Jumat, 20 November 2015

Ekspedisi Gili di Timur Rinjani

.: Laut Pirus menjadi Latar Setiap Gugusan Gili di Kawasan Lombok Timur :.

Dominasi Gili Trawangan, kawasan Senggigi, dan sederet pantai di barat pulau kerap dijadikan alasan pembenar sebuah ujaran bahwa Pulau Lombok hanyalah destinasi alternatif untuk menampung limpahan turis yang bosan bersambang ke Pulau Dewata. Sejak bandara baru ditancapkan di episentrumnya, pulau cantik yang mengapung di tepi garis Wallace ini seolah bersiap menjadi destinasi mandiri dan keluar dari bayang-bayang modernisasi Bali. Segenap agenda pembangunan dibentangkan. Destinasi yang selama ini tersembunyi dari radar wisatawan dipetakan.

Tujuh puluh kilometer di timur kota Mataram, sekelompok gili berkoloni menyembunyikan diri di balik gerumbul belukar, mengambang dalam balutan laut pirus yang tenang. Infrastruktur daratan masih jauh dari mulus untuk menjangkaunya. Akses paling mudah untuk menembus gugusan gili tersebut adalah dengan menaiki sampan nelayan dari dermaga Tanjung Luar, pelabuhan ikan paling sibuk di seantero Lombok.

"Seratus dua puluh ribu saja dik. Ayo diborong ikannya." Seorang perempuan dalam balutan kain batik dengan warna-warna cerah menyongsong saya, berusaha menawarkan dagangannya. 

.: Fresh from The Ocean. Ikan-ikan yang Dijual di Balai Lelang Tanjung Luar :.

Saya begitu takjub dengan bagaimana para perempuan berinteraksi melakukan transaksi jual beli ikan layaknya seorang pialang saham di meja bursa. Suaranya begitu berisik bersahutan. Yang lebih ekstrim, beberapa perempuan tampak bernafsu menyongsong dan menguasai isi perahu nelayan yang baru pulang dari lautan, merampas hasil tangkapan mereka layaknya barang rampasan perang, kemudian langsung menjualnya kepada para perempuan pialang lain seolah sudah terjadi kesepakatan harga sebelumnya dengan sang empunya barang. Saya pikir, selain berugaq tempat menenun, balai lelang Tanjung Luar merupakan wahana bermain paling mengasyikkan bagi perempuan Sasak di mana dominasi perempuan sepenuhnya merdeka dari usikan kaum lelaki.

Perahu yang saya naiki berangkat perlahan, meninggalkan suara berisik pelabuhan bersama hembusan angin lautan. Cuaca cerah. Ombak tak begitu bergejolak. Neptunus sepertinya sedang riang. Di kejauhan, padang-padang gersang menyembul dalam celupan warna padang gurun. Di bawah naungan langit biru berselaput awan, ke sanalah perahu terus melaju.

.: Camar, Sang Kukila Samudra, Menyambangi Jermal di Kawasan Tanjung Luar :.

Sekawanan burung camar, sang kukila samudra, terbang berpencaran dari atas jermal, menjauh dari raungan mesin tempel perahu yang memekakkan telinga.

"Apakah di sini pernah terlihat lumba-lumba?", tanya saya kepada Husni, sang ABK perahu. 

Sebelum pertanyaan tersebut dijawab, sekelompok ikan terbang menari-nari berkejaran, menimbulkan kecipak air yang menakjubkan untuk mereka yang biasa menyaksikannya hanya dari layar kaca, termasuk saya.

"Lumba-lumba jarang terlihat di sini." katanya santai. "Tapi, saya sering melihatnya saat berburu hiu di laut lepas sana."

.: Negeri Bahari. Sang Saka Merah Putih Berkibar di Tengah Samudra :.

Saya berusaha mengusai diri agar tidak terlihat kaget mendapati informasi tersebut. Sudah lama mendengar kabar bahwa Tanjung Luar dihuni oleh nelayan pemburu hiu yang kerap tidak mengindahkan peringatan aktivis lingkungan. Hiu-hiu tersebut ditangkap untuk memasok permintaan ekspor dari Hongkong dan Taiwan. Beruntung saya tak melihat hamparan bangkai hiu di balai lelang ikan Tanjung Luar tadi. Rasanya, saya tak akan tahan kalau harus melihat langsung aktivitas penjagalan hewan itu berlangsung di depan mata.

Saya mengalihkan pandangan, berusaha mengubah topik pembicaraan untuk menghindari kecanggungan. Sebuah area berwarna putih menghampar di tengah lautan. Di pinggirnya berdiri sang saka merah putih. Gagah sendirian jauh dari daratan. Dalam keadaan surut, area ini muncul di permukaan laksana pulau mandiri yang berdaulat. Gosong pasir seperti inilah yang kerap menimbulkan polemik tak berkesudahan tentang jumlah pulau yang dikoleksi nusantara. Saya berencana untuk menghampirinya saat senja tiba. 

.: Meloncat dari Satu Gili ke Gili Lain dengan Perahu di Kawasan Lombok Timur :.

Tak jauh dari gosong pasir yang diselimuti air garam berwarna hijau toska, Gili Maringkik, sebuah pulau mini terpadat di kawasan Tanjung Luar tersembul di depan mata. Deretan rumah penghuninya tampak berimpitan berbagi lahan. Dihuni sekitar 600-an kepala keluarga, gili ini sepertinya memenuhi kelengkapan sebuah desa maju yang dijamah peradaban. Ada sekolah dari PAUD hingga SMP. Drama anak-anak Maringkik dalam menempuh pendidikan akan dimulai saat menginjak SMU karena mereka harus angkat kaki dari pulau ini saban hari agar bisa bergumul dengan buku demi menuntut ilmu.

Lantunan ayat suci yang dikumandangkan dari corong masjid desa menyeruak bertalu-talu. Dari kejauhan, belasan tiang listrik mengambang di atas air, membentuk segaris tipis jejak jalan yang disembunyikan di bawahnya. Jalan pasang surut tersebut menjadi penghubung Maringkik dengan Gili Bembek, taman bermain bagi kambing-kambing warga desa Maringkik. Saat melintasinya, sekilas mata saya menangkap ada selengkung pantai berpasir merah jambu di sisi timur Gili Maringkik.

.: Jalan Desa yang Tenggelam Menuju Gili Maringkik :.

"Masyarakat sini menyebutnya pantai pink dua.", kata Husni, menjawab raut penuh tanya saya.

Sepertinya, pantai berpasir merah jambu bukan lagi eksklusivitas yang dimiliki oleh pantai di Pulau Komodo sana. Saya berasumsi, masih ada banyak lagi pantai-pantai tak bernama yang mengakuisisi warna merah jambu untuk aksesori pasir pantainya.

Perahu yang saya tumpangi merapat di Gili Sunut saat matahari tepat di atas kepala. Di akhir pereode kemarau seperti ini, alam Nusa Tenggara seakan dinaungi lebih dari satu matahari. Teriknya membakar kulit dan mengingatkan segenap manusia yang menyimpan secuil iman akan keganasan Padang Mahsyar. Saya bertanya-tanya dalam hati. Selain hamparan pasir putih, laut jernih, dan savana gersang, apa yang ditawarkan oleh pulau sepi dengan reruntuhan bangunan tua yang konon ditinggalkan oleh tentara Dai Nippon ini?

.: Reruntuhan Bangunan yang Masih Tersisa di Gili Sunut :.

"Dulunya Gili Sunut dihuni warga juga. Ada setidaknya 109 kepala keluarga. Tapi, karena akses ke sini jauh, mereka direlokasikan ke daratan pulau Lombok." Pak Sahwil Hadi, pemandu yang ikut dari Mataram menjelaskan saat merendengi langkah saya menyusuri pantainya yang bertabur bebatuan.

Lanskap pantainya mengingatkan saya pada Pulau Pahawang Kecil di Teluk Lampung. Selat kecil berair dangkal memisahkan Gili Sunut dengan daratan Pulau Lombok. Beberapa pengunjung yang memilih menembus kawasan ini melalui jalan darat harus rela menyeberang tanpa bantuan perahu. Saya kembali bertanya-tanya dalam hati. Untuk ukuran penduduk di kawasan terpencil yang terbiasa minim fasilitas dari negara, pasti ada alasan kuat mengapa mereka rela angkat kaki dari bumi tempat mereka bertahun-tahun merangkai sejarah hidupnya. Dalam suatu kesempatan, saya pernah mendengar cerita dari salah satu teman yang sudah lama tinggal di Lombok bahwa penduduk Gili Sunut memang sengaja direlokasi agar sebuah resort dengan leluasa dikerek demi menjunjung tinggi sebuah privasi. Saya segera angkat kaki dari pantainya yang sepi saat matahari agak condong ke barat, melanjutkan perjalanan menuju pantai bersemu merah jambu berikutnya yang tak jauh dari Gili Sunut.

.: Pantai Tangsi, Pantai Berpasir Merah Jambu di Timur Pulau Lombok :.

Pantai Tangsi namanya. Populer disebut pantai pink. Sebuah label yang menyebabkan eksistensi pantai serupa di Pulau Komodo sedikit demi sedikit mendapat saingan saat keberadaan pantai ini dibeberkan kepada khalayak. Suasananya masih sepi dan minim fasilitas. Sebuah oase yang seyogyanya dibiarkan sepi tanpa usikan konstruksi beton dan keriuhan manusia.

Beberapa ekor anjing berlarian di sepanjang pantai. Beberapa ekor yang lain, duduk bersemayam di bawah bale-bale, berlindung dari tikaman matahari yang membara siang itu. Jika diperhatikan dari dekat, hanya sebagian kecil saja pantai ini yang bernuansa merah jambu. Terpaan sinar matahari yang sudah condong ke barat mengatalisasinya menjadi hamparan yang merata. Gradasi warna hijau toska, biru bening, dan putih buih yang terbangun sempurna membuat siapa saja akan betah berlama-lama di pantai ini.

Sayang sekali, pantai seindah ini tak sempat saya renangi. Tiba-tiba saja, awan hitam bergelayut di langit selatan. Angin kencang berhembus dengan brutalnya dan hujan deras tak terhindarkan. Untuk sejenak, segala keindahan yang tersaji di depan mata mendadak lenyap, digantikan gelap yang menguarkan 'harum' tanah basah.  

.: Pantai yang Teduh di Teluk Semangkok :.

Begitu langit terang dan laut cukup teduh, kesempatan menyapa alam bawah laut Lombok Timur baru terlaksana saat perahu membuang sauh di tepi Teluk Semangkok. Cekungan dangkal berarus deras ini menyembunyikan terumbu karang, serta aneka flora dan fauna dasar samudra. Karang-karangnya begitu sehat. Tak perlu naik glass battomed boat (perahu yang dasarnya dipasangi kaca) untuk menikmati pemandangan dasar laut. Dengan tingkat visibilitas yang tinggi, segala yang tersaji di bawah laut dapat dinikmati dengan mata telanjang dari atas perahu.

"Ayo kita pindah spot lagi sebelum sore tiba. Jika berangkat sekarang, kita masih punya banyak waktu untuk berenang di Gili Petelu.", teriak Pak Sahwil Hadi, memanggil semua penumpang perahu untuk segera naik.

