Rabu, 07 Januari 2015

Peucang, Primadona di Ujung Barat Jawa

.: Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon :.

Terserak di ujung barat Jawa, Pulau Peucang seakan menyembunyikan diri dari radar wisatawan. Alamnya disusun dengan hamparan pasir putih, air laut hijau toska, pesona hutan hujan tropis, serta aneka flora dan fauna yang hidup bebas berdampingan dengan manusia. Dalam sebuah percakapan yang biasa dengan para nelayan di dermaga Sumur, saya mendapatkan informasi bahwa Pulau Peucang merupakan highligh perjalanan menjelajah Taman Nasional Ujung Kulon. Mereka bilang dengan penuh keyakinan bahwa, rasa-rasanya, sulit untuk membuat orang tidak jatuh hati saat menyaksikan Pulau Peucang di depan mata. 

Dalam khasanah bahasa Sunda, Peucang berarti kancil. Namun, masyarakat setempat menyebut kata Peucang merujuk pada siput kecil yang biasa ditemukan di hamparan pasir. Pulau Peucang sendiri dulunya merupakan wilayah pertanian. Setelah amukan Krakatau tanggal 27 Agustus 1883, vegetasinya bermetamorfosis menjadi belantara hutan hingga susah untuk dipercaya bahwa hutan lebat ini dulunya merupakan habitat palawija seperti padi, jagung, dan para kerabatnya.

.: Sekawanan Rusa sedang Merumput :.
Mungkin memang benar apa kata para nelayan di dermaga Sumur bahwa Peucang memiliki segenap kriteria untuk dimasukkan dalam salah satu kategori pulau cantik untuk tempat mengasingkan diri. Matahari baru saja bergeser ke barat, tapi semangat untuk segera menjelajah kawasan seluas 3 ha ini begitu menyeruak. Saya mendarat di dermaganya disambut oleh seekor biawak. Tak jauh dari dermaga, aneka fauna bebas hilir mudik layaknya hewan peliharaan di sebuah perkampungan padat penduduk.

Beberapa rusa dengan cueknya merumput tanpa peduli banyak orang lalu-lalang. Sekawanan babi juga tak mau kalah berbagi lahan, berlarian ke sana-ke mari mengikuti suara pemimpinnya yang bertalu-talu, memberitahukan tentang makanan yang bisa dibagi bersama untuk makan malam. Meski terlihat jinak, babi-babi ini tetap saja tak tahu sopan santun. Mereka akan langsung menerobos barisan manusia yang lewat jika ada suara panggilan dari pemimpin kawanannya di dalam hutan tanpa ingat untuk berbelok. Satu hal yang perlu diingat betul oleh pengunjung, hewan-hewan tak tahu adat inilah tuan rumah di pulau ini. Para pengunjung hanyalah tamu tak diundang. Untuk itu, kewaspadaan ekstra tetap harus dijaga.

.: Babi Hutan Bebas Berkeliaran :.
Setelah bercengkerama sejenak dengan kawanan rusa yang sedang merumput, saya mengawali penjelajahan menerobos kawasan hutan untuk menuju Pantai Karang Copong yang ada di sisi lain pulau. Sebenarnya, Pantai Karang Copong dapat ditempuh selama 30 menit perjalanan dengan perahu motor. Tapi karena kontur pantainya yang berupa karang dan terkadang sulit untuk membuang jangkar, maka diputuskan untuk jalan saja melewati hutan.

Hutan Pulau Peucang menurut saya kondisinya bagus. Banyak pohon tinggi menjulang dalam keadaan tak terusik perambah. Dalam perjalanan, saya kerap dikejutkan dengan kehadiran rusa yang begitu tiba-tiba, berdiri diam di balik pohon besar, meringkuk manja di bawah sebuah gerumbulan semak, atau sekadar lari berkelebat menjauh masuk ke dalam hutan. 

.: Rusa di Tengah Hutan Pulau Peucang :.

Selain rusa, di dalam hutan Pulau Peucang kerap diramaikan oleh ayam hutan yang berlarian menjauh, burung sribombok yang berloncatan di tanah, dan suara burung merak yang seolah mengonfirmasikan kepada kawanannya bahwa ada pengunjung tak diundang yang sedang menjamah kawasannya. Kembali saya diingatkan bahwa tak ada garansi yang mengantarkan kami pada kejutan bertemu dengan badak Jawa di pulau ini. Jadi, alih-alih berharap bertemu badak di tengah hutan, saya malah berharap bertemu dengan mamalia lain yang lebih mungkin untuk ditemui semacam anak macan tutul atau merak hijau.

