Sabtu, 26 April 2014

Sambang ke Sabang

.: Welcome to Sabang :.

Jika ada pulau di Indonesia yang dapat dikelilingi dalam sehari dan di dalamnya menampung banyak sekali tempat photogenic yang mengundang decak kagum, saya akan menyodorkan Pulau Weh di Aceh sebagai salah satunya. Terserak di ujung nusa, Pulau Weh seakan menjadi destinasi wisata paling bersinar di Indonesia bagian barat. Pulau ini setidaknya menampung atribut-atribut yang biasa didominasi pulau-pulau yang ukurannya lebih besar: gunung berapi aktif, pantai-pantai cantik berpasir putih, dan pelabuhan yang ramai.

Dulu, saat memandang peta Indonesia yang tergantung di ruang foto keluarga, saya selalu membayangkan bahwa negara Indonesia itu wilayahnya mirip seperti sebuah perahu. Dan dalam imajinasi masa kecil saya, Pulau Weh merupakan bagian ujung haluan depan. Letaknya yang berada di garda depan nusantara menghadap Laut Andaman itulah yang membuat saya tertarik untuk menjejaknya. Ke situlah saya menuju setelah dua hari keliling kota Banda Aceh dan sekitarnya.

.: Danau Aneuk Laot :.
Welcome to Sabang

Setelah menempuh perjalanan laut selama kurang lebih 60 menit dengan kapal cepat, saya mendarat dengan selamat di Pelabuhan Balohan, Sabang. Pernah menjadi bandar pelabuhan tempat kapal-kapal besar bersandar, Pelabuhan bebas Sabang memang tak seramai dahulu.

Tapi, kesan sebagai pelabuhan yang pernah berjaya di masa lalu itu masih malu-malu ditampakkan melalui mobil-mobil mewah yang kerap berlalu-lalang di jalanannya. Kejutan-kejutan kecil juga mewarnai perjalanan saya menuju ke penginapan. Pulau yang luasnya hanya seperempat wilayah DKI Jakarta ini dibangun oleh bukit-bukit kecil yang menjulang menjadi tembok alami. Di salah satu lembahnya, bersemayam secawan danau cantik berair tawar yang menjadi rujukan sumber air utama bagi masyarakat seluruh pulau: Danau Aneuk Laot. Lanskapnya yang menghijau dikelilingi hutan-hutan yang rimbun membuat saya tak kuasa untuk tidak berfoto di dengan latar belakang danau tersebut.      

Santai di Rumah Tuan Freddie

.: Santai Sejenak di Freddie's Santai :.
Berniat menikmati liburan dengan santai, mengisi hari dengan leyeh-leyeh, dan membiarkan diri tidak diburu waktu, saya jauh-jauh hari sudah memesan satu bungalow di penginapan Freddy's Santai, Sumur Tiga. Alasan saya memilih penginapan ini karena harganya terjangkau, kamarnya menghadap timur (matahari terbit), punya pantai sendiri yang membuat saya bisa jogging di pagi hari, dan dimiliki oleh bule, yang biasanya sangat ketat memilih tamu dan tak segan-segan menegur kalau berisiknya keterlaluan.

Saya memang sengaja memilih tempat yang menghadirkan keheningan yang menenteramkan setelah beberapa hari sebelumnya bergumul dengan suasana hingar-bingar kota. Bentuk penginapannya sebenarnya sederhana. Dindingnya dari gedhek bambu. Atapnya dinaungi jalinan rumbia. Dan, di sekeliling kamar-kamarnya, berjajar banyak sekali pohon kelapa. Ada perpustakaan kecil tempat buku-buku tertata rapi di sudut meja barista. Di belakangnya, Tuan Freddie sibuk memasak menu pesanan para pelanggan. Di pantainya yang tidak terlalu luas, berjajar beberapa kursi malas dan menggantung sebuah hammock yang dapat digunakan untuk bersantai. Bonusnya, selain pantai berpasir putir dan dan berombak ringan adalah pemandangan matahari terbit yang sangat menakjubkan. Konon, pemandangan matahari terbit di Pantai Sumur Tiga ini merupakan yang terbaik di seluruh penjuru negeri.

.: Matahari Terbit di Pantai Sumur Tiga :.

