Sabtu, 09 Agustus 2014

Anjak Anjuk: Menuju Udik, Menggapai Merdesa

.: [Welcome Home] Visit Nganjuk (NY) Year 2014 :.
Ada saat-saat di mana saya merasa bahagia hidup di kota besar. Segala kemudahan fasilitas dan kesempatan untuk berproses mencari penghidupan yang lebih layak dan bermakna mempunyai banyak pilihan jalan serta kesempatan untuk dilakukan. Namun, ada saatnya pula saya menjadi melankolis karena mendamba kehidupan sederhana yang jauh dari riuh perkotaan dan hutan beton yang penuh sesak. Bebas menghirup udara segar setiap hari sembari menyesap secangkir kopi atau teh tanpa merasa perlu untuk berburu dengan waktu.

Dalam suasana menyambut liburan panjang, salah seorang karib saya bertanya kapan terakhir kali saya menjenguk kampung halaman dan apa yang menarik dari kampung tersebut sehingga membuat saya harus rela pulang. Saya jadi berpikir sejenak. Minimal sekali (atau dua kali) saat lebaran tiba, saya memang selalu pulang kampung. Keberadaan orang tua dan kerabat menjadi faktor penentu alasan paling dominan. Selain itu, saya kerap menyisihkan beberapa hari untuk berlibur keliling pelosok daerah di mana saya dulu numpang lahir. Alasannya, selain mencoba mengenal lebih dekat daerah sendiri, sebagai seorang petualang musiman yang kerap diidentikkan dengan selalu keluyuran ke penjuru negeri, saya merasa mempunyai kewajiban moral untuk mengenalkan daerah sendiri kepada khalayak lebih luas sebagaimana yang biasa saya lakukan terhadap daerah-daerah yang sudah saya sambangi.

.: NY City, Kota Supermegapolitan :.
Nganjuk, sebuah kota kecil di timur Jawa. Saya sering ditertawakan saat acara perkenalan oleh teman-teman saya yang kebanyakan urang Sunda itu. Menurut bahasa mereka, Nganjuk berarti ngutang. Sebuah kata yang kurang menyenangkan di telinga.

Kotanya yang mini dan sepi juga tak jarang menjadi bahan olokan. Beberapa teman saya bilang, "Jika ingin tahu kotanya, saat melintasi Nganjuk, usahakan jangan berkedip, biar tidak terlewat." Saya sampai tertawa mendengarnya. Sungguh sebuah gurauan kurang ajar yang menghibur sekaligus menampar saya betapa kota kecil ini seperti berhenti membangun sejak satu dekade silam. Tak banyak pembangunan berarti selain perbaikan jalan musiman dan pemekaran bangunan pusat swalayan.

Bagi banyak orang, Nganjuk mungkin hanya kota kecil yang tak banyak dilirik untuk dikunjungi. Di tataran provinsi, potensi wisatanya sering tersingkir dengan tempat yang lebih spektakuler semacam Gunung Bromo, Kawah Ijen, atau Pantai Klayar. Tony Wheeler jelas alpha memasukkan kota ini sebagai destinasi apik di tanah Jawa dalam buku-buku serial Lonely Planet. Berangkat dari hal-hal yang serba kabur, tak terdokumentasi dengan rapi, sehingga menempatkan daerah di episentrum Jawa Timur seolah kasat mata dan serupa zona jin membuang anak haramnya, saat liburan panjang tiba, saya berencana untuk menyusuri dan mengenali tempat di Nganjuk yang layak dikenal orang, minimal oleh penduduknya sendiri, sekali dalam seumur hidupnya.

.: Nganjuk, sentra bawang merah di Jawa Timur :.
Sebagai seorang pengangguran berbayar, tugas saya setiap hari adalah menjadi tukang ojek ganteng layaknya cerita MTV, yang didaulat antar jemput ibu ke sekolah tempat beliau mengajar. Tak ada kemacetan berarti di sepanjang perjalanan. Alih-alih harus diburu waktu, menyusuri jalanan pedesaan membuat saya punya banyak kesempatan menghirup udara bersih lebih khidmat, menyapa orang-orang yang hendak berangkat ke sawah, dan menyadari bahwa sawah-sawah di sini didominasi oleh bawang merah, komoditas yang membuatnya jadi pesohor layaknya Brebes di Jawa Tengah.