.: Vegetasi Hutan Hujan Dataran Rendah :.
Menurut saya, jalur trekking menuju pantai Karang Copong ini acak-acakan. Banyak sekali jalur baru yang memotong jalur lama yang telah ada sebelumnya. Belum lagi pohon tumbang yang berserakan di banyak tempat sehingga memaksa kami mengambil jalur memutar.

Pohon-pohon di tengah hutan sepertinya mempunyai masa tumbuh yang lebih tua lagi. Pohon-pohon ini berbatang lurus dengan cabang yang berada jauh di ketinggian sehingga jika diperhatikan dari bawah seolah serupa menara pandang yang menjulang ke angkasa. Di kanan kirinya bergelantungan akar-akar panjang yang kokoh sehingga sering dijadikan 'ayunan Tarzan' oleh para pengunjung yang kebetulan melintas. 

Memerhatikan pohon-pohon berkayu tersebut, pikiran saya melayang ke kawasan hutan-hutan yang dulu ditasbihkan sebagai paru-paru dunia semacam hutan-hutan di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Hutan-hutan itu dulunya merupakan primadona, diagung-agungkan dengan label titipan bagi generasi penerus, namun berakhir menjadi lahan kelapa sawit yang kerap dikambinghitamkan sebagai biang asap polusi karena kebakaran saat pembukaan hutannya. Saya hanya tidak ingin kawasan hutan ini bernasib serupa. Diembel-embeli sebagai situs warisan dunia Unesco tidak serta merta membuat kawasan Taman Nasional Ujung Kulon terbebas dari ancaman perambahan hutan.

.: Pohon Kiara :.
Saya kembali meniti jalan setapak menuju Pantai Karang Copong. Di tengah perjalanan, sebuah Pohon Kiara lengkap dengan ara pencekik menghalangi jalur perjalanan sehingga memaksa kami melipir mengitari sang pohon raksasa. Saya pikir, sepertinya setiap orang yang melintasi jalur ini akan dipaksa untuk mengagumi kejumawaan sang pohon raksasa barang sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Fisik pohonnya yang jangkung dan dililit akar ara pencekik seolah menguarkan aura mistis kawasan hutan yang jauh dari pusat peradaban.

Saya sampai di pantai Karang Copong saat matahari hendak terbenam. Air laut sudah surut dan genangan air garam di barat pulau berubah menjadi hamparan batu karang yang aman untuk dijejak. Pantai Karang Copong ini sungguh sepi. Hanya ada rombongan kami saja yang menyambanginya. 

Dari kejauhan, tampak sebuah pulau berbentuk layar berada di tengah laut. Tapi bukan itu yang menjadi tujuan pengunjung jauh-jauh menembus belantara hutan. Sebuah pulau serupa Tanah Lot di Bali juga terserak di pantai ini. Pulaunya kecil dan memanjang. Saat air surut seperti ini, Pulau Karang Copong dapat dijangkau dari pinggir pantai dengan berjalan kaki. Tapi saat air pasang, pulau ini seperti terpisah beberapa meter, menjadi pulau tersendiri. Mengamati Pulau Karang Copong saat matahari tenggelam seperti ini sanggup mengembalikan memori saat jalan-jalan ke Bali beberapa waktu lalu. 

.: Pulau Karang Copong: Tanah Lot di Ujung Barat Jawa :.

Saya kembali ke dermaga saat hari sudah benar-benar gelap. Menyusuri jalan setapak serupa, kami satu persatu harus berjalan pelan-pelan membentuk garis memanjang agar tidak terpisah dari rombongan. Meski sebenarnya menapak jalur yang sama, berjalan menembus hutan saat gelap juga memberikan tantangan tersendiri. Makhluk-makhluk nokturnal mulai keluar. Kepak kelelawar sesekali mengejutkan dari balik gerumbulan pohon. Mata dari rusa yang meringkuk di bawah pepohonan tampak berkaca-kaca memantulkan cahaya senter. Di keheningan malam seperti ini, saya hanya banyak-banyak berdoa saja supaya dalam perjalanan tidak berjumpa dengan ular atau macan tutul.

.: Pagi yang Syahdu di Dermaga Pulau Peucang :.
Setelah berjalan kaki kurang lebih 45 menit, perasaan lega menggelayuti perasaan kami. Terlepas dari kungkungan ekosistem hutan dan menemukan cahaya listrik dari genset membuat kami serasa menemukan peradaban. Di Pulau Peucang ini sebenarnya terdapat penginapan untuk pengunjung yang dikelola oleh PT. Wanawisata Alam Hayati. Setiap kamarnya dilengkapi televisi, kamar mandi dengan air panas, dan sambungan telepon satelit.