Wara-Wiri Keliling Pulau

.: Benteng Jepang di Pantai Timur Pulau Weh :.
Pagi berjalan tanpa tergesa-gesa di Sabang. Tapi mengingat singkatnya waktu kunjungan ke pulau ini, saya harus berhitung secara cermat agar bisa menikmati semuanya. Memilih beranjak dari Pantai Sumur Tiga agak pagi, saya menuju reruntuhan benteng Jepang yang ada di pantai timur Pulau Weh, tak jauh dari Pantai Sumur Tiga.

Sebenarnya, saat Perang Dunia II, Jepang banyak sekali membangun benteng di pantai timur Pulau Weh ini. Beberapa benteng berfungsi sebagai markas pertahanan, beberapa yang lain berfungsi sebagai pos pengintaian. Satu benteng yang konstruksinya masih utuh bisa dinikmati di sini. Bentuknya sederhana sekali layaknya sebuah pos ronda yang ditimbun gundukan tanah.

Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi memang jika Jepang gemar sekali membuat benteng pertahanan dalam bentuk gua-gua bawah tanah. Saya pernah mengunjunginya di Bukittinggi, Sumatera Barat, Bandung, Lombok Timur, dan di Gili Trawangan. Dari pos pengintaian ini, Selat Malaka membentang di depannya. Pos ini dulunya digunakan sebagai tempat mengintai musuh dan mengawasi lalu lalang lalu lintas pelayaran di Selat Malaka. Dari benteng Jepang ini pula, pemandangan asri pantai berpasir hitam Anoi Itiam dapat dinikmati dari kejauhan.

.: Kota Sabang :.
Meninggalkan benteng Jepang dan membiarkannya kembali dikungkung kesendirian, saya menuju pusat kota Sabang. Konon, kalau siang, Kota Sabang seperti kota mati. Masyarakatnya mempunyai kebiasaan tidur siang. Toko-toko tutup, pasar berhenti menghentikan aktivitasnya, dan jalanan sepi.

Namun demikian, saya perhatikan, sebagai sebuah kota kecil yang terletak di tengah pulau kecil, Sabang termasuk kota yang lengkap, dalam artian, memiliki gedung-gedung pemerintahan, sekolah, rumah sakit, pelabuhan, bahkan bandara sendiri. Saya menyempatkan diri sarapan dan minum secangkir kopi di sebuah kedai sebelum melanjutkan perjalanan.

Dalam sebuah obrolan ringan di warung kopi, saya mendapat informasi bahwa Pulau Weh juga mengoleksi sebuah air terjun. Sebagai seorang pejalan yang suka sekali mandi di air terjun, tentu adrenalin saya memuncak saat diberitahu informasi tambahan bahwa letak air terjunnya ada di tengah hutan.

Berbekal pengalaman mencari air terjun serupa yang ada di Pulau Moyo, Nusa Tenggara Barat, saya memberanikan diri menyusuri jalan setapak, melewati tanah tegalan warga, mengikuti arah aliran sungai, dan menembus kelebatan hutan untuk menemukan air terjun yang dimaksud warga.

Setelah melakukan tracking mengikuti muasal aliran sungai di kedalaman hutan selama kurang lebih 45 menit, saya akhirnya sampai juga di air terjun Pria Laot. Air terjunnya tidak terlalu tinggi, alirannya tidak terlalu deras, dan lagunya cukup aman untuk direnangi. Sebagaimana di Pulau Moyo, tadinya saya mengkhawatirkan keberadaan ular yang melata di dasar laguna. Tapi, demi melihat air jernih yang mengalir begitu gencar, dikatalisasi dengan hawa panas sehabis tracking, untuk menyegarkan badan dan mengembalikan semangat jalan-jalan, saya akhirnya tak kuasa untuk segera menceburkan diri di laguna, mandi air terjun yang katanya bermanfaat untuk membuat orang awet muda. 

Di Sini Pantai, Di Sana Pantai

Pantai berpasir putih, langit biru cerah, dan laut berair jernih dengan gradasi warna yang sangat memikat. Deskripsi demikian kerap saya temukan di pantai-pantai yang ada di Indonesia Timur. Namun demikian, semacam anomali, saya menemukan begitu banyak pantai cantik sebagaimana pantai-pantai yang pernah saya datangi di Indonesia Timur, dikoleksi secara kolosal di Pulau Weh.

.: Beach Hopping in Weh Island :.

