.: Kompleks Candi Arjuna di Dataran Tinggi Dieng :. |
Jauh sebelum jajaran pegunungannya dipahat menjadi teras-teras kebun sayur, Dieng merupakan tlatah yang steril dari hingar-bingar dunia luar. Hanya sedikit orang yang sanggup menembusnya. Jauh sebelum ceruknya yang digenangi telaga berwarna dan kawah yang menggelegak ini masuk dalam jajaran komersialisasi pariwisata, gunung-gunungnya anggun memagari, menyembunyikannya diam-diam sebagai wahana selektif untuk mereka yang ingin menepi dan merayakan keheningan. Jalur untuk mencapainya dikawal ketat oleh jurang-jurang yang dalam dan dibendung dengan rimbun pepohonan lebat.
Dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa, Dieng seakan menghipnotis siapa saja untuk bertandang. Sekelompok candi-candi mungil seperti bersekongkol menjadi bukti autentik bahwa berabad-abad lalu, tempat ini merupakan tempat suci yang secara ajeg disucikan oleh mereka-mereka yang menghamba pada Sang Hyang. Mereka rela menempuh perjalanan jauh dan melelahkan hanya untuk sejenak melaksanakan sebentuk iman melalui ritual pemujaan. Berabad-abad kemudian, perjalanan serupa diduplikasi oleh banyak orang dengan beragam niatan. Entah untuk meretas perjalanan suci atau sekadar menyalurkan hasrat kekaguman akan 'kemegahan' masa silam.
.: Reruntuhan Candi Dieng :. |
Tujuan utamanya hanya satu: menyambangi kompleks Candi Arjuna. Setelah sarapan, saya berangkat ke kompleks candi ditemani oleh kabut tipis yang syahdu. Udara dingin sepertinya tak pernah hengkang meski sinar matahari lambat-laun menggeret siang. Di waktu-waktu tertentu, konon tempat ini sering dihantui turunnya mbun upas, kabut dingin yang membeku menjadi butiran es. Embun racun tersebut menjadi mimpi buruk bagi penduduk karena sanggup membuat tamat riwayat cerita panen raya yang telah dijanjikan oleh kebun-kebun sayur di awal musim tanam.
Di belakang pintu gerbang, saya disuguhi dengan reruntuhan candi yang sedang direkonstruksi. Bagi saya, candi-candi di kompleks Candi Arjuna terkesan misterius dan berusaha menutup diri. Pasalnya, pemandu yang mengantarkan saya hanya menjelaskan perkiraan-perkiraan dan informasi penuh asumsi. Saya sadar bahwa dalam menikmati sejarah, pendekatan, asumsi, dan dugaan akan akrab di telinga. Hanya saja, untuk candi-candi di kompleks ini, informasinya begitu kabur, seakan berusaha ditutup-tutupi oleh kabut yang kerap datang mendadak.
.: Candi Arjuna :. |
Candi Arjuna sebagai candi yang masih utuh tampak gagah berhadapan dengan Candi Semar. Di samping kirinya, sederet dengan Candi Arjuna berdiri Candi Puntadewa, Candi Srikandi, dan Candi Sembadra. Kecuali Candi Semar, semua candi menghadap ke barat.
Saya bertanya-tanya dalam hati. Sebagaimana pura yang ada di Bali mengarah pada Gunung Agung dan pura di Lombok menghadap Gunung Rinjani, saya mencari-cari gunung mana yang dijadikan acuan untuk candi-candi ini. Sebelumnya saya berasumsi gunung-gunung di Dieng. Tapi setelah melihat kembali peta, saya berasumsi bahwa candi-candi ini mengarah ke Gunung Slamet. Informasi ini hanya merupakan asumsi saya pribadi karena, sekali lagi, pemandu saya sepertinya buru-buru menghindar dan berjalan agak cepat agar tak mendapat pertanyaan yang tak biasa disampaikan oleh turis-turis yang dia pandu sebelumnya.
.: Candi Puntadewa :. |
Saya kembali bertanya-tanya dalam hati, entah apa istimewanya candi ini bagi masyarakat Dieng sehingga 'dipilih' sebagai candi yang digunakan saat upacara potong remo, ritual untuk memotong rambut gimbal pada anak-anak di Dieng. Maksud saya, mengapa bukan Candi Arjuna, yang memiliki fisik candi jauh lebih 'sempurna' dan cocok untuk ditampilkan dalam perhelatan yang sudah dijadikan agenda rutin wisata pemerintah. Sampai saat ini, saya masih belum mendapatkan jawaban pastinya. Jawaban yang hadir hanyalah kesimpulan permisif dari pemandu yang mengatakan bahwa para penduduk hanya mengikuti titah dari juru kunci dan tetua desa yang memimpin prosesi potong remo yang memilih pusat prosesinya dilaksanakan di Candi Puntodewo. Itu saja.
Saya kembali melangkah ke candi-candi lain sembari menghirup dalam-dalam udara segar pegunungan yang membawa serta hawa dingin. Di antara para pejalan yang sedang mengepung kompleks candi mungil ini, tiba-tiba saja datang serombongan anak-anak Dieng yang baru pulang dari sekolah. Mereka hendak bermain bola di lapangan seberang kebun kol.
