Minggu, 20 April 2014

Sensasi Negeri Serambi

.: Masjid Raya Baiturrahman :.

Dari puncak menaranya yang jangkung, seruan Tuhan terdengar syahdu menutup senja. Panggilan itu bertalu-talu lembut seperti sebuah undangan untuk bertandang ke sebuah 'istana' putih. Fasad bangunannya sungguh menawan. Ada nuansa magis di sana. Jauh sebelum Aceh populer paska tsunami tahun 2004 silam, saya tergoda untuk menyambangi tanah rencong setelah terpana dengan bangunan cantik serupa Taj Mahal di India dari sebuah tayangan adzan magrib di televisi.

Saya datang ke Aceh bersama dengan stigma di kepala. Terletak jauh di ujung Sumatera memang membuatnya kurang dikenal dan kerap mendapatkan prasangka. Sarang konflik, aturan syariat Islam yang kaku, rawan gempa dan tsunami, serta identik dengan lahan ganja. Berusaha bersikap netral terhadap informasi yang belum tentu kebenarannya dan niatan awal untuk memenuhi semacam janji kepada diri pribadi, mengunjungi masjid yang ada di tayangan adzan magrib, saya melenggang ke Aceh dengan perasaan tenang.  

Mendarat dengan mulus di bandaranya yang baru dan modern, ke sanalah saya pertama kali menuju. Masjid Baiturrahman merupakan episentrum bagi semuanya. Terletak di jantung kota Banda Aceh, masjid ini sering dijadikan sebagai titik sentral kunjungan wisatawan. Dibangun pada tahun 1883 oleh kesultanan Aceh, masjid ini merupakan simbol sekaligus kebanggaan masyarakat Aceh. Sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan syariat Islam, masjid ini juga menjadi pusat kegiatan sosial keagamaan.

Di pintu gerbangnya memang dituliskan aturan berbusana muslim yang menutup aurat. Tapi, tak ada nuansa kaku di dalamnya. Semuanya berjalan secara wajar dan serupa dengan daerah lain di penjuru nusantara. Satu stigma gugur tanpa saya harus kesulitan untuk mencari buktinya. Berusaha merasakan aura teduh di bawah naungan kubah-kubah gigantisnya, saya bergabung dengan ribuan warga Aceh melaksanakan sholat Jumat di suatu siang yang terik.

Stanza Kutaraja

.: Jejak Kerajaan Aceh :.
Kisah-kisah kemasyuran kerajaan Aceh bermula dari berita yang tersebar dari mulut ke mulut. Berabad-abad silam pesisirnya menjadi pusat perhatian dan pemberhentian para saudagar kaya dari India, Persia, Turki, dan China. Kabar dari mulut ke mulut pulalah yang akhirnya mengundang Portugis dan Belanda tergoda untuk bertandang dan berusaha menguasainya.

Berjilid-jilid buku ditulis untuk mengisahkan ulang betapa masyurnya kejayaan kerajaan Samudera Pasai di seluruh penjuru negeri, betapa heroiknya perlawanan masyarakat Aceh dalam sejarah berdirinya republik ini, dan betapa kayanya bumi serambi untuk diselami.

Merasa tak punya banyak waktu bergumul dengan kisah-kisah yang termaktub dalam buku, kawasan Kutaraja merangkum dengan apik dan rinci mengenai kisah masa lalu tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Kerajaan Aceh di Zaman Iskandar Muda, sejarawan asal Perancis, Denys Lombard mendongengkan bahwa nama Nanggroe Aceh Darussalam yang digunakan beberapa waktu lalu untuk seluruh tanah rencong, awalnya digunakan untuk menandai selingkup Kutaraja ini.

Bertahan selama ratusan tahun dari gerusan usia, kawasan Kutaraja sepertinya sanggup mengawetkan cerita-cerita yang menyejarah tersebut melalui bangunan museum, meriam-meriam tua, makam raja-raja, dan bangunan bersejarah lainnya. Karena letaknya yang berdekatan, saya berusaha menghayati setiap detail kisahnya dengan berjalan kaki.

.: Bertamu di Meuligo Aceh :.