Sore beranjak turun dan senja memburu waktu. Matahari sudah cukup jinak dan hari masih terang. Gili Petelu menjadi peraduan. Fasadnya berupa gugusan tiga pulau karang mini yang dikungkung laut pirus. Ketiganya dipisahkan selat kecil yang akan membuat ketiga pulau bersatu saat laut surut. Perairannya yang dangkal membuatnya cocok untuk disambangi barang sejenak. Meski tak banyak biota laut yang dapat dijumpai di kedalaman lautnya, airnya yang jernih membuat saya betah untuk bermain air hingga bersantai sejenak di pinggir pantai. Yang harus diwaspadai, seekor monyet liar menjadi tuan tanah ketiga gili ini. Saya diperingatkan oleh Pak Sahwil Hadi agar tidak membuat kegaduhan atau malah menjamah tanah yang menjadi singgasananya. Saat senja akan tiba, perahu kembali mengangkat sauh, menuju peraduannya kembali di dermaga Tanjung Luar.      

.: Kongsi Gili. Gugusan Pulau Karang Gili Petelu :.

Jika harus merangkumnya, gugusan gili yang tersembunyi di kawasan Lombok Timur ini tak ubahnya situs suci bagi mereka-mereka yang mendambakan ketenangan dan perasaan menyatu dengan alam. Keberadaannya akan lebih baik jika dibiarkan apa adanya tanpa sentuhan tangan manusia. Perubahan infrastruktur dan kemudahan akses di sisi lain akan mengundang lebih banyak pengunjung untuk menjamahnya, dengan konsekuensi lebih cepat kehilangan aura keterasingan dan isolasi dari dunia luar. Diam-diam saya berdoa dalam hati. Dengan masifnya arus infomasi yang begitu kencang seperti saat ini, saya membayangkan masih bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi manusia pertama yang meninggalkan jejak di pulau sepi tak bertuan di kawasan gugusan gili ini suatu pagi, hingga bertahun-tahun yang akan datang. []    

32 komentar:

  1. Sayang banget aku melewatkan momen explore gili-gili cantik ini... Harus balik lagi someday :)

    BalasHapus
  2. Sayang banget aku melewatkan momen explore gili-gili cantik ini... Harus balik lagi someday :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus banget mbak. Memang idealnya tidak cukup satu hari saja untuk menyelami suatu kawasan yang luas seperti ini. Kalau ada kesempatan main ke sini lagi, pengen banget main ke Gili Maringkik dan renang di Pantai Tangsi. Kemarin pas ke sana hujan deras, jadi gak sempet main air. Mungkin ini pertanda tahun depan harus balik lagi ke sana hehehe ;) *kodebanget*

      Hapus
    2. Aamiin.... Moga taun depan kita bisa balik lagi :)

      Hapus
    3. Aamiin.... Moga taun depan kita bisa balik lagi :)

      Hapus
    4. Asyiiiik. Perlu diaminin yang kenceng nih ya :)

      Aamiin :)

      Hapus
  3. Balasan
    1. Waduh, yang mulia Pak Ketua rumahnya sebelah mana? Maaf, gak tau nih :'(

      Hapus
  4. Lombok emang keren...dulu nyebrang ke gili kecil itu aja pas ke pantai pink..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, harus diagendakan untuk balik lagi nih mz. Mumpung masih sepi. Semoga sih selalu sepi seperti ini. Lebih nyaman dan tenang. Alamnya juga lebih terjaga :)

      Hapus
  5. enak nih dibikin feature gini catatannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap suhu, lebih seneng seperti ini daripada nulis guidance information. Gak rajin nyatat juga sih soalnya hehehe :)

      Hapus
  6. Keren sekali nih Tanjung Luar. Gili-gilinya sungguh memesona...tapi sayang ya, masih saja ada orang yg menangkap hiu2 disitu. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih, sayang sekali. Padahal banyak aktivis pecinta binatang atau apalah itu yang mencoba memberikan informasi dan semacam pembinaan. Tapi dianggap angin lalu kayaknya. Ada permintaan yang tinggi sih soalnya. Apalagi kalau iming-imingnya menggiurkan. Jadi inget Lamalera. Hiks :'(

