Jumat, 29 Mei 2015

Kelana Rasa di Negeri Para Raja

.: Tugu Jam di Depan Pasar Gede Hardjanagara :.

Dikenal sebagai kota yang kaya budaya, Solo (Surakarta) menjadi magnet banyak wisatawan karena menawarkan banyak pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Dikungkung oleh banyak pegunungan dan diberkahi dengan alam yang subur, serta ditempa dengan sejarah panjang, melalui tangan-tangan terampil para peracik bumbu, Solo juga menawarkan sejuta rasa yang mampu menghadirkan kepuasan mata dan perut.

Mendapat kesempatan libur panjang karena hari besar nasional, saya sengaja menyediakan waktu sejenak untuk mencicipi beberapa di antara keragaman kuliner Solo saat dalam perjalan pulang kampung ke Nganjuk, Jawa Timur. Saya memilih penginapan di tengah kota agar lebih mudah menjangkau sentra kuliner yang ditawarkan oleh kota Bengawan ini. Karena datang ke Solo saat hari sudah malam, begitu sampai di penginapan, mengikuti rekomendasi dari mbak-mbak resepsionis, petualangan mengenal rasa di kota Solo diawali dengan menyambangi Galabo (Gladak Langen Bogan).

Kesengsem dengan Gudeg Ceker Bu Kasno

Bertempat tak jauh dari penginapan, saya datang ke kawasan Galabo dengan berjalan kaki. Kota Solo saat akhir pekan sungguh ramai. Banyak kendaraan lalu lalang. Namun, karena kawasan Galabo saat malam steril dari kendaraan bermotor, saya dengan leluasa berjalan sembari melihat menu-menu yang dijual di kios-kios makanan. Mata saya tertuju pada gudeg ceker bu Kasno. Konon gudeg ini mulai buka jam dua malam. Tapi ternyata di Galabo ada kiosnya juga. Berniat untuk menikmati gudeg ceker di lokasi aslinya saat tengah malam, namun tak kuasa untuk menahan diri mencicipinya, saya memesan sepiring gudeg ceker lengkap dengan porsi setengahnya saja. Saya tetap pada pendirian untuk mencicipi gudeg ini tengah malam nanti. Jadi, begitu selesai makan malam gudeg porsi setengah ini, saya langsung kembali ke penginapan untuk beristirahat.

.: Gudeg Ceker Margoyudan :.

Tepat jam dua malam, setelah berpesan pada petugas keamanan penginapan, saya menuju 'warung' gudeg ceker Bu Kasno dengan naik sepeda. Baru kali ini saya bela-belain jalan di suatu daerah saat tengah malam karena ingin mencicipi kulinernya. Berbekal petunjuk dari bapak satpam dan bertanya pada penduduk setempat yang masih bercengkerama di suatu warung pinggir jalan, saya sampai juga di warung gudegnya Bu Kasno.

Segera saja saya pesan lagi seporsi gudeg ceker. Tapi kali ini, saya ingin mencicipinya bukan dengan nasi, tapi dengan bubur. Ya, ada dua pilihan untuk menikmati gudeg ceker ini yaitu dengan nasi putih biasa atau dengan bubur. Lauknya juga beragam. Ada ayam, jeroan, dan yang paling enak adalah ceker ayam yang sudah dibumbui dengan kuah santan. Ceker ini lembut sekali dan bumbunya meresap sehingga tak heran semua pengunjung saya amati sampai habis setidaknya 7 sampai 10 buah ceker ayam. Meminjam istilah Pak Bondan, olahan ceker ayam di sini benar-benar mak nyus.

Blusukan di Pasar Gede

.: Aktivitas Jual Beli di Pasar Gede :.
Pagi di Solo sepertinya berjalan dengan perlahan. Tak ada kemacetan berarti dan aktivitas masyarakatnya tidak kelihatan seperti sedang terburu-buru. Mengikuti ritme penduduknya, saya sudah menyiapkan agenda untuk icip-icip kuliner Solo setengah harian ini sebelum melanjutkan perjalanan ke Nganjuk. Meski waktunya terbatas, supaya lebih kelihatan santai, saya memilih untuk naik sepeda saja untuk menuju tempat-tempat yang akan saya tuju tersebut. Untuk mengawali hari, saya menuju Pasar Gede Hardjanagara.

Entah mengapa, saya begitu terpesona pada atap joglo berukuran jumbo yang menaungi bangunan pasar. Pada tahun 1930, seorang arsitek Belanda bernama Ir. Thomas Karsten berhasil mengawinkan gaya arsitektur Belanda dan Jawa pada fasad bangunan ini sehingga menghasilkan hibrida yang menjadi magnet bagi para arsitek dan turis untuk bertandang, mempelajari keunikan arsitekturnya, atau sekadar mengagumi keindahannya. Selain itu, alasan lain saya bertandang ke pasar ini karena jajanan pasar yang ditawarkan sungguh beragam. Cukup di satu tempat saja untuk menikmati banyak sajian istimewa penggugah selera.