Saya pikir, Museum Negeri Aceh merupakan rujukan yang sempurna untuk menengok masa lalu Aceh. Di sini terdapat Rumoh Aceh buatan tahun 1914. Konstruksi bangunannya pernah menyeberang ke Semarang sebelum akhirnya diboyong kembali untuk meramaikan koleksi museum. Di depannya, menggantung Lonceng Cakradonya, suvenir unik dari kerajaan China yang diserahkan oleh Laksamana Cheng Ho pada tahun 1414 ketika melakukan lawatan ke Nusantara.

Peninggalan lain yang masih utuh berdiri adalah Taman Putrou Phang dan Gunongan. Serupa Taj Mahal di India, taman ini dibangun sebagai bentuk kecintaan Sang Sultan kepada permaisuri yang berasal dari Negeri Pahang. Di hari-hari biasa, taman yang dialiri sungai mungil ini digunakan oleh warga Aceh sebagai wahana yang nyaman untuk berolah raga atau bercengkerama santai bersama keluarga. Tapi siang itu sungguh sepi menggelayut. Saya segera menyeberang ke arah kherkhof, kompleks makam Belanda paling luas kedua di seluruh penjuru dunia. Menurut Robbi, teman saya yang tinggal di Aceh, kuburan ini kerap disambangi oleh para bule Belanda yang leluhurnya bersemayam di sini. Dan seperti sudah mahfum di mana-mana, kuburan memang tempat paling sepi di siang bolong.

.: Makam Para Raja :.
Tak jauh dari kawasan museum dan taman, bersanding dengan makam Sultan Iskandar Muda, berdiri sebuah bangunan megah yang mengingatkan saya pada Istana Kepresidenan Cipanas. Bangunan ini disebut Meuligo Aceh yang artinya Mahligai Aceh. Dahulu merupakan rumah dinas Gubernur Jenderal VOC di Aceh. Saat ini dipakai sebagai hunian resmi Gubernur Aceh. Sepertinya memang tak banyak orang yang berkesempatan bertamu di sini. Mungkin saya sedang beruntung. Atau mungkin, inilah satu bukti nyata tentang sebuah ungkapan bahwa, Tuhan beserta para pejalan.

Situs Suci Tsunami

.: 'Monumen' Jejak Tsunami Aceh :.
Akhir tahun ini, warga dunia akan memperingati satu dasawarsa bencana tsunami. Di Aceh, puing-puing tersebut menjelma menjadi situs suci yang mampu memikat turis dan menggemukkan sektor pariwisata.

Aceh yang gencar menjual sektor wisatanya yang bertajuk Bandar Wisata Islami sepertinya lebih mengena disampaikan melalui situs-situs ini daripada sekadar pelaksanaan aturan syariat yang ketat. Mungkin karena saya seorang muslim, berada di lingkungan sesama muslim pula, seketat apapun aturan syariat Islam sebagaimana yang dilantunkan banyak pejalan, tetap saja sensasinya biasa saja.  Kunci sederhananya adalah berusaha menjunjung tinggi nilai dan norma yang sudah lama diagungkan di daerah tersebut.

Namun, demi menyaksikan sendiri dari dekat situs yang ditinggalkan bencana dahsyat 10 tahun silam itu, ayat-ayat suci Al-Qur'an akan terasa nyata terbaca dengan bukti di depan mata sebagaimana difirmankan oleh Allah. Sebagai permisalan, saya tak berhenti merinding, mengucap istigfar dan kalimat tasbih menyaksikan kuasa Tuhan atas Masjid Rahmatullah. Masjid yang berdiri tak jauh dari Pantai Lampu'uk ini masih kokoh sampai kini dan menjadi semacam 'monumen' alami yang membuktikan bahwa ada sentuhan Dzat Yang Maha Kuasa di sana.

.: Museum Tsunami Aceh :.

Selain itu, kapal raksasa PLTD Apung dan kapal nelayan yang berlabuh di atas atap, dua entitas yang mengingatkan saya akan hikayat bahtera Nabi Nuh yang diceritakan kitab suci. Meski saat ini sudah 'dirapikan' sedemikian rupa mengikuti kaidah-kaidah objek wisata, aura yang disampaikan oleh puing-puing itu tak berkurang sama sekali.

Terinspirasi dari peristiwa tsunami, pemerintah kota Banda Aceh juga membangun sebuah Museum Tsunami untuk mengendapkan impresi atas tragedi tersebut. Museum rancangan Ridwan Kamil ini mengawinkan secara halus arsitektur Rumoh Aceh dengan bentuk kapal, filosofi yang seakan merangkum semua kejadian yang berlangsung tanggal 26 Desember 2004 itu dalam sebuah fasad bangunan monumental. Pengalaman mengunjungi banyak museum di penjuru negeri membuat saya berani mengatakan bahwa Museum Tsunami merupakan salah satu museum terbaik yang dikoleksi bumi pertiwi.

.: Lapangan Blang Padang :.
Tak jauh dari Museum Tsunami, di Lapangan Blang Padang berdiri plakat-plakat ucapan terima kasih dari berbagai negara yang turut serta dalam usaha rekonstruksi pemulihan Aceh paska bencana tsunami. Plakat tersebut berisi kalimat "Terima Kasih dan Damai" dalam berbagai bahasa. Selain itu, di salah satu sudut lapangan berdiri anggun sebuah replika pesawat Dakota DC-3 dengan nomor lambung RI-001 Seulawah. Pesawat yang dibeli dari sumbangan rakyat Aceh sebagai usaha dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia ini merupakan cikal bakal maskapai Garuda Indonesia.

Senja di Ujung Barat Nusantara

.: Pantai Lampu'uk :.
Kawasan Kutaraja yang melegenda hanyalah secuil cerita tentang Aceh. Saya berusaha menyerap kisah orangnya melalui kantung-kantung yang kerap disambangi oleh warganya. Pantai Lampu'uk merupakan salah satu pantai populer yang dekat dengan kota. Pantai ini memenuhi standar pantai yang asyik untuk tempat bermain pasir dan air asin. Garis pantainya panjang dan ombaknya tidak terlalu besar.

Jalan menuju Lampu'uk juga terbilang istimewa meski terletak di luar kota. Aspalnya mulus berlatar tebing-tebing batu yang dulu gigih menahan gempuran ombak tsunami. Pemandangan yang janggal, di kanan kiri jalan banyak sekali sapi dengan warna putih kecokelatan sedang santai merumput. Kontras dengan dengan mobil-mobil SUV yang kerap berlalu lalang.

Mungkin karena ke-parno-an yang tidak perlu, saya memarkir mobil menghadap jalan, sekadar berjaga-jaga jika tsunami melanda. Maklum, tanah di pesisir ini memang sedang tidak stabil. Gempa kerap terjadi meski dalam skala kecil, sebuah konsekuensi logis bagi wilayah yang dipeluk lingkaran cincin api. Namun demikian, Lampu'uk seperti tak bosannya menampung banyak pendatang. Ratusan orang berbaur bercengkerama dan bergelung dengan cairan garam.

Di sebuah gazebo-gazebonya yang sederhana, saya kembali memahami satu hal. Sepanjang perjalanan keliling dan keluar kota Banda Aceh, saya tidak menemukan suatu rumah pun yang pagarnya berupa tanaman ganja. Kata Robbi, hal itu hanyalah stigma. Peredaran ganja di Aceh sama terlarangnya seperti yang terjadi di kota-kota lain. Sepulangnya dari Aceh nantinya, saya selalu bilang kepada banyak pejalan lain yang ingin bertandang ke Aceh dan kerap menyinggung pembicaraan tentang ganja.

Bahwa ganja bukan oleh-oleh dari Aceh dan Aceh tidak identik dengan ganja. Menjadikan ganja sebagai alasan mengunjungi Aceh atau bahkan menjadikannya sekadar gurauan sangatlah tidak etis. Apalagi ganja sendiri masih dianggap terlarang dan kontroversial konsumsinya di negeri ini. Ingat! Sebagai pendatang, sudah menjadi kewajiban kita untuk menghormati norma dan tradisi yang sudah berlaku di daerah tersebut, meski untuk hal yang sama, berlaku aturan yang agak longgar di tempat kita berasal.

Kalau bukan karena waktu yang sempit, saya akan betah berlama-lama duduk di pasir putihnya yang lembut.

.: Pantai Lhok Nga :.
Selain Lampu'uk, Pantai Lok Nga merupakan titik paling strategis untuk menikmati senja di Aceh. Terletak di ujung barat negeri membuat senja di sini berlangsung agak lama daripada wilayah Indonesia Barat lainnya. Tapi bisa dipastikan, panorama matahari terbenam di Pantai Lok Nga merupakan salah pemandangan paling magical yang dapat dinikmati di Aceh. Saya sampai rela menunggu momen matahari menghilang dari cakrawala, seolah tenggelam di kedalaman samudera Hindia. 

Damai dalam Secangkir Kopi

.: Aneka Kuliner Aceh :.

Berkeliling Banda Aceh dan menikmati secara intens kultur budayanya membuat saya tergoda untuk menyambangi apa yang menjadi asupan para warganya. Sepiring mie Aceh Razali, setangkup roti canai di kedai Mamak, dan sepinggan besar ayam tangkap yang gurih sukses menggoyang lidah saya. Di luar itu semua, secangkir kopi Aceh di kedai kopi Jasa Ayah merupakan penutup yang sempurna untuk menjalani hari.

.: Seorang barista sedang meracik secangkir kopi :.
Kopi Aceh memang istimewa. Yang lebih menarik lagi, atraksi barista dalam meracik kopi di belakang meja saji sungguh pantang untuk dilewatkan. Bagai tak terganggu oleh hiruk-pikuk para pengunjung yang tertarik dengan atraksinya, seorang barista tampak khusyuk menekuni cangkir-cangkir mungil yang berbaris rapi di depannya.

Menyambangi kedai kopi paling sohor di penjuru kota, saya justru mendapatkan jawaban atas stigma yang saya bawa di kepala dari Jakarta. Betapa menariknya cerita Robbi bahwa sebuah kopi yang disajikan di kedai-kedai ini mampu meredam konflik berkepanjangan di seluruh penjuru negeri. Saat Aceh dilanda konflik dulu, warung kopi ini seolah mengemban misi perdamaian sehingga jargon "di luar warung silakan bertindak, tapi di dalam warung kopi Solong, semua mesti gencatan senjata" populer di antara para pelanggan.

Saat semua sudah tenang seperti sekarang, kedai kopi tetap menjalankan misinya sebagai 'duta perdamaian' dan jembatan kemajuan zaman. Pasalnya, hampir di semua kedai sudah memasang perangkat wifi sehingga memudahkan pengunjungnya untuk berselancar dengan dunia luar melalui dunia maya. Di warung kopi pula semua diskusi dan permasalahan kerap diselesaikan melalui sebuah obrolan hangat nan bersahabat.

Aceh sebagai nusa terdepan di ujung Sumatera memang kerap diselimuti stigma karena kurang dikenal oleh masyarakat di pulau lain di nusantara. Berita-berita yang disebarkan secara masif melalui televisi kadang kala berbeda dengan kenyataan sebenarnya. Melalui perjalanan singkat ini, setidaknya saya jadi paham tentang semesta Aceh yang menyimpan pesona dan menyandang stigma. Kumandang adzan yang bertalu-talu memanggil saya beberapa tahun lalu, seolah menjadi sebuah panggilan agung bahwa perjalanan-perjalanan untuk mengenal setiap jengkal tanah nusantara seperti ini layak untuk terus dilanjutkan. Kumandang adzan yang sama seakan menjadi penanda bahwa sudah waktunya bagi saya untuk mengabarkan segala yang ada tentang tlatah Kutaraja dan sekitarnya, secara apa adanya, ke seluruh penjuru dunia untuk menikmati sendiri sensasinya. []

24 komentar:

  1. Aku mau nya ganja buat oleh2, boleh yaaaa boleh kan ???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heh, gak boleh gitu kakak, ganja bukan buat gurauan. Oleh-oleh yang asyik dari Aceh adalah kopi Aceh. Kalau suvenir atau kaos, saya sukanya dari Piyoh, semacam Dagadu atau Jogernya Aceh gitu. Bahan dan desainnya OK banget. :)

      Hapus
    2. Aku ngak suka kopi kecuali starbucks dan ngak demen beli kaos yg ada tulisan2 nya. Tapi kalo di kasih yaaa ku terima dengan senang hati :-)

      Hapus
    3. Tapi kopi yang ini lain Om Cum, apalagi kalau diminum di warungnya langsung. Mungkin air rebusannya beda kali ya? Atau efek saringan kaus kakinya itu? Hehehe. Kalau kaos, yakin deh, Om Cum pasti suka, kaosnya OK punya kok :D

