Minggu, 27 Mei 2018

What I Talk about When I Talk about Books

.: Bersama Haruki Murakami di Kompleks Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat :.

Beberapa waktu lalu, linimasa saya diramaikan oleh riuhnya orang-orang yang berburu buku di Big Bad Wolf Bookfair, ICE BSD, Tangerang Selatan. Entah mengapa, saya senang sekali mengikuti keriuhan tersebut. Mungkin, perasaan 'dekat' secara emosional dengan sesama pecinta buku yang menjadi katalisnya. Saya sendiri senang berada di lingkaran orang-orang yang suka membaca, membahas suatu buku, atau paling tidak, mempunyai kesenangan untuk berbelanja buku.

Saat gairah untuk menulis sedang surut akhir-akhir ini, saya seperti menemukan semacam oase sebagai jalan pelampiasan. Sebenarnya keadaan seperti ini tidak sehat. Setidaknya menurut pemikiran saya pribadi. Kegiatan menulis seyogianya bisa berselang-seling berkelindan dengan keasyikan membaca. Normalnya, saya biasa menyelesaikan membaca tiga sampai dengan lima buku saban bulan (termasuk di antaranya satu buku berbahasa Inggris) dan menulis paling tidak satu postingan blog tiap pekan.  

Namun, karena banyak alasan fokus latihan lari untuk persiapan maraton pertama kali di Kualalumpur, Malaysia, saya jadi melewatkan beberapa hal yang dahulu rutin saya kerjakan. Setelah selesai ikut Jogja Maraton sebagai race bonus paska maraton, saya kembali mempunyai sedikit waktu luang yang dapat dimanfaatkan untuk kembali menata kebiasaan lama. Salah satunya adalah membaca buku.

Saya terbiasa memberikan sampul untuk buku-buku yang akan dibaca. Saat melakukan ritual menyampuli buku-buku yang sudah saya beli namun belum sempat dibaca ini, tiba-tiba saya kepikiran beberapa hal. Akhir-akhir ini, saya lagi senang sekali membeli buku secara daring. Mungkin karena memang buku-buku itu sudah lama ingin saya baca dan baru saya 'temukan' di toko buku daring tadi. Kebanyakan buku lama atau terbitan luar negeri. Saya meralat sedikit. Buku-buku tersebut sepertinya bukan tiba-tiba saya 'temukan', melainkan, saya merasa ada kalanya buku-buku tersebutlah yang menemukan sendiri pembacanya. Saya pikir, sebagus apapun sebuah buku, sepanjang tidak ditakdirkan untuk dibaca oleh seseorang, maka buku tersebut juga akan 'menutup diri'.

Sebagian buku saya dipasok dari kios buku independen Post, Pasar Santa. Toko buku ini kecil saja. Tapi tempatnya suka riuh saat akhir pekan. Kadang kala ada agenda pembacaan karya yang dilanjutkan dengan diskusi. Sejak saya pindah lokasi kantor di luar Jakarta, saya kerap hanya memesan buku saja tiap kali ada terbitan baru yang menarik.

.: Buku-Buku di Post, Pasar Santa, Jakarta Selatan :.

Kebiasaan membeli buku akhirnya mengantarkan saya pada tempat-tempat tak terduga. Sekali lagi, saya percaya bahwa sebuah buku kadang menuntun diri kepada pembacanya dengan cara-cara yang tidak terduga sama sekali. Saat masih tinggal di Nganjuk dulu dengan akses terhadap buku yang sangat terbatas, toko buku yang asyik untuk membeli bahan bacaan ada di Kediri. Kebanyakan masih berupa diktat pelajaran sekolah. Lokasinya sih lumayan jauh dari rumah. Namun, memang tidak ada pilihan lagi bukan? Apalagi koleksi perpustakaan daerah di Nganjuk belum selengkap saat ini.

Setelah pindah ke Jakarta, Kwitang menjadi 'surga' yang kerap disambangi. Mungkin terbawa animo sehabis menonton film Ada Apa dengan Cinta, akhirnya keterusan menjadi tempat rujukan pertama sebelum ke toko buku besar untuk mencari buku diktat pelajaran. Maklum, zaman itu belum punya uang untuk bebas beli-beli buku baru. Yang penting kondisinya bagus dan tulisannya terbaca saja sudah alhamdulillah. Jenis bacaannya pun sudah lebih beragam. Selain diktat pelajaran, saat itulah saya mulai mengoleksi buku-buku sastra, catatan perjalanan, dan bacaan lainnya yang berhubungan dengan hobi jalan-jalan.

