjanya, saya sih lebih suka daerah pedesaan atau sekitar gunung Merapi yang hawanya adem. Entah kenapa saya bisa terpaku menatap gunung Merapi kalau sedang cerah2nya. Seakan itu gunung mengundang untuk dihampiri, hahaha. Pokoke Jogja cen ngangeni. :D

    Eh itu foto lawasan yg di trotoar dipotret di daerah mana ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ngangeni banget. Iya, kapan-kapan kelihatannya jelajah ketep pass seru juga. Yang foto lama itu dipotret di kawasan elite Pasar Kembang, di depan penginapan. Kalau gak salah namanya losmen Nusantara (gile, gw masih inget). Gak tau masih ada gak tuh losmennya hahaha :D

      Hapus
  7. Di Gunung Kidul banyak wisata keren juga, pantai-pantai dan gua. Di bukit bintang bisa lihat view malam hari yg nggak bisa dilihat di kota Jogja. Jogja itu luas nggak cuma seputaran Malioboro.
    Kalau aku, sebulan sekali ke Jogja rasanya kuraaang. Hehee :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehe iya sih, tapi pas ke sini emang gak bisa lama-lama, soalnya lagi ada acara di tempat lain. Mungkin lain waktu mau main lagi ke Jogja :)

      Hapus
  8. Datang berkunjung :D

    Tulisannya bagus, mas. Tp panjang bgt hehe, saya tak kuat membacanya sampai selesai. Enjoy Jogja ya. Jogja lebih dari sekedar tugu, malioboro, dan keraton :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, iya sih, ini semacam Jogja stopover aja sebenernya :)

      Hapus
  9. Balasan
    1. Lho, ini saya lagi di Jogja, mau ditraktir apaan hehehe :)

      Hapus
  10. Nganjuk jg nyaman koq Di.. gak cuma hati apalagi halte, eh.. *opo iki?* :D

    Coba ke jogja bagian selatan Di.., pantai2nya eksotis bingit, kuliner hasil lautna bikin lupa diet, hahaha..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahahaha kenapa kamu? :D

      Siaaaap, kapan-kapan main ke Jogja bagian selatan :)

      Hapus
  11. Waaah.. mungkin mas Adie nya ini alus kalo bicara.. jadi dikira orang Jogja.. hehe
    salam kenal mas dari Sidoarjo

    BalasHapus
  12. Sekrang taglinenya dah diganti mas, jadi Jogja Istimewa... Hehehe. Yuk ke jogja lagi, nanti dolan bareng saya...

    BalasHapus
  13. Jadi kamu mangkal nya di pasar kembang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huahuahua itu tempat mangkal lama bro. Sekarang online saja :P #apasih

      Hapus
  14. Aaahh..... Jogja selalu punya ribuan cerita.. jadi kangen Jogja

    BalasHapus
  15. Aaahh..... Jogja selalu punya ribuan cerita.. jadi kangen Jogja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya semua orang punya kenangan personal dengan Jogja ya ;)

      Hapus