Sabtu, 11 April 2020

Menembus Gerbang Efesus

.: Panggung untuk menikmati Lower Agora :.

Pagi berjalan merayap di Selçuk. Suasananya yang tenang dengan hawa sejuk musim semi seperti menuntun siapa saja untuk menikmati momen tanpa diburu ketergesa-gesaan. Toko-toko dan jalanan sepertinya baru benar-benar hidup setelah embun angkat kaki digusah mentari. Saya merasa, mungkin beginilah suasana kota yang cocok untuk melewatkan hari saat pensiun tiba.

Setelah mandi dan sarapan seadanya, saya istirahat sebentar. Hawa yang sejuk dan suasana yang tenang membuat saya betah berlama-lama duduk di samping jendela kamar hotel, memandang bukit Bulbul yang hijau di kejauhan, sambil sesekali terhibur dengan seliweran burung-burung liar di seantero kota.

Menjelang tengah hari, saya beranjak menuju Selçuk otogar untuk mengunjungi Kota Tua Efesus. Sudah banyak turis independen yang menunggu dolmus (angkot) di sana. Jika dilihat dari Bukit Ayasoluk tempat reruntuhan Basilika Saint John berada, Efesus ini sebenarnya dekat. Naik dolmus pun hanya perlu waktu sekitar sepuluh menit.

Baca juga: Menziarahi Yohanes

Namun demi menghemat tenaga, saya memilih naik dolmus saja. Tarifnya ₺3,5 (sekitar 9 ribu rupiah). Para penumpang akan diantar menuju Lower Gate (Gerbang Bawah). Tempatnya juga tidak terlalu sesak. Maklum, bus besar yang mengangkut anggota tur biasanya akan menumpahkan rombongan turis di Upper Gate (Gerbang Atas). Saya menebus tiket seharga ₺60 untuk menembusnya.

Meski rutenya lebih 'menantang', sepertinya saya akan tetap lebih memilih memulainya dari Lower Gate. Melalui gerbang ini, kita akan disambut dengan jalan setapak berbatu rapi dengan deretan  pohon pinus yang berbaris tinggi menjulang. Rasanya seperti diarahkan menuju labirin tersembunyi tempat lokasi nan misterius menanti.

.: Jalan Masuk melalui Lower Gate :.

Di ujung jalan, hati saya berdesir. Pandangan saya terperangah menatap sesuatu yang ada di depan mata. Reruntuhan bongkahan batu berserakan di mana-mana. Pilar-pilar tinggi berdiri mematung seperti menyangga angkasa. Fasadnya sungguh gigantis hingga sanggup mengundang decak kagum.

Awalnya, Efesus merupakan kota tua Yunani. Kota ini menjadi salah satu dari dua belas kota anggota Liga Ionia di masa Yunani Klasik. Setelah dikuasai Romawi, Efesus berkembang dan dijejali sekitar 250.000 jiwa hingga menjadikannya sebagai kota terbesar kedua di dunia setelah Roma.

Mungkin, pada zaman itu, orang tertarik untuk berkunjung dan menetap di Efesus karena keberadaan Kuil Artemis. Kuil ini selesai dibangun sekitar tahun 550 SM dan dinobatkan sebagai salah satu dalam daftar elit dari tujuh keajaiban dunia kuno. Saya membayangkan kuil tersebut megahnya seperti gereja Vatikan. Tapi ternyata, keberadaannya hanya tinggal sebuah pilar menjulang di tanah lapang dengan bongkahan batu marmer terserak tak beraturan.

Beruntung, kala itu Kaisar Konstantin I mengambil langkah konstruktif dengan membangun kembali hampir seluruh kota dan mendirikan tempat-tempat mandi untuk umum yang baru. Meski sempat digunjang gempa dan beberapa kali direkonstruksi hingga zaman milenial saat ini, reruntuhan Kota Tua Efeses masih sanggup menyuguhkan aura kemegahan dari masa silam. Ke situlah saya mulai menyusuri bagian-bagian kotanya secara perlahan dengan berjalan kaki. 

.: Great Theater :.

Sebagai bagian termegah dan sangat mencuri perhatian, saya langsung mampir menuju Great Theater. Berhubung masih pagi dan belum banyak pengunjung, saya segera menuju ke puncak tertinggi deretan tempat duduk untuk menikmati kemegahan teater ini dari ketinggian. Dibangun pada abad ke-3 SM dengan bersandar pada bukit Panayir, Great Theater sanggup menampung hingga 25.000 penonton. Teater terbesar di seantero Anatolia ini dibangun pada periode Helenistik atas prakarsa Lysimachos. Dahulu, bangunan ini kerap digunakan untuk menggelar pertunjukan musik dan drama, diskusi agama, politik, dan filosofi, serta pertarungan gladiator.