Sebagai anak baik-baik yang haus petualangan, setelah mengantarkan ibu ke tempatnya mengajar, saya tak serta merta langsung pulang. Saya berencana untuk main di sawah dulu sembari mengambil satu dua frame foto untuk diunggah di media sosial dan penghias blog.  

.: kambing-kambing ini unyu sekali :.
Sawah di Nganjuk memang tidak dicangkul dengan sistem adat layaknya sawah jaring laba-laba yang membuat saya takjub saat bertandang ke Flores. Sawah di sini juga tidak dialiri dengan sistem subak seperti sawah-sawah cantik di Bali. Sawah di Nganjuk sangat biasa. Meski tanahnya subur yang dari tanahnya kerap dipanen bawang merah dan aneka palawija, tapi dari sawah inilah saya melihat betapa tanah kelahiran ini dikepung oleh banyak gunung sehingga terlihat semacam ceruk yang lapang. Yang membuat saya betah berlama-lama di sawah, selain menyaksikan betapa nikmatnya para petani sarapan di pematang adalah keberadaan sekawanan kambing yang sangat kompak, membentuk barisan merapat saat saya arahkan kamera untuk mengambil gambarnya. Sungguh pemandangan memesona yang susah saya dapatkan dari apa yang ditawarkan di Pasar Bolu, Tana Toraja sekalipun.

Hari berikutnya, saya sengaja mengagendakan untuk menyambangi kembali situs air terjun Sedudo yang menjadi magnet kebanggaan kabupaten Nganjuk. Sebenarnya ada banyak sekali situs air terjun di Gunung Wilis yang menjadi bagian dari wilayah kabupaten Nganjuk. Tapi Sedudo sudah menjadi icon paling populer di hati masyarakatnya. Bertandang ke sini, saya sedikit terkejut. Saya perhatikan tamu Sedudo masih riuh, tapi debit air terjun ini kian menyusut. Mungkin saya berkunjung saat musim kemarau sedang berlangsung. Bisa jadi juga karena hutan-hutan yang melingkupi sumber airnya kian habis demi mengisi angka-angka dalam laporan pendapatan asli daerah. Meski debit airnya cenderung minimalis, saya toh mandi air sucinya juga demi mendapat berkah selalu awet muda dan ganteng tanpa bantuan bahan kimia yang cenderung artifisial itu.   

.: Sedudo: Magnet yang membius :.

Selesai mandi dan merasa muda selamanya, saya tak langsung turun gunung. Sepeda motor sengaja saya arahkan ke sebuah desa yang berada tak jauh dari lokasi air terjun Sedudo. Ngliman namanya. Saya menerobos jalanan tanpa aspal, melintasi jembatan sederhana yang di bawahnya mengalir sungai jernih dengan latar Puncak Wilis yang menakjubkan.

.: Ubud van Java :.
Saya berhenti sejenak di pinggir sawah milik warga dan menikmati semilir angin sepoi yang membelai leher saat membuka helm dan jaket. Tempat ini sepertinya menawarkan ketenangan paripurna. Di kejauhan terdapat beberapa bukit mungil yang berdiri malu-malu. Di kakinya berserakan pohon nyiur yang mengingatkan saya pada pelajaran ekstrakulikuler Pramuka di sekolah, bertahun-tahun yang lalu.

Di lerengnya yang menjorok ke sungai, saya menemukan banyak sekali sawah-sawah dipahat secara vertikal membentuk selapis sajian karya seni yang mengundang tangan saya secara refleks untuk mengabadikannya. Konturnya memang tak sespektakuler sawah di Tegalalang, Ubud, Bali. Tapi jika disandingkan dengan kontur serupa di kawasan Magelang yang sering disebut sebagai episentrum wisata premium di tanah Jawa, sawah-sawah di sini sebenarnya hanya menunggu untuk disentuh oleh modal yang agak kolosal. Satu lagi, sawah-sawah ini mungkin tak cocok ditanami bawang merah. Tapi, dari tanahnya yang gembur, beras pulen banyak mengisi lambung para penduduk di penjuru kabupaten.

Sejenak saya membayangkan jika hidup di kawasan seperti ini. Daerah-daerah yang sering jauh dari jangkauan transportasi umum dan kunjungan turis seringkali menawarkan sesuatu yang tak terduga. Saya berada di pinggir sebuah jurang yang memungkinkan untuk mengamati kawasan pemukiman lain di desa Ngliman ini. Dari kejauhan, kantung-kantung pemukiman ini mengingatkan saya pada desa-desa wisata yang ada di Magelang, kawasan perkampungan ninja di Jepang yang fotonya kerap menghiasi kalender, atau perkampungan-perkampungan terpencil yang kerap menjadi latar imajinasi saya saat mendengar dongeng tentang sebuah desa: sunyi, jauh di pelosok, dan susah aksesnya dari mana-mana.

.: Di sini kampung. Di sana kampung. Di bawah gunung :.

Selain menyambangi situs-situs air terjun dan desa (dengan potensi) wisata, saya mencoba untuk mendatangi objek-objek wisata lainnya yang didokumentasikan dalam buku Sejarah Nganjuk.
Saat duduk di bangku sekolah menengah, saya sering mendengar bahwa di Nganjuk terdapat situs candi hindu. Tapi saat itu, mengunjungi candi seolah menjadi sesuatu yang tidak populer di kalangan anak remaja putih abu-abu. Selain karena tak ada yang mengantar menuju ke sana, kesibukan sekolah dan informasi yang sangat minim sehingga membuat situs candi identik dengan tempat seram dan angker seakan kian mengubur lebih dalam keinginan untuk mengunjungi objek tersebut.

.: Candi Lor, mirip candi Ta Prohm di Siem Riep, Kamboja :.
Tapi toh akhirnya saya sambangi juga. Yang pertama adalah Candi Lor. Candi ini menjadi penting lantaran dianggap sebagai cikal bakal kota Nganjuk dewasa ini. Fasad bangunannya mengingatkan saya pada candi Ta Prohm di Siem Riep, Kamboja. Bentuk candinya sendiri sudah tidak utuh lagi. Terdapat di tengah sawah, candi bata ini seakan bertahan sekuat tenaga menahan cengkeraman Pohon Kepuh yang usianya juga sudah ratusan tahun. Meski dari buku tamu saya lihat banyak juga yang sekedar mampir, tapi candi yang replikanya selalu ikut dalam karnaval 17 Agustusan ini terlihat tetap sunyi dan jauh dari kesan populer.

Sebelas duabelas dengan Candi Lor, ada lagi satu candi yang masih utuh dan terbuat dari bata. Candi Ngetos namanya. Sedikit berbeda dengan Candi Lor yang dikepung oleh hamparan sawah, Candi Ngetos justru dikepung oleh kawasan perumahan penduduk. Pintu masuk kawasan candi juga merupakan gerbang menuju sebuah masjid. Bentuk candinya yang bernafaskan arsitektur hindu jawa kuno mengingatkan saya pada menara di masjid Kudus, Jawa Tengah.

.: Candi Ngetos :.

Candi ini konon dipercaya sebagai tempat disemayamkannya abu jenasah dari Raja Hayam Wuruk, Raja Majapahit. Tapi dari banyak catatan sejarah yang saya baca dan cerita yang pernah dilantunkan oleh Pak Suharisman, guru sejarah saya saat SMU, dulunya ada dua candi yang berdiri bersebelahan di kawasan ini. Yang pertama adalah Candi Ngetos yang masih berdiri sekarang ini dan Candi Tajum yang merupakan paramasoeklapoera atau tempat menyimpan abu jenasah dari Raja Hayam Wuruk. Sebuah kenyataan yang tidak menyenangkan bahwa situs tersebut saat ini lenyap tak berbekas dan bermetamorfosis menjadi jalan raya beraspal yang dianggap sebagai 'monumen' buah karya pembangunan.