Mengingat kapasitas perut saya kecil sementara keinginan untuk mencicipi banyak menu sungguh besar, saya memutuskan untuk mencecapnya sedikit-sedikit saja meski dengan harga normal. Untuk sarapan, Timlo Sastro Balong bisa jadi pilihan bijak. Dengan kuah bening berisi campuran potongan ayam dan isi perutnya dalam bentuk sosis serta telur pindang, tak perlu pakai nasi biar tidak merasa repot kekenyangan di awal petualangan.

.: Nasi Rames di Pasar Gede :.

Menariknya icip-icip makanan di Pasar Gede, kita bisa mencoba menu-menu yang baru kita kenal dengan bergeser ke beberapa stand saja. Mengikuti filosofi orang Jawa yang mengatakan bahwa "belum makan kalau belum makan nasi", saya mencicipi sedikit nasi rames. Di sini, nasi dan lauknya disajikan di dalam pinggan-pinggan besar. Di antaranya pilihan lauknya ada ayam dan telur bumbu pindang, sambal goreng tempe kering, oseng tahu kecap, oseng kulit, beragam olahan mie seperti mie goreng, serundeng, sayur lodeh, urap, dan gorengan. Sungguh, menu-menu yang disajikan bisa membuat kalap makhluk omnivora sekaligus membuatnya lupa akan jarum timbangan.

.: Lenjongan Bu Sum :.
Untuk membuat perut bisa 'istirahat' sejenak, setelah icip-icip nasi rames, mata saya melirik lenjongan yang didasarkan tepat di sebelah stand nasi rames.

Lenjongan ini merupakan jajanan pasar khas Solo. Isinya adalah jajanan yang mengingatkan saya (atau kita, mungkin) akan kenangan masa kecil seperti klepon, cenil, ketan hitam, gathot, tiwul, grontol (jagung manis), gendar puli, dan jajanan lain. Disajikan dalam wadah dari daun pisang dan ditutup dengan taburan kelapa parut, lenjongan tampak menggoda dengan tampilan polos khas ndeso.

Tersadar belum minum dari tadi, tenggorokan saya sedikit seret saat menelan suapan terakhir lenjongan. Bu Sum, si penjual lenjongan yang menyadari hal itu dan mengetahui kedatangan saya di Solo adalah untuk icip-icip makanan saat ngobrol tadi menyarankan saya mencicipi es dawet telasih. Letaknya tak jauh dari stand lenjongan dan nasi rames. Masih satu lorong menuju ke arah timur pasar. 

.: Es Dawet Telasih Ibu Dermi :.
Es Dawet Ibu Dermi, begitu yang tertulis di spanduk yang terletak di atas meja saji. Tak banyak memakan tempat, stand ini hanya terdiri dari satu meja dan dua bangku saja. Pembeli datang silih berganti. Sepertinya jarang yang makan di tempat kalau kursi yang disediakan sudah penuh.

Yang jelas, setelah menelan tiga menu yang membuat tenggorokan seret sebelumnya, es dawet telasih ini sungguh menyegarkan sekaligus melancarkan saluran makanan menuju lambung. Isinya berupa cendol hijau, bubur sumsum, bubur ketan hitam, dan santan. Dengan wangi daun suji sebagai pewarna alami dan pemanis gula jawa, segala dahaga langsung sirna saat es dawet telasih ini menyentuh kerongkongan.

Mengingat kunjungan saya ke Solo di hari Jumat, saya memutar otak untuk mengatur waktu agar bisa mencicipi beberapa kuliner khas Solo dengan maksimal. Setelah selesai dengan semangkuk kecil es dawet telasih, saya berkeliling sejenak di dalam pasar dan mengamati sajian lainnya.

Sebenarnya saya sangat ingin sekali icip-icip nasi liwet Ibu Sri. Tapi berhubung nasi liwet ini sudah pernah saya cicipi pada kunjungan ke Solo sebelumnya, maka dengan terpaksa saya lewati saja untuk dinikmati di lain kesempatan. Saya masih terkenang rasa nasi liwet yang lembut dengan aneka lauk berupa ayam suwir, telur pindang yang sudah dipotong setengah, jeroan ayam yang sudah dibumbui, sayur labu siam, dan areh, santan putih yang menggumpal.

Selain nasi liwet, saya juga menunda untuk mencicipi cabuk rambak dan brambang asem di Pasar Gede karena kedua menu tersebut rasa bumbunya cenderung manis (sesuai dengan lidah Solo) dan tampilannya mirip sekali dengan pecel dari tempat saya di Nganjuk, Jawa Timur yang isinya berupa sayur daun ketela rambat rebus, kerupuk (bisa kerupuk biasa atau kerupuk rambak, tergantung selera), dipadu dengan sayuran dan bahan lain yang diguyur dengan bumbu kacang.