Dari posisi berdiri di ketinggian 18 meter ini, selain leluasa menyaksikan seluruh penjuru teater, saya bisa memandang dengan jelas jalan Harbor yang lurus menuju pelabuhan. Jadi, posisi ini juga sekaligas sebagai menara pengawas kalau tiba-tiba ada kapal, tamu, atau bahkan musuh yang datang.

Meski Efesus termasyur sebagai kota Romawi, tapi bangunan teater ini masih memegang teguh pakem bangunan Yunani. Ciri khasnya, bangunan teater Yunani selalu bersandar pada bukit. Sedangkan bangunan teater Romawi fasadnya seperti Coloseum Roma, konstruksi yang diadopsi oleh semua stadion modern masa kini.

Great Theater Efesus diatur sedemikian rupa dengan perhitungan presisi sehingga suara bisa menggema dan bisa terdengar hingga kursi paling belakang. Bayangkan zaman dahulu belum ada teknologi sound system, namun dengan desain bangunan seperti ini, suara orang yang ada di panggung akan terdengar jelas ke seluruh penjuru teater.

.: Perpustakaan Celcus :.

Meski berudara sejuk, ternyata matahari lumayan menyengat pagi itu. Saya berjalan melalui Jalan Marble menuju Perpustakaan Celcus. Konon pada saat agama Kristiani berkembang di wilayah Selçuk, jalan ini kerap dipersamakan dengan Jalan Dolorosa di Yerusalem, tempat Yesus menggeret kayu salib karena dianggap 'sakral'. Bahkan, saya baru tahu bahwa kata Efesus sendiri termaktub dalam Injil Perjanjian Baru.

Yang membuat kaget, di antara kerumunan pengunjung Efesus, tiba-tiba saya mendengar suara, "Diamo disik ta lah, nanti tak ambilkan gambare, biar bagus tur instagramable ngono lho." Ternyata rombongan tur turis Indonesia yang isinya cicik-cicik dari Malang dan Surabaya. Saya menyapanya sebentar dan mulai menjelajah perpustakan ini.

Beruntung, saat saya datang, lokasinya sedang sepi. Saya harus berkali-kali melafalkan alhamdulillah karena sebagai tempat yang paling sering nampang di selebaran dan situs promosi tentang wisata Efesus, perpustakaan ini mendadak sepi saat saya datang. Tidak berjubel seperti biasanya. Saya jadi leluasa mengambil gambar tanpa ada gangguan berarti.

Perpustakan Celcus ini merupakan bangunan favorit saya di seantero kompleks Efesus. Bukan hanya karena fasadnya yang mengingatkan saya pada kota tua Petra di Yordania, tapi juga karena pilar-pilarnya yang jangkung seolah mengirimkan pesan untuk merawat dan memegang teguh ilmu pengetahuan. Saya membayangkan, di masa lampau bangunan ini dipenuhi dengan ribuan perkamen yang menyimpan informasi dan ilmu pengetahuan. Dengan jumlah koleksi mencapai 12.000 gulungan perkamen, perpustakaan ini disebut-sebut sebagai perpustakaan terbesar ketiga setelah Alexandria dan Pergamum.

.: Temple of Hadrian :.

Perpustakaan ini dibangun tahun 117 M sebagai bentuk penghormatan kepada Gaius Julius Celcus Polemaeanus. Makamnya ada di bawah pintu masuk utama. Empat patung dewi-dewi Yunani menghiasi dinding depan sebagai perlambang yaitu Sophia yang melambangkan kebajikan, Episteme yang melambangkan pengetahuan, Ennoia yang melambangkan kecerdasan, dan Arete yang melambangkan keberanian.

Meski terlihat uzur dan sanggup melawan zaman, sejatinya bangunan Perpustakan Celcus ini merupakan hasil rekonstruksi yang dilakukan oleh Austrian Archeological Institute pada tahun 1970. Terbilang muda untuk ukuran situs peninggalan Romawi yang sudah eksis berbilang abad. Keempat patung yang menghiasi dinding itu merupakan replika. Patung aslinya diboyong ke WinaAustria dan disimpan di dalam Museum Ephesus sejak tahun 1910.

Beranjak pada etape terakhir jalur wisata Efesus ini, saya melangkah menuju Jalan Curetes. Bagi saya, jalan ini sungguh kaya dengan situs uzur yang menarik untuk disinggahi satu persatu. Meski jalurnya menanjak, saya sampai rela bolak-balik agar tidak terlewat satu sudut pun. Konon, sesuai namanya, jalan ini merupakan jalur suci untuk pendeta. Makanya di kanan kirinya dirimbuni dengan bangunan kuil untuk pemujaan.

