Sabtu, 03 Agustus 2013

[7Wonders] Menjarah Sarang Naga

.: Komodo: Sang Raja Naga :.
Dangerously beautiful. Saya tak tahu padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Tapi itulah kesan yang saya rasakan saat pertama kali berjumpa dengan binatang purba kebanggaan bangsa ini.

Dalam definisi kolektif pikiran saya saat masih kecil, komodo (Varanus komodoensis) tak ubahnya seperti naga yang diceritakan dalam dongeng: bentuk kepala menyerupai ular, lidar bercabang yang selalu terjulur, berkulit kasar disertai cakar, dan mempunyai hidung mirip celah dengan nafas api. Mungkin definisi terakhir lebih cocok disandingkan dengan naga-naga dari luar negeri sebagaimana konsep naga yang diusung dalam kisah Harry Potter, trilogi The Lord of The Rings, dan Eragon. Beranjak besar, konsep 'iman' saya terhadap naga berubah total sejak kenal komodo dari gambar di salah satu sisi uang logam rupiah senilai Rp. 50,- tahun emisi 1991 yang biasa menjadi bekal uang saku saat SD. Bagi saya, naga di dunia ini paling nyata, justru bersembunyi di dalam negeri sendiri. Sejak itulah saya bertekad jika suatu saat harus menginjakkan kaki di sarangnya untuk melihat langsung.

* * *

Jika banyak pejalan menganggap Labuan Bajo sebagai pintu gerbang menuju Taman Nasional Komodo, saya justru memilih melalui pintu belakang dengan menyelinap melalui Selat Sape. Perahu yang saya tumpangi merapat halus di dermaga Loh Liang, Pulau Komodo tepat saat matahari baru saja condong ke barat. Beruntung siang itu, hanya perahu kami yang berlabuh. Sejak dinominasikan sebagai salah satu dari 7 Keajaiban Dunia yang baru, Taman Nasional Komodo seakan menjadi pusat perhatian dunia sekaligus menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung.

.: Welcome to Komodo Island :.

Sebelum tracking melihat komodo, kita dikumpulkan di depan pos jagawana (disebutnya ranger komodo) dan diberi penjelasan serta aturan yang berlaku saat mengikuti tracking nanti. Meski saya seorang Indonesia, di pulau ini, komodo adalah tuan rumahnya. Saya dan pengunjung lain harus mematuhi setiap aturan di pulau ini. Dari penjelasan Pak Usman yang menjadi pemandu kami, ternyata, memakai baju merah saat tracking tidak dilarang, buktinya teman saya ada yang pakai baju merah juga tidak ditegur oleh rangernya. Tapi, daripada parno waktu tracking, lebih baik dihindari saja. Lalu, saya juga bertanya (saking penasarannya) apakah wanita yang sedang haid itu dilarang dekat-dekat dengan komodo mengingat binatang tersebut sangat peka dengan bau darah. Dan, ternyata eh ternyata, tidak masalah juga kalau wanita haid berkunjung ke sini selama dia sudah pakai pembalut dan berdiri tidak jauh-jauh dari ranger.

Pak Usman dengan sabar juga mengingatkan bahwa tidak ada jaminan bisa 'menemukan' komodo dalam trip ini. Walaupun kami mengambil tracking dengan jalur medium track, bisa jadi komodonya sedang berada jauh di dalam hutan. Jam dua siang saat matahari masih riang gembira tersenyum, kami digiring ke dalam hutan untuk 'berburu' komodo. Ternyata tak hanya komodo saja yang tinggal di pulau ini. Bolak-balik kami bertemu dengan serombongan kijang, kerbau liar, burung-burung, dan kupu-kupu sebelum bertemu dengan komodo. Namun, setelah berjalan agak masuk ke dalam hutan (dan inilah saat yang ditunggu-tunggu) di hadapan kami terdapat seokor komodo yang lagi berjemur di areal yang agak lapang.

.: Bukan Hanya Mitos, Naga Hanya Nyata di Indonesia :.

Tapi komodo yang ini kelihatan sudah tua, makanya malas-malasan. Badannya menggelambir ke kiri kanan dan santai tidur-tiduran meski dikelilingi dengan orang-orang yang penasaran dengannya. Kalau diperhatikan, penampakan komodo itu mirip dengan biawak. Tapi menurut saya, kepala komodo itu lebih tampak sebagai kombinasi antara kepala ular dan ikan lele, persis dengan muka Saphira, naganya Eragon. Cakarnya tajam dan runcing, dengan kulit bersisik tebal dan keras, serta lidah yang bikin ngeri karena menjulur-julur secara periodik. Lidahnya bercabang seperti lidah ular. Idealnya, komodo mempunyai panjang mencapai 3 meter dengan berat badan 90 kilogram.

.: Foto Bareng Si Komo :P :.
Sebenarnya, sama seperti hewan lain, komodo tidak akan menggigit kalau tidak diganggu. Jadi, kami tidak boleh terlalu berisik saat berada di dekat komodo. Dan (fakta yang saya baru tahu), taring komodo itu tidak beracun. Tapi, karena air liur komodo itu penuh dengan kuman yang beracun, maka digigit komodo bisa menyebabkan kematian. Mendengar penjelasan tersebut sambil melihat liur yang menetes-netes dari mulutnya, saya merasa ngeri kalau ingat Steve Irvin, pembawa acara Animal Planet yang mati gara-gara digigit buaya. Tapi dasar saya sudah narsis dari sononya, tidak puas kalau sudah datang jauh-jauh mengarungi lautan tanpa foto bareng dengan komodonya. Alhasil, saya pun pasang gaya untuk dijepret bersama Sang Raja Naga ini. Mulanya difoto agak jauh dari komodo. Kemudian mendekat dan semakin mendekat hingga komodonya mulai bergerak-gerak sampai bule-bule dalam rombongan saya mulai panik dan mengingatkan saya untuk segera menjauh. Hehehe. Pis.

Setelah puas berpose dengan komodo (tua dan gendut) ini dengan berbagai macam gaya, perjalanan ini dilanjutkan lagi masuk semakin jauh ke dalam hutan. Tapi, sebelum pergi, tiba-tiba Pak Usman bilang, "Permisi Tuan" ke komodonya. Saya kaget sekali sekaligus penasaran. Mengapa Pak Usman seperti 'pamit' kepada komodo ini? Jangan-jangan komodo ini jelmaan ketua adat di sini? Jangan-jangan komodo ini 'bangsawan' yang membuatnya menjadi diistimewakan? Saya jadi merasa bersalah telah berpose-pose (gak jelas) di sampingnya tadi.

Pak Usman pun menjelaskan kalau penduduk Pulau Komodo itu percaya bahwa komodo merupakan jelmaan dari Ora, saudara perempuan dari Gerong yang mempunyai wujud manusia. Ora dan Gerong adalah anak dari pasangan Putri Naga Komodo dan Majo. Mendengar penjelasan itu, saya jadi teringat film Ratu Buaya Putih yang dibintangi Alm. Suzanna. Dan karena dianggap leluhur itulah, penduduk Pulau Komodo memperlakukan 'sang naga' dan habitatnya dengan baik. Saya pikir, kearifan-kearifan lokal seperti inilah yang harus dipelihara demi kelestarian dan kelangsungan hidup alam semesta.

Tracking selanjutnya agak terasa membosankan. Kami berjalan jauh ke dalam hutan, lewat semak-semak, naik ke atas bukit, cuma bertemu dengan satu komodo kecil yang sedang tidur siang. Ternyata jam tidur siang komodo dan manusia itu sama. Hehehe. Tapi, kebosanan itu mendadak sirna begitu perjalanan ini sampai di Puncak Bukit Belerang (Sulphurea Hill Top). Lerengnya memang agak terjal dan ada bekas-bekas seperti belerang berserakan. Berada di sini, mata kami dimanjakan dengan pemandangan yang luar biasa. Sejauh mata memandang, yang ada hanyalah hutan-hutan dengan bukit yang menghijau serta pemandangan Teluk Loh Liang yang terhampar luas. Kami semua beristirahat sejenak di puncak bukit ini untuk melepas lelah. Rasanya damai sekali memandang kombinasi hutan hijau yang lebat dengan teluk indah yang unik.

.: Taman Nasional Komodo dilihat dari Bukit Sulphur :.

Selama tracking ini kami hanya bertemu dengan 2 ekor komodo saja. Padahal, dari brosur yang dibagikan di awal tracking tadi disebutkan kalau jumlah komodo kurang lebih ada 2.500 ekor. Ternyata, jumlah tersebut merupakan jumlah populasi komodo yang ada di seluruh kawasan Taman Nasional Komodo yang luasnya 173.700 ha  meliputi Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar, Gili Motang, dan beberapa pulau-pulau kecil yang ada di Selat Sape ini. Mengingat penjelasan Pak Usman tadi, bisa dibilang kami cukup beruntung bisa bertemu dengan komodo di awal-awal tracking. Soalnya, banyak orang sudah datang jauh-jauh ke Pulau Komodo, ikut tracking (yang long track pula) tapi baru bertemu komodo di akhir tracking. Malah kadang tidak bertemu komodo sama sekali. Walah, kasihan bener. Pak Usman juga bilang kalau ingin melihat komodo lebih banyak, kami disuruh datang ke Pulau Rinca karena di situ populasi komodonya lebih banyak.

* * *

.: Deretan Rangka Mangsa Sang Raja :.
Mengobati rasa penasaran kami untuk melihat kawanan komodo dalam populasi yang lebih banyak, pagi berikutnya kami bertolak ke Pulau Rinca setelah sebelumnya menginap semalam di Pulau Kalong yang dihuni ribuan kelelawar.

Alam sepertinya sedang tersenyum pada kami. Tidak seperti hari sebelumnya yang cenderung mendung, pagi ini langit biru cerah. Setelah istirahat cukup, saya bersemangat untuk ikut tracking dengan kategori long track.

Merapat di dermaga Loh Buaya, Pulau Rinca, omongan Pak Usman terbukti benar. Seekor komodo yang tadinya asyik duduk-duduk di dermaga menyambut kami, mendadak lari mengetahui ada rombongan turis yang penasaran dengan mereka. Berbeda dengan di Pulau Komodo, pusat informasi Balai Taman Nasional Komodo di Pulau Rinca terletak agak jauh dari dermaga. Di sini rumah-rumah jagawananya lebih banyak mengingat populasi komodo yang mendiaminya juga lebih banyak. Di samping bangunan pusat informasi, kami disuguhi pajangan kerangka mangsa komodo. Di antaranya adalah tengkorak kerbau liar, rusa, babi hutan, dan monyet.

Tata tertib ikut tracking disampaikan secara singkat mengingat hari sebelumnya sudah dijelaskan saat di Pulau Komodo. Sebelum dibawa tracking masuk ke dalam hutan, ada setidaknya 7 ekor komodo sedang melantai di bawah kolong rumah jagawana. Abdul Kadir, yang menjadi pemandu kami hari itu, memberi tahu bahwa rumah jagawana yang dikerubungi komodo itu adalah dapur umum. Ah, wajar sekali jika  komodo-komodo ini seperti sedang menunggu bagian karena mencium bau darah ayam.

.: Kerbau Liar di Antara Semak dan Pohon Palem :.
Matahari mulai bergerak naik saat kami mulai masuk ke dalam hutan. Abdul Kadir memberi komando agar kita berjalan rapi seperti anak TK ikut baris dan meminta berhenti di tengah-tengah hutan. Kita tak tahu apa yang akan ditunjukkannya.

"Selain pandai berenang, komodo juga jago memanjat. Biasanya dilakukan oleh komodo-komodo yang masih muda. Makanya nanti tengok-tengoklah kalau berjalan di bawah ranting pohon", katanya, memberi informasi.

"Komodo betina akan membuat lubang untuk menimbun telur-telurnya. Itu lihat, ada banyak lubang-lubang seperti cekungan yang ditimbun awut-awutan. Telur tersebut disembunyikan di salah satu lubang itu. Lubang lainnya hanya digunakan untuk pengecoh", katanya menambahkan.

Komodo memang menyimpan dan mengerami telurnya di lubang tanah, mengorek tebing bukit, atau di gundukan sarang burung gosong berkaki jingga yang telah ditinggalkan. Satu lubang itu biasanya diisi dengan 20-25 butir telur. Kok saya jadi teringat dengan penyu. Apakah komodo dan penyu punya keidentikan? Who knows.

Kami melanjutkan perjalanan menuju ke tengah pulau. Vegetasi Pulau Rinca saat itu sepertinya menawarkan sesuatu yang lebih baik daripada Pulau Komodo. Di beberapa bagian, semak-samak tampak menghijau rimbun. Di bagian lainnya, padang savana menghampar layaknya deretan 'bukit Teletubbies'. Pohon-pohon lontar tak kuasa menaungi setiap jengkal kerajaan komodo ini sehingga sejauh mata memandang, mata seakan lapar untuk menikmati dan mengabadikannya dalam bidikan lensa.

Namun demikian, sebagai tamu, kita harus tetap waspada. Meski komodo sebagai raja, ada banyak penghuni lain pulau ini yang tak bosan-bosannya memberi kejutan, hingga terkadang sangat mengagetkan.

.: Tracking di Savana Pulau Rinca :.

Ada seokor babi hutan tiba-tiba menampakkan diri di sungai yang kering. Seekor ular juga seperti malu-malu menyapa rombongan kami hingga akhirnya menggeleser pergi. Yang paling horor adalah keberadaan kerbau liar yang tiba-tiba saja muncul dari dalam semak. Perawakannya besar seperti bongkahan batu berlumpur. Kontras dengan semak yang hijau dan langit yang biru cerah. Dua tanduk yang mencuat di kepalanyalah yang membedakannya dengan bongkahan batu gunung. Membuat kami semua teriak kegirangan sekaligus ketakutan melihat 'monster' lain yang lebih ngeri daripada naga.

Hawa panas di padang gersang sepertinya sukses membakar kami siang itu. Tak satu komodopun kami temui lagi setelah mendapat kejutan ci luk ba dari seekor kerbau liar tadi. Melihat air laut dengan gradasi warna hijau biru dari atas ketinggian bukit seperti mencambuk kami untuk segera angkat kaki dari pulau ini dan membenamkan diri di dalam air asin. Dengan langkah lesu karena lapar, kita melangkah gontai kembali ke perahu. Untunglah, kejutan baru sudah menghadang di depan kami. Para juru masak kami sudah siap sedia menyambut kedatangan dengan aneka makanan penghibur perut. Tuhan memang sedang bermurah hati memberi banyak kejutan hari itu.

* * *

.: Pink Beach: Selaksa Pantai dan Batu Berwarna Merah :.
Taman Nasional Komodo menjanjikan sejuta pesona. Tidak main-main jika akhirnya dinobatkan sebagai salah satu keajaiban dunia yang baru. Saya pun sepakat dengan hal itu. Setelah dibuat terpukau dengan bentang alamnya yang menawan, saya dibuat takjub untuk tidak menyangkal kebesaran Ilahi saat mengintip bawah lautnya.

Terletak di kawasan segitiga terumbu karang dunia, alam bawah laut Taman Nasional Komodo merupakan salah satu kawasan laut terkaya kehidupan hayatinya di seluruh penjuru bumi. Bagai peti harta karun, kawasan ini menyimpan lebih dari 1.000 spesies ikan, 385 spesies koral, 70 spesies karang, 10 spesies lumba-lumba lucu, 6 spesies paus, dan juga merupakan rumah bagi penyu raksasa, dugong, bermacam-macam jenis hiu dan ikan manta.

Mungkin karena kecapekan atau arusnya yang lumayan deras, saya sampai terseret arus saat snorkeling di Pantai Merah (Pink Beach) hingga membuat nafas saya tersengal dan kaki kram. Menghindari kejadian yang tak diinginkan, akhirnya saya merelakan diri untuk tidak melanjutkan sapaan saya pada ikan warna-warni seperti ikan Nemo yang lucu-lucu tersebut di dasar air.

.: Bentang Alam Taman Nasional Komodo :.

Saya sangat terharu saat teman-teman rombongan di dalam perahu memaksa saya ikut menceburkan diri di laut saat perahu kami merapat di Pulau Kelor: pulau terakhir dalam rangkaian jelajah sekaligus tempat terakhir kami bisa bercengkerama sebelum keesokan harinya kembali ke habitat masing-masing.  Terbatasnya waktu yang saya miliki untuk bertamu di sini membuat saya melewatkan kesempatan untuk mampir ke kampung Komodo dan bertemu dengan penduduknya. Sungguh kesempatan yang sangat terlewatkan dan membuat saya seperti menjarah harta mereka tanpa izin. Tapi setidaknya, berenang dan menikmati pantai di Pulau Kelor seakan menjadi penutup yang manis sekaligus menghadiahi pikiran saya dengan pemahaman bahwa Indonesia ini luas sekali. Sungguh sayang untuk tidak dijelajahi setiap jengkalnya. []

4 komentar:

  1. Pesona Pulau Komodo emang bikin kangan..moga bisa balik ke sini lagi.. :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe banget, udah kangen panas-panasan di Pulau Rinca dan nyebur basah-basahan di Pink Beach nih, semoga bisa ikutan :)

      Hapus
  2. Ahhhhh ..... Jadi mau lagi kesana, capek2 trekking muterin bukit nya nyari komodo dan ternyata komodo nya bertengger di bawah dapur itu menyebalkan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe iya, sama tuh. Pas di Pulau Komodo tuh kayak gitu. Udah capek2 trekking eh komodonya lagi leyeh-leyeh di bawah dapur :D

      Hapus