Selasa, 05 April 2011

Sailing Trip, Alon-Alon Waton Kelakon*

jalan bareng temen SMP
Saat SMP, saya pernah diajak studi banding oleh guru saya ke Pangkalan TNI Angkatan Laut di Tanjung Perak, Surabaya. Saya berkesempatan blusak-blusuk kapal perang milik TNI AL yang bernama KRI Rencong. Kapalnya kecil dan sudah tua. Entah karena kurang anggaran, kapal-kapal seperti inilah yang banyak dimiliki oleh angkatan laut kita.

Setelah acara di kapal selesai, saya melipir sendiri dari rombongan saat moving ke Museum Jalesveva Jayamahe. Gara-garanya, saya terpesona dengan KRI Dewaruci yang lagi parkir dengan gagahnya di sebelah museum. Saya pertama kali tahu nama KRI Dewaruci dari acara tivi (baca: TVRI) di acara iklan cinta tanah air sebagai jeda antara acara yang satu dengan acara berikutnya. Dan saat studi banding inilah saya pertama kali melihat KRI Dewaruci dengan mata kepala sendiri ada di depan mata. Rasanya pengen naik dan keliling Indonesia naik kapal tersebut. Sejak saat itulah saya bermimpi bisa mengarungi lautan luas naik kapal. Atau paling tidak ya naik perahu lah.

Acara jalan-jalan saya mengarungi lautan paling-paling hanya ke Pulau Madura doang gara-gara ikut ayah mengantar murid-muridnya liburan sekolah. Itupun naik kapal ferry yang gak tahu rasanya ada ombak tiba-tiba sudah nyampai saja di Pulau Madura. Setelah lulus SMA, saya bersama beberapa teman mencoba ikut sailing trip di Teluk Perigi, Kabupaten Trenggalek. Karena murah meriah, ternyata sailing tripnya berupa naik perahu nelayan keliling-keliling teluk lalu balik lagi ke pantai. Yaelah. 

Setelah lulus kuliah, mulai berani agak jauh naik perahunya yaitu ke Kepulauan Seribu. Berangkat habis subuh dari Muara Angke naik perahu sekitar 3 jam menuju ke Pulau Tidung. Yah, lumayan ngerasa ada ombak dan angin laut. Bonusnya, bisa ketemu dengan lumba-lumba dan ikan cucut di alam bebas.

karena nenek moyang (juga) orang pelaut
Saat sudah kerja (dan punya duit sendiri tentunya) barulah agak 'menggila'. Awalnya karena ditawari oleh seorang teman untuk trip ke Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. Saya pikir ke sananya akan naik pesawat ke Labuan Bajo dulu via Denpasar atau Mataram. Ternyata ke sana naik perahu. Sailing trip selama 4 hari mengarungi lautan dengan rute yang sangat panjang yaitu Senggigi-Mataram-Labuan Lombok-Gili Bola-Pulau Moyo-Pulau Satonda-Gili Laba-Pink Beach-Pulau Komodo-Pulau Kalong-Pulau Rinca-Pulau Kelor dan berakhir di Labuan Bajo. Habis itu pulangnya naik 'campur-campur' yaitu naik kapal ferry dari Labuan Bajo ke Sape, naik metromini dari Sape ke Bima via Raba, baru disambung naik bus ke Mataram lewat Dompu-Sumbawa Barat- dan Tano. Dari Tano naik kapal ferry lagi ke Mataram via Labuan Lombok. Wuih. Pikiran saya sudah gempor duluan.

Saya berpikir keras antara pengen ikut tapi takut gak kuat mengingat medannya yang cukup jauh dan penuh tantangan. Karena saya pikir kali ini ada temannya, maka saya iyakan saja. Kapan lagi coba bisa merasakan pengalaman sailing trip seperti yang saya impikan kalau tidak dimulai-mulai. Betul kan?

diajari 'nyupir' perahu
Dari perjalanan tersebut saya jadi tahu bahwa yang paling suka model trip seperti ini adalah orang bule. Buktinya yang ikut kebanyakan bule-bule tuh. Jarang banget ada orang Indonesia yang ikutan. Saya juga jadi tahu ternyata mengemudikan perahu itu susah dan beratnya minta ampun. Saya salut dengan Pak Seba, nahkoda yang ngajari saya mengemudikan perahu, bisa tahu arah sekalipun malam hari dengan hanya bermodalkan kompas butut.

Selama seminggu saya dibuat terkagum dan melongo melihat alam Nusa Tenggara yang gersang dan indah.
gersang nan cantik
Di kiri kanan berjajar pulau-pulau baik yang berpenghuni maupun pulau-pulau kosong, ada pepohonannya atau hanya semak belukar, bergunung-gunung, berbukit, dan air laut dengan warna yang bermacam-macam: hijau, hijau toska, biru, biru muda, dan putih jernih, atau campuran dari warna-warna tersebut menyesuaikan kedalaman perairannya.

Pasir pantai pun bermacam-macam dari yang putih kasar, putih halus kayak bedak bayi, cokelat, abu-abu, sampai yang merah muda ada semua. Belum lagi keberadaan tanaman dan hewan yang hidup liar di alam bebas. Baru kali ini saya melihat ikan terbang berlompatan di kanan kiri perahu dengan cantiknya dalam jumlah besar. Ada juga ikan hias yang biasa ada di akuarium rumah-rumah mewah itu banyak berseliweran di bawah perahu. Wah, kalau dipikir-pikir, gak salah kalau Indonesia disebut negeri cantik Zamrud Khatulistiwa. Saat sailing trip ini berakhir, saya baru benar-benar sadar bahwa ternyata Indonesia itu luas sekali.

Setelah berhasil menaklukkan Lautan Flores, suatu saat saya ingin ikut Sail Banda kalau ada waktu dan uang tentunya. Yah, pelan-pelan asal kesampaian, gak ada salahnya kan punya cita-cita.

PS: Thanks untuk Devara Auriga yang masih menyimpan foto studi banding waktu SMP ;=)

*) Pelan-pelan asal kesampaian.

4 komentar:

  1. hai Ignotus, sekarang aku tau gimana berdamai dengan blogpost haha.. numpang ijin follow yah :)
    hore, dibilang senior travelblogger
    mau dong nyuri ilmunya ...

    cheers - isna

    BalasHapus