Saya terpana sejenak. Mata saya jelalatan mencari-cari apakah di antara sekumpulan anak-anak Dieng ini ada yang berambut gimbal. Ternyata hasilnya nihil. Semua anak berambut lurus atau berombok. Namun, tak satupun berambut gimbal.
.: Bermain-main di Candi Bersama Anak-Anak Dieng :. |
Setelah berfoto sejanak dan mengucapkan salam kepada anak-anak ini, saya menuju Candi Gatotkaca dan Candi Bima yang letaknya agak terpisah dari kompleks Candi Arjuna. Senang rasanya mendapati mereka masih bermain di luar rumah di antara kebun-kebun sayur dan pemandangan yang menyejukkan mata. Dan yang lebih penting, tak satupun dari mereka yang kelihatan seperti sibuk dan tergantung dengan 'mainan' mutakhir semacam tab atau ipad. Setidaknya, mungkin untuk saat ini belum. Kadang-kadang, saya berpikir bahwa jauh dari hingar bingar kota dan lesatan modernitas merupakan berkah tersendiri bagi sebagian orang.
Tak banyak informasi berarti yang saya dapatkan di kedua candi tersebut selain mendapati bahwa banyak pengunjung yang kurang empati terhadap benda cagar budaya dengan menaiki badan candi tanpa memedulikan bahwa hal tersebut berpotensi membuat badan dan konstruksi candi yang sudah rapuh menjadi semakin gempil.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke lokasi lain di seputaran dataran tinggi Dieng, saya memerhatikan kompleks Candi Arjuna dari kejauhan. Ukurannya yang mini, candi-candi ini kelihatan seperti berusaha keras bersaing dengan banyak bangunan yang melingkupinya. Saya kembali dikejutkan dengan sesuatu.
.: Kompleks Candi Arjuna dalam Kepungan Perumahan Warga :. |
Hal ini seperti mengonfirmasi penjelasan dari pemandu saya bahwa kompleks Candi Arjuna ditemukan terendam di tengah telaga oleh seorang tentara Inggris selang kurang lebih satu dekade sebelum perang Diponegoro berkecamuk. Upaya 'pengangkatannya' dari dasar telaga dilakukan pemerintah kolonial di bawah titah Van Kinsbergen sejak 1856.
Saya meninggalkan kompleks Candi Arjuna dengan penuh pertanyaan di kepala. Saya pikir, sebagaimana candi-candi lain di Jawa, begitu candi-candi ini boleh dikunjungi oleh masyarakat pasca rekonstruksi oleh ahli purbakala kolonial, 'ruh' yang memancar dari konstruksi bangunan candi seolah meredup setelah adanya pelesapan beberapa atribut yang dahulu melekat pada candi.
Beberapa patung tak terdeteksi keberadaannya. Benda-benda perhiasan banyak yang tak terlacak. Artefak-artefak sering hanya tersisa pecahannya saja. Yang tersisa hanyalah tumpukan batu dalam sebuah konstruksi candi yang kita kenal sekarang. Dan, mungkin, sejak saat itulah sebenarnya, informasi serta misteri yang menunggu untuk diungkap seakan-akan mati suri dan menutup diri, menunggu diungkap lagi saat semua elemen yang membentuknya dikembalikan dan menyatu sebagaimana bentuk utuh candi seperti ketika selesai dibangun. Dulu sekali. []
sepertinya saya pernah lihat foto eskavasi candi di Dieng pada era kolonial di KITLV.
BalasHapusOh ya? Aku tidak langganan TV kabel Chan, jadi gak tahu. Maaf hehehe. Kalau catatan ini ada yang kurang tepat, mohon dikoreksi lho ya :)
HapusSetiap kali ke candi ini pasti uda sore dan awan sudah mendung :( jadi foto2 pun suram haha
BalasHapusLho, masa? Hahaha ini kebetulan ke sini dulu pagi-pagi, niatannya biar dapet foto candi pas lagi sepi. Eh ternyata udah ruame banget pas sampai sini :')
HapusKemungkinan benda2 berharga candi hilang lenyap saat rekonstruksi ya. Mungkin sebagian dr mereka bisa kita lihat di Museum dan perpustakaan Leiden :(
BalasHapusHiks, bener sekali. Sebagian ada di situ. Tapi, ada temen yang bilang, daripada dibawa balik ke Indonesia, mending biar tetap aman di situ. Soalnya kalau dibawa balik ke sini takutnya malah lenyap gak berjejak hehehe. Serba salah kan jadinya :'(
HapusBanyak banget Candi di Dieng ya Mas Adi ?
BalasHapusPemandangan dieng memang superb banget. tapi sayang pola tanam sayur di dieng kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah. teraseringnya banyak yang salah..hehe
Oh begitu ya? Aku malah gak ngerti tentang begituan. Kalau benar konservasinya kurang tepat harusnya ada pihak berwenang yang memberikan penyuluhan kepada masyarakatnya :)
HapusDieng sebenarnya nggak terlalu jauh dari tempat tinggalku. Tapi aku malah belum pernah ke sana.... Padahal kayaknya unik dan menarik banget, ya....
BalasHapusLho, kamu emang tinggal di mana? Kok bisa malah belum kesampaian ke sini. Tempatnya indah dan menenangkan lho. Menurutku sih hehehe :)
Hapuswuihhh tumben dapat cerah langitnya...
BalasHapusAlhamdulillah ini, rejeki anak sholeh kali hehehe :)
Hapus