Memborong Oleh-oleh di Toko Roti Orion

.: Lapis Surabaya atau Roti Mandarijn :.
Teringat dengan para sahabat dan keluarga yang meski tak pernah menagih oleh-oleh tapi selalu menjadi orang-orang berarti yang sayang untuk tidak dibawakan jajanan khas sebagai buah tangan, saya menuju toko roti langganan kalau punya kesempatan mampir di Solo.

Toko Orion ini lokasinya tak jauh dari Pasar Gede yaitu di Jalan Urip Sumohardjo. Orion sendiri merupakan toko roti pertama yang ada di Solo sehingga produknya jaminan mutu. Saya sendiri paling suka dengan roti lapis Surabaya. Roti ini populer dengan nama roti Mandarijn. Saya bisa habis satu loyang untuk cemilan seorang diri. Harganya memang lumayan, tapi rasanya sungguh mak nyus di lidah. Karena sudah menjadi favorit, saya juga suka menitip untuk dibelikan roti ini kepada para sahabat yang asli Solo saat mereka pulang kampung dan akan balik ke Jakarta. 

Saat ini, selain menjual roti, toko Orion juga menyediakan aneka cemilan seperti keripik ceker ayam, usus goreng, roti kecil, roti semir, dan banyak lagi jajanan yang cocok sekali untuk dijadikan sebagai buah tangan. Karena hari sudah siang, setelah menaruh satu kardus oleh-oleh di penginapan, saya segera menuju Masjid Agung Pura Mangkunegaran untuk menunaikan ibadah sholat Jumat.

Selat Nikmat di Gang Sempit

Lokasinya agak jauh dari kawasan Mangkunegaran, tapi karena lapar, saya kayuh saja sepeda mengikuti petunjuk dari satpam penginapan, di mana lokasi selat Solo yang gaungnya sudah menjadi rekomendasi para pecinta kuliner ibukota saat menyambangi Solo.

.: Selat Solo dan Es Campur :.

Selat Mbak Lies. Begitulah bunyi papan nama di suatu gang kecil menuju warung ini berada. Tempatnya kecil tapi setiap detail sepertinya tertata rapi. Pramusajinya memakai seragam warna oranye ngejreng dengan desain kostum menyerupai kurcaci yang mengingatkan saya pada kisah Oki dan Nirmala di majalah Bobo.

Selat Solo Mbak Lies ini disajikan secara sederhana di piring. Tampilannya mengingatkan saya pada menu makanan orang Belanda yaitu biefstuk atau steak sapi yang sudah dimodifikasi dan disesuaikan dengan lidah lokal. Ada potongan sayuran rebus seperti kentang, wortel, buncis, telur pindang, tomat, kentang goreng, dan sedikit daging. Selain itu ada kuah manis dan taburan bawang mentah untuk menambah aroma. Sebagai teman sajian makan siang, saya memesan es campur yang berisi aneka buah dan agar-agar.

Waktu semalam dan setengah hari sepertinya terlalu singkat untuk menikmati semua sajian yang ditawarkan oleh kota Solo. Sengaja saya simpan beberapa menu agar suatu saat punya alasan untuk kembali ke kota ini lagi. Setidaknya, dengan waktu yang singkat tersebut, saya sudah membawa pengalaman rasa yang menarik untuk diulang kembali dan sekardus oleh-oleh yang sanggup mengawetkan pengalaman tersebut dalam sebuah olah lidah saat sudah kembali berada di rumah. []

*) Tulisan ini diikutsertakan dalam rangka blog competition periode III dengan tema "Wisata Kuliner Jawa Tengah" yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah.

8 komentar:

  1. Solo memang bahaya buat yang takut nambah berat badan! hahaha.. banyak makanan enak! duh, dawet selasih di pasar gede juga gue suka banget! bangeettt!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha iya mbak. Udah gitu harganya murah-murah pula. Bikin kangen aja. :)))

      Hapus
  2. Perasaan ngak ada yg terkenal nich makanan, bukti nya gw ngak ngeh semua. Ini pasti murah kan ???? Hahahaha

    Duch jd ngiler pagi2 tp aku suka susu sijack kalo disolo

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha emang makanan di Solo murah-murah harganya, tapi rasanya endess semua lho. Cobain aja kalau pas mampir ke Solo.

      Bedanya, kalo di Jakarta makanan semua-muanya mahal, cuma lo aja kayaknya murah hua hua hua :P

      Hapus
  3. Tau ngga, Di, Gudeg Ceker Margoyudan itu bikin aku doyan ceker, setelah seumur-umur jijik sama yang namanya kaki ayam itu. Hahaha. Ngga tanggung-tanggung, sekalinya makan, aku bisa habis 10 ceker. Nggragas tenan yak .. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cekere emang mak nyus kok. Lembut banget. Dan tampilannya kelihatan bersih banget, jadi wajar kalo orang jadi gak jijik. Tenang, itu gak masuk kategori ngragas kok. Hahahaha :D

      Hapus
  4. Rekomended sekali kuliner kulinernya... Jadi pengen segera buka puasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heh, gak boleh gitu, aku jadi dosa nih ntar hehehe :)

      Hapus