Mengambil opsi yang lebih murah, saya memilih ikut menginap di barak para pengelola taman nasional. Di situ tersedia tempat tidur sederhana, kamar mandi luar yang layak untuk bebersih, serta sambungan listrik untuk mengisi baterai kamera dan telepon seluler. Namun, di tempat seperti ini, siapa yang butuh berhubungan dengan dunia luar? Sehari tanpa sinyal seluler saya yakin merupakan opsi terbaik untuk menghabiskan akhir pekan bagi setiap pejalan musiman seperti saya.

Saya menghabiskan malam dengan perasaan tenang. Meski sempat terbangun saat tengah malam, saya pikir istirahat saya lumayan nyenyak. Nyamuk memang tak dapat dihindari, tapi dapat diusir dengan lotion antinyamuk dan obat nyamuk bakar. Yang menarik, saat tengah malam, selain bunyi tong geret dan bebunyian satwa hutan, tingkah polah babi hutan yang gedebukan lari keliling kompleks bangunan penginapan sungguh mengingatkan saya pada adegan film Babi Ngepet di televisi.

.: Sekawanan Ikan di Dermaga Pulau Peucang, Ujung Kulon :.

Keesokan paginya, saya sengaja bangun lebih awal untuk mengejar matahari terbit. Setelah mandi dan sholat subuh sembari mengendap-endap agar tidak berpapasan dengan kawanan babi liar, saya melangkah menuju dermaga. Lapangan rumput masih steril dari para penghuni yang kemarin sore turut meramaikan. Rusa-rusa sepertinya memilih masuk ke dalam hutan untuk menghindari hawa dingin. Babi hutan tak jua menampakkan batang hidungnya.

Namun, begitu menginjak pantai, saya baru menyadari bahwa kawanan babi itu sudah sedari tadi menguasai hamparan pasir putihnya. Saya lari terbirit-birit mencari pengamanan di dermaga. Untungnya hari sudah terang. Banyak ABK perahu yang sudah pada bangun.

.: Matahari Terbit di Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon :.
Matahari bersinar cantik kemerahan di ufuk timur. Sebagai komplimennya, saat saya perhatikan air di bawah dermaga, ternyata ada banyak sekali ikan kecil yang berenang, persis seperti sekawanan ikan di sebuah iklan rokok. Sungguh, pulau ini menawarkan kejutan-kejutan kecil yang tiada habisnya sejak saya datang. Memang benar kata para nelayan di dermaga Sumur kemarin. Susah rasanya untuk tidak jatuh hati pada pulau ini.  

Saat akan angkat kaki, saya pikir Pulau Peucang merupakan salah satu pulau ideal untuk menghabiskan akhir pekan. Pulau ini memang tidak menawarkan pengunjungnya bertemu dengan badak Jawa, tapi setidaknya, warna-warni pulaunya sanggup membius siapa saja untuk tidak bosan datang kembali jika kesempatan itu ada. []

33 komentar:

  1. Njiss~ makin pengen ke peucang :| tapi serem juga ya kalau ada binatang liar lalu - lalang seenaknya gitu~ Kalau rusa sih masih lucu~ lha babi hutan apa gak serem kaka~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tenang aja, babi hutannya relatif aman kok buat pengunjung. Yang ngeri kalau pas jelajah malam. Aku was-was kalau di jalan tiba-tiba ada macan tutul atau ular gitu. Ngeri banget bayanginnya :))

      Hapus
  2. keren, alamnya masih original banget :")
    nggak kayak........ jakarta

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keripik kali original hahaha. Iya, alamnya masih asri, sejuk, dan bikin betah buat 'menghilang' sejenak dari ibukota :)

      Hapus
    2. Jakarta mah namanya hutan beton.. foto-foto Peucang nya indah banget Mas. Alamnya bener2 masih original ya, kira-kira untuk wisata keluarga cocok ngga? Maksudnya, apakah medannya terlalu berat untuk anak kecil atau orang tua?