Di kala tertentu, saya juga menyisihkan sebagian uang bulanan untuk beli buku saat ada pameran di Istora Senayan, Balai Sidang Jakarta, atau di Bentara Budaya Palmerah. Buku yang dibeli benar-benar dipilih berdasarkan kebutuhan. Tentu saja tetap disesuaikan dengan anggaran yang ada. Pokoknya, berburu buku menjadi semacam petualangan tersendiri yang penuh perhitungan dengan kebutuhan hidup bulanan.

.: Koleksi dibeli dengan 'berdarah-darah' 😢 :.

Namun, di situlah seninya. Saya jadi ingat dengan buku-buku tersebut, satu persatu dan bagaimana usaha untuk mendapatkannya. Buku pertama yang saya beli di Gramedia Matraman saat sebulan pertama berada di Jakarta ialah Harry Potter dan Batu Bertuah. Rasanya, setelah beli dan baca buku itu, saya harus menahan diri agak lama untuk bisa melanjutkan membeli seri berikutnya. Bahkan, saya masih ingat, demi menghemat uang di dompet dan ingin sekali baca buku lanjutannya, saya sampai rela blusukan gang suatu perumahan di belakang kampus Trisakti hanya untuk mengejar diskon limabelas persen dan pulsa sepuluh ribu untuk buku Harry Potter dan Pangeran Berdarah Campuran saat bukunya baru terbit.

Berhubung saya suka cerita fiksi fantasi, keinginan untuk membeli buku-buku serupa seperti serial The Lord of The Ring juga harus menunggu ada pameran buku supaya mendapatkan harga yang lebih murah. Rata-rata saya mendapatkan diskon hingga duapuluh persen untuk setiap buku. Lumayan sekali buat saya.

Yang lebih drama justru saat saya berusaha membaca buku karya Pramudya Ananta Toer. Buku-buku beliau itu susah sekali didapat. Mungkin karena adanya larangan saat masa Orde Baru dulu. Saat diterbitkan ulang oleh Lentera Dipantara pun, rasanya buku-buku mbah Pram belum bersahabat bagi ukuran kantong saya kala itu. Tak mau menyerah, akhirnya saya mencari penghasilan tambahan dengan mengajar privat anak-anak kompleks yang orang tuanya cukup berada. Uang bulanan itulah yang saya gunakan untuk membeli (lebih tepatnya mencicil satu persatu) buku-buku karya mbah Pram. Setiap kali mendapat satu buku baru karya mbah Pram rasanya seperti mendapat tambahan ransum makanan di tanggal tua. Sedih kalau diceritain sekarang. Hehehe 😢

.: Borong Buku di Big Bad Wolf Book Fair ICE BSD Bagian 1 :.

Selain dari toko buku, saya masih suka menyambangi beberapa lapak buku bekas hanya untuk mencari 'keberuntungan' mendapatkan buku yang menarik untuk dibaca. Beberapa tempat yang suka menjadi sasaran saya adalah lapak buku bekas di dekat stasiun Pondok Kranji, Bintaro Trade Centre, dan Taman Jajan Samsat BSD. Sedangkan untuk buku-buku berbahasa Inggris, saya masih setia ke Kinokuniya dan Periplus Plasa Senayan.

Semua lahan perburuan buku bacaan menarik tersebut semakin lengkap saat Big Bad Wolf Bookfair diadakan di ICE BSD, Tangerang Selatan sejak 2015 silam. Setiap tahun rasanya ada saat yang ditunggu-tunggu untuk membeli buku dengan harga yang relatif terjangkau. Bahkan, untuk buku-buku yang bahkan di Kinokuniya atau Periplus tidak tersedia pun, beberapa saya beli di pameran tersebut. Bisa kalap lah pokoknya.

.: Borong Buku di Big Bad Wolf Book Fair ICE BSD Bagian 2 :.