      Hapus
    4. Piyoooh,... hehe, mas cumilebay harus ke Aceh kalo gitu :D

      Hapus
    5. Katanya, dia udah pernah ke Aceh tahun 2002. Lah, emang Piyoh udah lahir gitu tahun segitu? Hehehe :D

      Hapus
    6. Jadi aku di undang ke aceh ??? Hasek ... Kak hijrah saputra mau kasih kaos yaaa ??? Alhamdulillah rejeki anak soleh ngak kemana ;-)
      Sekalian tiket dan akomodasi nya yaaaa

      Hapus
    7. oh 2002 aku baru masuk kuliah di Malang, masih lucu-lucunya, Piyoh baru ada 2008.

      haha, undangan terbuka buat siapa saja ya :p

      Hapus
    8. Hahahaha maunya kak Cumi ini emang yang gratisan. Ke Aceh aja kak Cum, sekalian nyeberang ke Pulau Weh. Gak bakalan rugi kok ke sana. Tapi kalau ke sana, pakai baju yang sopan ya, aurat tolong dijaga hehehe :D

      Hapus
    9. @kak piyoy : aku juga saat kuliah dan masih unyu2 waktu itu. Jadi bagaimana tawaran kerjasama nya #Ngarep hahaha.
      @adie : kalo jaga aurat itu aku masih belum sanggup, liat pantai dan laut langsung bawaan nya pingin telanjang atau di telanjangin hehehe.

      Hapus
    10. Hahahahahaha heh, kalau di pantai-pantai di sekitar Banda Aceh sebaiknya jangan ya. Tapi kalau di Pulau Weh, sepertinya aturan itu agak permisif. Tapi emang sih, laut dan pantai di Pulau Weh ini emang cemplungable banget :D

      Hapus
  2. HI,
    Keren yaaa....
    Mampir juga yuk ke http://gebrokenruit.blogspot.com/2014/04/bermimpilah-untuk-menjadikannya.html
    Terima kasih banyak;)

    BalasHapus
  3. duh tiket ke Aceh mahal sih *robek robek kertas koran*

    dulu Timothy (mixedupalready.com) malahan dapet tiket promonya Jakarta - KL - banda aceh - KL - Jakarta, hahahahah jadi jalan-jalan ke Acehnya tetep wajib pake passport.

    Pulau Weh juga udah masuk bucket list dari tahun lalu nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha menabunglah dari sekarang. Sebenarnya banyak jalan menuju Aceh. Bisa pakai penerbangan langsung dari Jakarta, bisa lewat Medan dulu, atau lewat KL.

      Ke Banda Aceh tanpa ke Pulau Weh kayaknya sayang banget deh, soalnya Pulau Weh-nya photogenic banget. Foto-foto pakai mode auto aja bagusnya minta ampun. Buktikan aja sendiri ya kalau pas cuacanya lagi cerah :D

      Hapus
  4. lengkap ulasannya bang. mantap.. sukses ya tulisannya.
    mampir balik kemari http://mhdharis.wordpress.com/2014/04/27/banda-aceh-punya-situs-objek-wisata-tsunami-yang-wajib-dikunjungi/

    BalasHapus
  5. lengkap ulasannya bang.. mantap. sukses ya...
    mampir balik kemari http://mhdharis.wordpress.com/2014/04/27/banda-aceh-punya-situs-objek-wisata-tsunami-yang-wajib-dikunjungi/

    BalasHapus
  6. membaca tulisan ini menghapus stigma-stigma yang saya baca di surat kabar. segera saya siapkan waktu dan anggaran untuk menyambanginya tahun depan.

    Terima kasih sudah berbagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama kak, berangkatlah ke Aceh, nikmati keindahan alamnya, cicipi aneka kulinernya, dan rasakan sendiri keramahan penduduknya. Jangan lupa ke Pulau Weh juga ya, dijamin mulut gak berhenti nganga hehehe :)

      Hapus
  7. Terima kasih apresiasinya. Aceh is absolutely amazing. Salam :)

    BalasHapus
  8. Masbro, gimana ya caranya masang beberapa foto dalam satu frame gitu?

    Indra P Nugraha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pakai aplikasi Photovisi, coba aja klik http://www.photovisi.com/ :)

      Hapus