      Hapus
  7. Duh indahnya gili-gili itu. Langitnya yg bebas dari polusi bikin laut tampak kian sempurna. Cakep Mas Adie :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cakep banget emang uni. Bikin mupeng buat balik lagi. Hehehe :')

      Hapus
  8. Aku pengen banget ambil ikannya satu trus digoreng trus disambel trasi trus dimakan pake nasi punel yg hangat,,, nyam nyam nyam :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Suer ikannya seger banget. Murah pula. Mungkin enak banget kalau deket rumah dan bisa beli terus dimasak langsung gitu. :) *lap iler*

      Hapus
  9. Viewnya cakep beut kak Adie, viewnya loh bukan selfienya hahaha. Omong-omong foto yang tiang listrik di tengah laut itu serem banget, penduduk nggak takut tiangnya jatuh trus nyetrum?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak orang suka malu-malu memujiku. Aku sudah mahfum dengan hal seperti ini. Walaupun tersirat, pujian itu nyata kok tersuarakan. Terima kasih sebelumnya untuk menjadi pengagum setiaku :D :P

      Tiang listrik itu sebenarnya ada di pinggir jalan desa. Tapi saat air pasang, jalan desanya terendam air, jadi kesannya tiang listriknya ada di tengah laut. Menurut survey sih aman-aman aja. Buktinya gak ada berita aneh-aneh kan dari Lombok Timur terkait tiang listrik ini. Amit-amit lah ya. Mari berlibuuur ;)

      Hapus
  10. Hello,
    Mind sharing on how do we get to Tanjung Luar and ride boat around gilis? The view are just awesome

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Yongyong, you can rent a motorbike or a car (recomended) with a local guide. There's no public transportation you can take from airport to Tanjung Luar. Have fun :)

      Hapus
  11. Timur Lombok ngak kalah keren ya dgn barat lombok. Semoga infrastruktur Jalan Dan lainnya makin baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau nanti infrastrukturnya sudah memadai, mungkin Lombok Timur akan lebih 'bersinar' daripada Lombok Barat. It's only a matter of time :)

      Hapus
  12. Tes tes... 1 2 3.. *semoga komennya masuk* :D

    Perjalanan ke gili-gili ini menyenangkan. Tapi paling berkesan pas di Sumbawa ya. Mungkin karena lebih sepi. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha banget. Lebih sepi dan hanya kita aja yang ada di pulau-pulau itu selain penduduk lokal. Jadi rasanya kayak lebih ekslusif gitu hehehe :)

      *lalu lepas baju* #shirtless :P

      Hapus
  13. Aku jatuh hati banget sama Gili Petelu.. Walaupun cuma duduk ala duyung karena kepala muter terus.. tapi tempat itulah alasan aku akan balik ke Lombok suatu hari nanti.. AMIIIINN

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha aamiin deh buat dik Pevita. Semoga terkabul ya doa baiknya. Kalau aku pengennya ke gili-gili yang lain yang belum didatangai. Ada 200-an gili di Lombok dan baru berkunjung di sekitar selusinnya saja. Terlalu. Tahun depan insyaa Allah balik ke sana lagi ya :))

      Hapus
  14. dulu pernah diajak ke tangsi tapi..belom kesampaian :((
    ceritanya bagusss salam kenal yaaa :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, kenapa? Sayang banget lho buat dilewatkan. Mumpung masih sepi juga kan hehehe :)

      Okay, terima kasih sudah mampir. Salam kenal juga ;)

      Hapus
  15. Unik sekali tiang listrik yang kakinya tenggelam itu! :)

    Ngomong-ngomong, apakah ekspedisi gili ini sudah menjadi obat pelipur lara setelah tertunda mendaki Rinjani? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, tahun lalu kamu gak ke sini tho emangnya? Itu Gili Maringkik namanya.

      Yah, mau gimana lagi. Mungkin itu pertanda kalau tahun depan akan ikutan lagi jalan-jalan keliling Lombok dan Sumbawa sekalian mendaki Rinjani. Diaamiinin aja dulu hehehe :)

      Hapus