Namun, saya tidak semata-mata menunggu Big Bad Wolf Bookfair digelar. Jika memang ada buku yang menarik dan ingin sekali dibaca, saya tetap saja merelakan membeli satu atau dua buku saja. Paling lengkap yang saya suka yaitu Kinokuniya Suria KLCC di Kualalumpur. Setidaknya, koleksi buku di situ lebih lengkap daripada di Indonesia. Nah, akhir bulan kemarin setelah saya pulang maraton di Malaysia, seorang kawan memberi tahu kalau di Kualalumpur ada toko buku baru yang buka 24 jam dengan kisaran harga buku seperti Big Bad Wolf Bookfair. Nama tempatnya BookXcess. Saya sih belum pernah ke sana. Tapi setidaknya, ada alasan lain yang membuat saya bisa main lagi ke Malaysia kan?

Buku memang barang mahal. Setidaknya bagi sebagian orang. Mendapatkannya kadang susah-susah gampang. Apalagi kalau terbitan lama dan sudah tidak dicetak ulang. Makanya saya agak posesif dengan koleksi buku saya. Bahkan kepada Saudara sendiri. Kalau merasa tidak secure, saya memilih untuk tidak meminjamkannya. Kalau akhirnya dipinjamkan pun, kriterianya bakal panjang. Saya bisa 'membaca' bahasa tubuh orang yang memang suka baca atau hanya basa-basi ingin pinjam buku tapi dibacanya entah kapan hanya dari cara orang tersebut memegang buku.

Sebagai solusi paling aman jika terpaksa harus meminjamkan buku, saya membuat semacam aturan pribadi. Kalau buku tersebut terbitan Indonesia dan ada di toko buku, biasanya saya mengalah untuk membeli satu eksemplar lagi untuk diberikan kepada yang ingin membaca tadi. Daripada rusak kan. Apalagi kebanyakan buku-buku saya merupakan cetakan pertama dan beberapa ada tanda tangan penulisnya. Aset yang 'berharga' untuk hanya dibuat lecek oleh pembaca gadungan bukan?

.: Tak Lelah Belajar Menulis Meski Saat Mendaki Gunung :.

Hal yang paling sering ditanya oleh seorang kawan yang pernah berkunjung ke rumah, buku sebanyak itu apakah terbaca semua? Jangan-jangan hanya berakhir sebagai pajangan belaka. Saya dengan yakin menjawab bahwa buku-buku tersebut terbaca. Saya biasa membaca beberapa buku dalam satu waktu. Biasanya dalam perjalanan berangkat dan pulang kantor saya habiskan dengan membaca beberapa halaman sehingga setiap pekan buku yang ada di tas perlu diganti dengan buku lain yang belum dibaca.

Saya juga suka membawa buku ke tempat tidur. Beberapa buku justru berhasil saya tamatkan dibaca menjelang tidur malam. Aturan baku yang saya terapkan, dilarang baca buku saat sedang makan, baik makan berat, maupun makan cemilan, apalagi gorengan. Saya tidak akan memaafkan diri sendiri kalau sampai lembaran buku-buku tersebut berganti peran menjadi tisu, penuh bercak minyak. Duh, bisa stres uring-uringan nanti.

Buku-buku yang menarik juga kerap saya bawa saat melakukan perjalanan. Buku-buku tersebut dapat menjadi media yang asyik untuk mengisi waktu luang saat sudah bosan menonton film di pesawat, terombang-ambing di tengah laut saat berlayar, atau sedang macet di jalan. Saat menginap di hotel dan tidak tahu harus melakukan apa atau sedang menunggu antrian pesanan makanan di restoran, saya juga suka menghabiskan waktu dengan membaca. Intinya, ada banyak kesempatan yang dapat disisipkan kegiatan membaca di dalamnya. Jadi, akan diperlukan banyak buku untuk mengisi kekosongan waktu tersebut.

.: Teman Sepanjang Jalan :.

Jika ada yang bertanya mengapa tidak memilih e-book, dengan jujur akan ngeles kalau saya ini termasuk generasi jadul yang lebih suka buku dalam bentuk fisik yang bisa dipegang. Meski selalu menuhin tempat, sepertinya ada sensasi tersendiri saat dikelilingi dengan tumpukan banyak buku. Di luar itu semua, kebahagian terbesar saya sebagai seorang pembaca buku adalah saat mempunyai waktu yang nyaman untuk membaca sehingga saya terbebas dosa yang lebih keji daripada membakar buku. Di lubuk hati yang paling dalam, saya hanya berdoa agar lebih banyak buku yang ditakdirkan untuk saya baca sepanjang sisa usia. Semoga ada manfaatnya. [] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar