Kamis, 23 April 2015

Suatu Siang di Leang-Leang

.: Leang-Leang, Jejak Purba di Karst Maros, Sulawesi Selatan :.

Siang menguar bagai menghembuskan hawa neraka. Langit biru diselimuti awan tipis. Hujan baru saja mengguyur. Dari kejauhan, kawasan karst Maros-Pangkep tampak seperti gundukan bukit yang diselimuti rimbunan lumut. Setelah didekati, gundukan tadi menjelma menjadi gugusan menara-menara batu gamping yang menjulang menantang langit.

Terbentang seluas 43.750 hektare di antara dua kabupaten, Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan, pamor batuan karst ini bersaing ketat dengan popularitas karst serupa yang bercokol di Guilin, Cina Selatan. Yang membedakannya, karst Maros-Pangkep menyimpan gua-gua dengan lukisan artistik jaman purba yang hingga kini masih menjadi misteri. Tak kurang ada 268 gua bersembunyi dalam rimbunan menara-menara batu gamping yang ditutupi gerumbul tanaman hijau.

.: Leang Petta Kere :.
Leang Petta Kere menjadi tujuan utama saya siang itu. Leang (gua) ini terletak di kawasan objek wisata Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros. Menuju lokasi, saya dikejutkan dengan begitu banyaknya aneka bentuk batu berwarna hitam yang tersebar di bentangan sawah penduduk yang mengering. Batu-batu ini mengingatkan saya dengan batu dari planet Kripton, tempat manusia super berasal.

Ditemani Pak Rahman sebagai pemandu, saya menyusuri jalan setapak menuju Leang Petta Kere. Saya mendapati ada batu-batu hitam dalam jumlah yang lebih banyak lagi di sini. Ada banyak sekali hewan kaki seribu, merayap di batu-batu lembab yang habis diguyur hujan. Namun, alih-alih berwarna merah, kaki seribu di sini berwarna hitam. Sebuah sungai kecil dengan air gemericik membelah jalan setapak menuju mulut gua.

Untuk mencapainya, saya harus meniti beberapa anak tangga. Leang Petta Kere ini tidak dalam. Cukup dengan beberapa menit saja, saya sudah bisa menjelajah seluruh kawasan gua. Bagian dalamnya mengingatkan saya pada gua-gua yang ada di Cappadocia, Turki. Bentuk liangnya melengkung seperti jamur. Dinding bagian dalamnya sangat halus. Ada bagian yang ditutupi lumut hijau, ada juga yang bersih dari noda.

.: Lukisan Cap Telapak Tangan Manusia Purba :.
Di sebuah dinding, saya melihat ada banyak fosil kerang. Konon, tempat ini dulunya merupakan sebuah dasar lautan yang terangkat ke atas.

Yang membuat leang ini sungguh menarik adalah keberadaan lukisan purba yang menyelimuti beberapa dinding. Saya mendapati dua buah gambar babi rusa. Pak Rahman mengatakan kalau jumlah cap telapak tangan di Leang Petta Kere ada 27 buah. Saya tak sempat menghitungnya karena terlalu sibuk untuk mengaguminya. Selain itu, ada pula gambar mata panah dan alat serpih bilah, dua simbol yang menunjukkan aktivitas berburu dan meramu di masa silam.

Keberadaan 'harta karun' peninggalan sejarah purbakala ini pertama kali ditemukan tahun 1950. Dua arkeolog Belanda yaitu H.R. Van Heekeren dan C.H.M. Heeren Palm memperkirakan usia lukisan tersebut lebih dari 5.000 tahun. Jika diperhatikan dengan lebih teliti, ternyata lukisan cap tangan ini berbeda-beda. Ada yang berupa cap dengan lima jari penuh, ada juga yang terdiri dari tiga atau empat jari saja.

"Cap telapak tangan yang tidak utuh itu merupakan milik anggota suku yang telah mengikuti ritual potong jari sebagai tanda berduka atas kematian orang terdekatnya." kata Pak Rahman, berusaha memberi penjelasan atas ekspresi kebingungan saya. Pikiran saya langsung melesat ke adegan film Denias, Senandung di Atas Awan karya John de Rantau, di mana terdapat adegan potong jari yang dilakukan oleh suku Boneo di Papua.  

.: Lukisan Babi Hutan di Leang Petta Kere :.

Berdasarkan penelitian-penelitian mutakhir yang meliputi pengukuran kadar radioaktif uranium pada lukisan, hasilnya sungguh membuat kejutan. Ternyata, usia lukisan dan cap tangan tersebut melebihi usia yang diperkirakan pada banyak penelitian sebelumnya. Lukisan dan cap tangan ini usianya sekitar 35.000 tahun. Efeknya, ada banyak sekali hasil penelitian dan thesis yang harus direvisi ulang mengacu pada hasil penelitian terakhir tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ketertarikan akan seni ternyata bukan hanya dominasi kaum Neanderthal di Eropa, tetapi juga melanda manusia-manusia purba di kawasan Asia, khususnya Indonesia.

Jika ditilik dengan fenomena masa kini, kebiasaan mencap tangan ini masih berlangsung hingga sekarang. Tradisi orang Bugis yang serupa dengan tradisi sepuh seperti terlihat di dinding Leang Petta Kere disebut dengan mabbedda bola dan mappasilli. Tak ada informasi pasti kapan tradisi ini bermula. Yang jelas, hingga abad milenium ini, tradisi mabbedda bola atau mencap tangan pada tiang atau dinding rumah panggung masih dilakukan.

.: Menelisik Jejak Masa Lalu :.
Meski leang ini tak terlalu luas, memanjat 64 anak tangga dan beberapa dinding batu untuk melihat dari dekat lukisan-lukisan purba tersebut membuat saya sedikit lelah. Saya duduk-duduk sebentar di mulut gua sembari menghirup udara segar. Melihat matahari masih jumawa di luar sana, ada sedikit keengganan meninggalkan tempat ini.Tapi, mengingat waktu kunjungan saya yang singkat, saya mohon diri kepada Pak Rahman dan memberanikan diri menerjang terik.

Leang Petta Kere mungkin hanya renik kecil dari banyak sekali lukisan purba berharga lainnya yang tersebar di gua-gua dalam gugusan karst Maros-Pangkep. Menyaksikan sendiri sebuah fakta yang dulunya hanya saya baca dalam catatan sejarah, setidaknya menerbitkan keyakinan baru bahwa bisa jadi, tak lama lagi Indonesia akan menambah lagi daftar situs warisan dunia 
UNESCO setelah lebih dari 5 tahun lalu proposal pengajuannya dilayangkan. Saya pikir, waktu penasbihannya layak ditunggu-tunggu, bukan hanya bagi penikmat sejarah dan peneliti purbakala, tetapi juga segenap rakyat Indonesia. []

6 komentar:

  1. Wah, pas ke Bantimurung dulu lewat depan sini tapi nggak mampir. Ternyata begini toh isi dalamnya. Semoga besok-besok sempat mampir ke sana deh.

    Eh, Jadi pas dulu ada orang-orang purba yang bikin lukisan tangan itu, di sekeliling sini masih berupa lautan? Apa kerangnya itu hasil konsumsi manusia purba?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kalau ada kesempatan, mampir-mampirlah ke sini.

      Bukan. Menurut penelitian, melihat struktur batuan yang ada di kawasan ini, konon dulunya merupakan dasar lautan. Itu terjadi pada zaman, jauh sebelum manusia-manusia purba yang melukis dinding, mendiami wilayah sekitar Leang-Leang ini.

      Hapus
  2. Aku belom pernah ke Sulsel sini, pas liat leang-leang ini jadi pengen main kesini jadinya

    bagus banget artikelnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ada kesempatan main ke Sulawesi Selatan, selain ke Leang-Leang, mampirlah ke kampung Berua, Ramang-Ramang, dan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Alamnya keren sekali.

      Btw, terima kasih apresiasinya ;)

      Hapus
  3. Nyesel pas ke Sulsel kesini di skip karena kemaleman.. hiks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, sayang sekali. Kalau nanti ada kesempatan main ke Maros lagi mesti disempatkan mampir nih hehehe ;)

      Hapus