      Hapus
    3. Bisa kok untuk wisata keluarga. Medannya untuk Pulau Peucang lumayan mudah, tapi kalau mau main kano di sungai Cigenter, sebaiknya untuk orang dewasa saja :)

      Kisah tentang kano di sungai Cigenter ada di sini: http://adiedoes.blogspot.com/2015/01/berburu-badak-jawa-di-ujung-kulon.html

      Selamat berpetualang :)

      Hapus
  3. Pulau peucang itu memang surga. Tapi yang ngak kuku itu Babi hutannya suka ngintilin kita terus...hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha iya, babi hutannya sebenarnya gak terlalu bahaya sih, tapi ganggu banget kalau sering diintilin wkwkwk :D

      Hapus
  4. aku kemaren trekking ke karang copong-nya kemaleman. udahlah gak dapet sunset, horor pulak pas pulang gelap banget :(((

    masih penasaran sama sunsetnya dehh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaah, sayang banget ya. Iya, sunsetnya cakep banget, apalagi dengan latar Pulau Karang Copongnya itu. Jadi keinget sama Tanah Lot pokoknya ;)

      Hapus
  5. Ini adalah alasan lain pengen banget main ke Ujung Kulon, selain badak. Dan entah mengapa ketika melihat foto-foto flora dan fauna dalam tulisan ini membuat rasa hormat saya kepada mereka bertambah, ada rasa segan dan terkesan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo, makanya kalau ada kesempatan dan dana, main-mainlah ke Ujung Kulon. Alamnya lumayan seru buat petualangan di akhir pekan :)

      Hapus
    2. Aamiin, semoga kesampaian ya. Tahun 2015 ini banyak tanggal merahnya lho. Semoga bisa ke Ujung Kulon dengan memanfaatkan salah satu kesempatan liburnya :)

      Hapus
  6. Pulau peucang ??? hmmm ya gitu deh hahahaha.
    Aku jatuh hati am tempat ini, sampai rela 5x bolak balik kesini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Susah memang untuk gak jatuh cinta sama Peucang. Pulau ini lumayan ideal deh untuk saat ini. Semoga tetap lestari ya :)

      Hapus
  7. Cocok banget sebagai tempat untuk lepas sejenak dari keriuhan kota ya, Mas....

    Wah, seru juga tuh melintasi hutan yg penuh dengan hewan malam-malam... Deg-deg ser.... Tapi memangnya kata pengelolanya, macan tutul masih suka berkeliaran di sekitar tempat yg dilewati pengunjung po mas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah seru banget, udah berkali-kali ikut jelajah malam, ini salah satu yang paling mendebarkan. Katanya sih begitu, tapi aku alhamdulillah gak ketemu sih. Amit-amit lah ketemu macan tutul hahaha :)

      Hapus
  8. Sunset-nya keren, mas!

    Tahun ini aku berencana ke sana. Kalau ke Ujung Kulon harus pake operator / tour provider atau bisa sendiri?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak pérlu pakai trip organizer bisa kok, tapi usahakan ada barengannya biar bisa patungan sewa perahu. Kalau sendiri sih menurutku lumayan mahal untuk ukuran Ujung Kulon. Btw, enjoy your trip bro :)

      Hapus
  9. dah lama ngak liat babi hutan..dulu sering liat di kupang, ntt

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Peucang, babi hutannya banyak banget mas, gemuk-gemuk pula hahaha :)

      Hapus
  10. pemandangan alam yg masih asri dan kayanya terawat ya mas ,, indahh benerrrrr

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga terus begitu. Sayang banget kalau sampai rusak dan tercemar :)

      Hapus
  11. wah serunya Peucang, tapi mbayangi perjalanan yg sangat panjang dr Jogja..jd masih mikir lagii....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Diniatkan saja mas. Jauh dekat itu relatif kok. Yang penting sehat dan ada dana cukup. Semoga kesampaian ya ke Peucang tahun ini. ;)

      Hapus
  12. Aamiin. Mari kita dukung dengan terus jalan-jalan ke seluruh pelosok nusantara dan mengabarkan berita baik ke seluruh penjuru semesta ;)

    BalasHapus
  13. Semoga tahun depan kesampean untuk jelajah ujung kulon n pulau peucang. Adakah nomor penginapan n guide yg bs jd referensi? Trims

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Wah, sayang sekali saya tidak punya kontaknya. Waktu itu sudah diatur sama teman sendiri untuk perjalanan ke sana :)

      Hapus
  14. Ajib banget ya liburan tanpa hiruk pikuk kendaraan dan lain-lain. Peacefull pisan kayaknya di sana. Cuma rusuh di si Babinya aja. hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha babinya 'jinak' kok itu. Sama sekali gak ganggu. Cuma agak takjub aja sama suara gedebugannya saat kawanannya manggil dan semua babi pada mau ngumpul di suatu tempat. Rusuuuh banget :'(

      Hapus