Siang yang terik saya habiskan di Pantai Gapang. Di pantai ini banyak sekali turis bule yang akan berangkat menyelam. Karena tak ada agenda main air di kedalaman, saya beranjak lagi ke Pantai Iboih. Menurut saya, pantai ini airnya lebih tenang, koralnya lebih sehat, ikannya lebih warna-warni, banyak penginapan murah yang langsung menghadap pantai, dan jika bosan main di pantainya, bisa langsung menyewa perahu untuk berenang di perairan yang ada di Pulau Rubiah. Bagi perenang andal, mungkin bisa mencoba berenang dari Iboih ke Rubiah. Saya memilih menyewa perahu saja. Pulau Rubiah ini seperti pulau yang misterius. Ukurannya mini, mempunyai hutan yang cukup lebat, dan bisa disusuri dari ujung ke ujung hanya dalam hitungan menit. Saya yakin pulau ini menyimpan cerita menarik untuk didongengkan. Yang jelas, saya betah berenang dan main air bersama dengan beberapa ikan nemo yang lucu-lucu di lautnya yang biru.   

Menjejak Titik 0 Km

Sebagai salah satu pulau terluar di kepulauan nusantara yang letaknya berada di ujung nusa, banyak sekali simbol-simbol atau penanda geografis yang di bangun di Sabang, Pulau Weh. Salah satunya adalah Tugu Kembar. Tugu ini terletak di tengah kota, tepatnya di depan Kantor Walikota Sabang. Disebut tugu kembar karena sebuah tugu yang sama juga dibangun di Kota Sota, Papua, menandai bentangan wilayah nusantara yang menghampar dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, tugu ini kerap disebut sebagai Tugu Kembar Sabang Merauke

.: Tugu Kembar dan Monumen KM 0 :.

Membawa semangat yang sama, sebuah tugu KM 0 Indonesia dibangun di daerah Ujong Ba'u, Desa Iboih. Tugu KM 0 Indonesia ini dibangun sebagai penanda geografis titik awal daratan nusantara. Meski titik terluar daratan Indonesia sebenarnya ada di Pulau Rondo, yang pulaunya samar-samar kelihatan dari tugu ini, tapi karena Pulau Rondo 'hanya' berupa pulau kecil tidak berpenghuni, yang hanya disinggahi nelayan, maka diputuskanlah dibangunnya tugu KM 0 Indonesia ini ada di Pulau Weh.

.: Tugu kecil di sebelah Tugu KM 0 Indonesia :.
Jika ditilik dari ukurannya, tugu ini lebih megah daripada tugu kembar yang terletak di tengah kota Sabang. Berdiri terpencil di dalam hutan lindung Pulau Weh, dalam keadaan sepi pengunjung, monumen ini diramaikan oleh sekawanan monyet nakal dan seekor babi hutan yang jinak. Selain tugu KM 0 Indonesia, ada pula tugu kecil sebagai penanda posisi geografis Stasiun GPS KM 0 Indonesia. Terletak tak jauh dari tugu KM 0 Indonesia, tugu kecil inilah tugu yang terletak di paling barat daratan nusantara. Bangga rasanya bisa menjejak titik paling ujung Indonesia ini.

Kota Sabang di Pulau Weh memang tak seriuh Banda Aceh. Tapi, kota ini menyimpan potensi wisata yang menjanjikan. Hampir setiap tempat yang saya lewati menyajikan gambaran panorama yang menyejukkan mata. Aneka celupan warna-warna membentuk kombinasi sajian pemandangan yang memesona. Sepulang ke Sabang, setidaknya saya tahu satu hal bahwa di bagian barat Indonesia, terdapat satu tempat sepi yang menawarkan suasana Bali di masa lalu yang menarik untuk dikunjungi. 

4 komentar:

  1. Udah telanjang dada, tinggal bawah nya dibuka dikit hehehe. Ah aku blm kesampean ke sabang, kapan lalu terpaksa batal pdhl tiket dah ada ihik uhik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahahaha jangan samakan aku dengan kak Cumi yang suka buka-bukaan dong. Aurat kakak. Kalau belum jadi, harus disegerakan tuh. Berangkaaaaaat! :)

      Hapus
  2. Aturanya lebaran 2014 ini mau ke sabang tapi sayang di urungkan niat kesana :( .. Makasih ya telah merekomendasika kesana hehehe...

    BalasHapus