Mengunjungi keberadaan dua candi tadi menerbitkan pemikiran saya bahwa tempat ini dulunya memang didominasi masyarakat hindu Jawa kuno. Setidaknya setiap tempat mulai dari air terjun, sungai, dan candi tersebut saling berkelindan membuat tali simpul yang terkait dalam kegiatan keagamaan, ritual adat, dan jejak sejarah. Namun demikian, saat ini pemeluk hindu merupakan kelompok minoritas di kabupaten Nganjuk. Setidaknya, saya tidak pernah punya teman yang beragama hindu sejak SD hingga SMU hingga saya mengira bahwa penduduk kabupaten Nganjuk itu hanya beragama Islam, Kristen, dan Katholik saja. 

.: Pura Kerta Bhuwana Giri Wilis :.
Sampai suatu ketika saya mendapat informasi dari kakak saya yang anggota pecinta alam itu tentang keberadaan sebuah pura di kaki Puncak Limas, Gunung Wilis. Nama pura ini adalah Pura Kerta Bhuwana Giri Wilis, nama yang indah sekali menurut saya. Puranya tidak besar tapi lengkap untuk ukuran sebuah pura agung di pelosok desa.

Saat berkunjung ke sini, puranya sepi. Hanya ada satu orang penduduk yang rumahnya di seberang pura. Namanya Pak Jaselan. Terus terang saya agak kaget. Saya pikir, penganut Hindu itu namanya identik dengan nama-nama Bali seperti Made, Wayan, Gusti, dan sejenisnya layaknya teman-teman di kampus. Sepertinya Pak Jaselan mengerti keterkejutan saya sehingga menjelaskan bahwa meski ada yang dari Bali, penganut Hindu di kampung ini tetap memakai nama-nama Jawa seperti namanya. Satu lagi ketidakmengertian tentang salah satu sudut di kampung saya akhirnya melunak.

Saya pulang ke rumah dengan perasaan lega. Setidaknya liburan kali ini sedikit membuka mata tentang daerah yang satu dekade silam saya tinggalkan demi menuntut ilmu di ibukota. Saya tidak berharap tulisan ini akan membuat modal berbondong-bondong menjadikan Nganjuk sebagai destinasi lokal yang bersinar di Tanah Jawa atau menyulap penduduknya tiba-tiba melek pariwisata. Tapi setidaknya, jika ada teman yang bertanya sesuatu tentang Nganjuk, saya akan mempunyai jawaban yang agak memuaskan daripada yang bisa ditawarkan oleh leaflet dari dinas pariwisata. []

16 komentar:

  1. Wuih Nganjuk! Klo naik bus ke Surabaya lewat sini ini. Eh, enaknya klo traveling seputar Nganjuk pakai apa ya Brow?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih nyaman sih pakai mobil, tapi kalau mau selow dikit ya pakai motor. Soalnya jalannya kecil, maklum, kotanya juga kecil mas bro hehehe :)

      Hapus
  2. huwaaa belum pernah ke Nganjuk, gak nyangka nganjuk cantik gini :3

    BalasHapus
  3. Walaupun kecil tapi nganjuk terlihat damai... dan tetap punya objek wisata kan... eh btw kalau dari Surabaya ke banyuwangi itu lewat nganjuk gak...?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah ya, daerahnya memang sejuk dan damai. Nganjuk itu letaknya ada di antara kota kota Jombang dan Madiun, jadi kalau ke Banyuwangi tentu tidak lewat Nganjuk. Tapi kalau ke Jogja dari Surabaya, kemungkinan besar lewat Nganjuk :)

      Hapus
    2. Oooh... pingin juga sih singgah ke nganjuk.. mungkin air terjunnya atau ke candinya..

      Hapus
    3. Atau bisa juga dua-duanya mas, itu kan jalannya searah. Klo pas aku mudik tak anterin hehehe :)

      Hapus
  4. wuah! aku tertarik ama candinya. :D
    kapan-kapan ajak aku ke sini ya mas?

    BalasHapus
  5. Banyak tempat yg sangat ingah di Nganjuk rupanya Mas Adie. Keren..

    BalasHapus
  6. Keren juga candinya mirip reruntuhan di Chiang Mai, beb. Tapi orang jarang tahu ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Klo orang Nganjuk sih mungkin tahu ya, tapi banyak yang belum ke sini. Hiks :'(

      Hapus