Bangunan-bangunan tersebut antara lain Kuil Hadrian (gerbangnya dihias kepala Medusa, tokoh dalam legenda Yunani berwujud wanita berambut ular dengan tatapan yang sanggup membuat orang menjadi batu), Prytaneion (kuil untuk menghormati Dewi Hestia, saudara perempuan Zeus dan Hera), Kuil Domitian, Yamaç Evleri (rumah bangsawan di sisi bukit), dan Odeion (teater yang lebih kecil, dibangun oleh Publius Vedius Antonius dan istrinya yaitu Flavia Papiana, berfungsi untuk tempat konser serta sidang senat).

.: Artefak Dewi Nike atau Dewi Kemenangan :.

Yang paling menarik adalah keberadaan Latriana. Bangunan ini sejatinya merupakan toilet umum di masa lampau. Jika menonton serial seperti Spartacus dan sejenisnya, kerap digambarkan masyarakat Yunani di masa lampau mandi di toilet umum tanpa merasa risih ya memang adanya begitu. Karena toiletnya memang tanpa partisi dan bisa jadi campur antara laki-laki dan perempuan.

Saat menyusuri Jalan Curetes ini, saya mendapati sebuah artefak yang dipercaya sebagai representasi Dewi Nike atau Dewi Kemenangan. Patungnya bisa dikatakan tidak presisi dan memang seperti itu bentuknya di mana-mana. Seperti bersandar pada palang batu lain agar bisa terlihat seimbang dan tegak lurus.

Sebuah jenama peralatan olahraga mengadopsi nama Dewi Yunani ini dan menerjemahkannya ke dalam logo yang menyerupai tongkat golf miring. Saya akhirnya mengenali muasal nama dan logo tersebut dari kota tua Efesus ini.

.: Monumen Memmius :.

Saya duduk sejenak di undak-undakan Odeion. Ternyata, Kota Tua Efesus ini luas sekali. Menjelajahinya dari ujung ke ujung tentu memerlukan stamina dan sedikit rasa keingintahuan akan kemegahan masa lalu agar tidak merasa bosan. Sebagai orang Indonesia yang mengagumi BorobudurPrambanan, dan candi-candi lainnya, saya sudah tidak terlalu takjub tentang bagaimana orang zaman dulu sanggup mengangkut batu-batu gigantik dan menyusunnya menjadi sebuah kota saat melihat Efesus.

Yang saya takjub justru bagaimana kegigihan pemerintah dan orang-orang di sini yang tetap semangat untuk merekonstruksi sesuatu yang sudah hancur lebur menjadi bentuk minimalis yang bisa dinikmati untuk mengabadikan kejayaan masa lalu. Siang semakin terik. Saya mendaki Odeion. Di kejauhan, tempat Upper Gate berada, puluhan bus sedang riuh menumpahkan penumpangnya yang siap menyerbu Efesus dengan tongkat-tongkat swafoto dan gurauan berisik yang mengusik keheningan.

Saya buru-buru turun dari undakan batu dan sebisa mungkin berjalan cepat menuju Jalan Curetes untuk menghindari kerumunan dan mengakhiri tur ini. Keputusan ceroboh untuk mengingkari suasana Selçuk yang kalem dan bersahaja, yang seyogyanya dinikmati dengan santai dan tidak buru-buru. Saat keluar gerbang di Lower Gate, saya menyadari bahwa kartu Konya yang sedianya saya koleksi, telah raib dari saku celana. Barang yang tidak terlalu bernilai sih, tapi kehilangannya, seperti mengisyaratkan untuk belajar merelakan dan menghidupi kenangan akan kunjungan menembus keping waktu menyelami Kota Tua Efesus. []

Baca juga: Menjejak Konya dalam Sekejap Mata

37 komentar:

  1. tempat nya keren banget mas.. spot foto nya mantapp hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cuaca dan momennya sedang mendukung. Pas banget lagi sepi. Tapi sebentar kemudian ya ruame pol tetep. Hehehe. Walaupun panasnya menyengat, alhamdulillah puas banget jalan ke sini. Banyak spot yang fotogenik 😍😁

      Hapus
  2. Menarik juga penelusuran ke Gerbang Elfesus Yunani meski terkesan sedikit kuno dari segi bagunannnya namun serasa ada sejarah yang mendalam ditempat tersebut.😊😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kunonya bukan sedikit lho mas itu hehehe. Kunonya kuno banget. Sudah eksis sebelum Masehi 😁🙏

      Hapus
  3. Sangat keren lokasi liburannya.
    Rasanya gimana mas kesampaian menginjakkan kaki berada di tanah yang tercantum dalam surat Perjanjian Baru umat Kristiani ?.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dari dulu sebenarnya selalu suka dengan kisah-kisah dalam kitab suci. Nah, Turki ini wilayahnya di masa lalu memang jadi latar banyak kisah dalam kitab suci. Terutama Alkitab ya. Makanya begitu melihat langsung (beberapa gak sengaja tahunya), rasanya seperti nemu 'harta karun' yang biasanya diimpikan. Senang banget 😁🙏

      Hapus
    2. Luar biasa .., aku kerasa ikut deg-degan membaca kisah pengalaman mas Adie berada disana 🙂

      Hapus
    3. Hehehe senang membacanya. Semoga jadi penyemangat saya untuk rajin ngeblog dengan lebih teratur 😁🙏

      Hapus
  4. keren banget ya. sayang tinggal reruntuhannya saja.
    padahal kayaknya kece banget ini bangunan aslinya.
    kalo gini, turki sebagai negara yg rawan gempa, semoga nggak runtuh lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Ini pun sebenarnya juga sudah merupakan hasil restorasi. Bayangkan betapa ruwetnya reruntuhan ini ketika belum direstorasi. Masih berserakan semua batu-batunya.

      Turki mungkin sekarang sudah tidak rawan gempa. Gunung-gunung api di sekitarnya sudah tidak aktif lagi. Kalau kota tua Efesus ini sebagian hancur bukan karena gempa, tapi karena dihancurkan atas perintah raja-raja yang memeluk agama samawi seperti Kristen dan Islam karena dianggap berseberangan dengan agama langit. 😌😷

      Hapus
  5. tempat bersejarah banget ini sepertinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget 😅🍂🍁. Serasa kembali ke zaman kejayaan Kekaisaran Romawi 🙏

      Hapus
  6. Luar biasa bangunan great teather efesus ya, tanpa ada sound sistem seperti zaman sekarang tapi suaranya bisa terdengar sampai kursi belakang. Mana kursinya juga sangat banyak sampai 25 ribu.

    Minal aidzin wal Faidzin ya kang Adie._/|\_

    BalasHapus
    Balasan
    1. Great Theater itu emang yang paling epic sih di sini. Meski bentuknya lumayan sempurna, restorasi dengan crane tetap berjalan biar kondisinya makin terjaga. Soalnya banyak banget pengunjungnya, pasti selalu mengalami gejala penurunan bangunan macam Borobudur gitu.

      Maaf lahir batin ya. Selamat lebaran 🙏

      Hapus
    2. Sama sama kang Adie, mohon maaf kalo ada salah kata selama ngeblog, sekarang masih di Turki apa sudah di Indonesia? 😃

      Hapus
    3. Hehehe yang penting semua sehat, di manapun berada. Jangan lupa ngeblog buat berkabar bahwa semua dalam keadaan baik-baik saja.

      Saya akan terus meliput beberapa tempat di Turki sampai dengan Juli nanti. Jangan bosan ya mengikuti blog ini. Mungkin sampai bulan itu isinya tentang Turki semua :)

      Hapus
  7. wahh keren, ngeliat tempat kaya gini jadi inget film film romawi deh, semoga saya bisa berkunjung kesana juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe benar. Persis seperti latar film Romawi macam Hercules, Spartacus, dan lain-lain.

      Aamiin. Semoga disegerakan. Menabunglah dari sekarang 😁🙏

      Hapus
  8. Sungguh luar biasa megahnya
    Bagaimana cara orang jaman dulu itu membangunnya ya
    Salut dengan tempat teaternya, sambil melihat laut yang begitu indahnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya orang kita pun juga udah terbukti bisa kan bikin bangunan-bangunan megah monumental begini di zaman dulu, saat teknologi belum secanggih sekarang.

      Tapi betapa karya-karya itu mampu bertahan melawan zaman itu yang patut diteladani. Betapa nilai-nilai kerja keras dan kerja cerdas berkelindan dengan budaya antikorupsi, makanya bangunannya kokoh dan awet. 🙏🍁🍂

      Hapus
  9. Great Theater yang di sana sepertinya yang menjadi inspirasi di Breksi. Ada lah mode begitu versi kecil, pun dengan di Hutan Pinus.

    Lihat bangunannya ini bagus kalau pas waktu pagi atau senja,terlebih kalau ada orang yang berjalan di sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah aku malah belum sempat ke Tebing Breksi. Bisa jadi sih. Soalnya bentuk teater yang sisi miringnya dibenamkan atau 'bersandar' pada dinding suatu bukit ini lazim berkembang di zaman Yunani kuno.

      Kalau yang di Breksi mungkin terinspirasi atau mungkin mengadopsi budaya punden berundak seperti candi-candi di Jawa :)

      Hapus
  10. Lihat foto-fotonya tadi jadi inget film kartun saint seiya hehe.. Setiap bangunan selalu menjulang ke atas, mungkin manusia zaman dulu raksasa ya dan colosseum gedung pertunjukan yang khas mungkin menjadi cikal bakal terbentuknya stadion untuk olahraga, misal sepak bola. Saya pernah baca stadion AS Roma Italia dan GBK terinspirasi dari colosseum. Oh ya, saya follow blog ini ya. Thx

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya saja dibuat kagum dan terheran. Kok bisa seindah dan setinggi itu

      Hapus
    2. @ Mz Vicky: Hehehe sebenarnya ada bangunan kuil Artemis yang mirip banget sama latar film Saint Seiya. Fasadnya seperti kuil-kuil Dewi Athena. Meski di Efesus juga ada, tapi yang di Saint Seiya itu lokasinya di Yunani. 🏯⛩

      Betul, stadion bola sekarang itu mengadopsi bentuk coloseum Roma. Thanks btw 🍁🍂🙏

      @ Mz Djangkaru: Hehehe apalagi pas lihat langsung aslinya mz, spektakuler banget 😅🙏

      Hapus
  11. Pas sedang di tengah-tengah tulisan, bagian Great Theater, saya kepikiran bakal komentar sesuatu soal Spartacus. Eh, ndilalah Mas Adie bahas soal Spartacus juga di bagian bawah.

    Keren banget postingan ini, Mas. Berbobot tapi renyah. Nggak terasa udah rampung aja bacanya. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha serial yang saya ikuti itu. Dulu. Kayaknya sebelum 300 ada, serial Spartacus ini happening banget di HBO.

      Btw, thanks ya for your appreciation ;)

      Hapus
  12. kadang memghargai sejarah perlu biaya yang mahal, tapi nilai yang didapatkan jauh lebih mahal daripada yang biaya yang dikeluarkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali. Tapi itungannya ini gak mahal kok. Eh, tapi kalau untuk ukuran orang Indonesia mungkin mahal kali ya. Tapi situs-situs sejarah, apalagi yang usianya udah berbilang abad begini emang karcis masuknya lumayan juga sih untuk turis mancanegara.

      Sama seperti kalau kita mengunjungi Angkor Wat di Kamboja atau turis mancanegara main ke Borobudur. Tiket masuknya kan beda berkali lipat dengan tiket untuk turis lokal. Untuk pelestarian cagar budaya Ok lah :)

      Hapus
  13. Bener sih, takjub sm pemerintah dan warga sekitar yang semangat merekonstruksi untuk mengabadikan kejayaan masa lalu.. foto2nya selalu bikin takjub mas Adie

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perlu biaya besar sih pastinya, tapi juga melibatkan kepedulian penduduk sekitar untuk peduli dalam merawatnya. Yang disayangkan, banyak artefak yang diangkut oleh Austria dan dibawa ke negaranya karena dulu yang melakukan rekonstruksi peneliti Austria. Hiks 😷

      Hapus
  14. Tempanya bagus, ada nilai sejarahnya,,
    kapan bisa kesana huhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe meskipun terdengar klise, tapi saya selalu menyarankan hal yang sama dan bisa dilakukan oleh semua orang, asalkan niat: menabunglah dari sekarang.

      Semoga segera kesampaian ya main ke Turki 🙏😁

      Hapus
  15. Balasan
    1. Bangets. Kekinian sekali sebenarnya tempat ini, meski fasadnya memang kekunoan. Tapi, saya yakin milenial akan betah kok main ke tempat ini. Ya paling enggak demi konten lah :)

      Hapus
  16. Tempat2 penuh sejarah, walopun mungkin banyak bangunan yg udh ga utuh, tp yg begini ini yg aku suka. Ngebayangin seandainya hidup di zaman dulu, melihat lgs megahnya kehidupan mereka :). Nyeseeel banget dulu ke Turki cm Istanbul doang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe kebanyakan yang ke Turki senangnya ke Istanbul sama Cappadocia aja. Padahal ada banyak bagian negara yang menarik untuk di kunjungi. Kalau ada kesempatan balik lagi sih, aku pengen main ke bagian lain yang belum sempat aku datangi deh. Kapan itu 'nemu' ada situs uzur yang cakep banget. Tapi kayaknya gak cukup seminggu deh hehehe :)

      Hapus