.: Seekor Orangutan di Taman Nasional Tanjung Puting :. |
Pagi yang hening mendadak pecah oleh suara gaduh yang memekakkan telinga. Suara itu bukan berasal dari deru mesin kelotok (perahu kecil dengan mesin diesel). Sekawanan bekantan (Nasalis larvatus) baru bangun dari tidurnya. Sang pejantan, yang berhidung paling mancung dan berekor paling panjang, seperti dirigen yang memberi komando bagi kelompok paduan suaranya untuk secara lantang bersuara keras meski jauh dari merdu. Suara serak bersahutan tersebut seakan menjadi alarm pembuka hari di Taman Nasional Tanjung Puting pagi itu.
Saya sengaja bangun pagi hanya agar tidak melewatkan kisah bersambung pertunjukan kawanan bekantan yang bergelantungan di atas dahan-dahan pohon kemarin sore. Setelah para bekantan tersebut pergi secara bergantian masuk kembali ke tengah hutan, giliran sekawanan monyet-monyet lucu memecah keheningan. Dengan anggota komunitas tak sebanyak kawanan bekantan, monyet-monyet tersebut seakan mengendap-endap untuk menggantikan singgasana para bekantan yang 'menguasai' area tersebut sejak kemarin sore. Mereka bersahutan, tampak meriah sekali, menyahuti gurauan sesama komunitasnya maupun menanggapi secara random para wisatawan yang dengan jahil menggoda gurauannya.
.: Wisatawan sedang trekking menuju tempat Feeding Orangutan :. |
"Jangan kaget kalau melihat langsung hutan di Kalimantan. Hutan di sini lebatnya sudah tidak merata. Orangutan hidupnya di tengah hutan. Tapi di balik rimbunan hutan ini sudah ditanami sawit semua." kata Pak Adi, menjawab ekspresi bertanya-tanya yang terpancar dari muka saya.
Jauh sebelum punya kesempatan bertandang ke sini, saya sudah lama mendengar bahwa pamor hutan Kalimantan yang karenanya Indonesia pernah mendapat julukan sebagai negeri zamrud khatulistiwa dan kawasan paru-paru dunia sudah lama merosot tajam. Bahkan, hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change tahun 2012 lalu disebutkan bahwa laju deforestasi di Indonesia mengalahkan Brasil sehingga menempatkan bumi pertiwi ini sebagai negara dengan produksi emisi gas rumah kaca tertinggi ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Amerika. Dan dari ketinggian saat pesawat yang saya tumpangi kemarin mendarat itulah realita ini mungkin bisa sedikit ditilik. Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Tapi, ancaman illegal logging dan pembukaan lahan untuk sawit sepertinya menjadi bayang-bayang kelangsungan pelestarian hutan Indonesia berikut penghuni di dalamnya.
.: Save Me, Please! #SaveOrangutan :. |
Kalau beberapa tahun lalu diadakan Konferensi Perubahan Iklim di Bali yang mengusung isu bahwa es di kutub mencair dan mengancam kelangsungan hidup beruang kutub, seharusnya digalakkan pula isu go green yang mengusung tema besar melestarikan hutan dengan menyelamatkan orangutan. Banyak orang pada heboh soal go green dengan naik sepeda ke kantor atau jalan kaki, tapi acuh sekali saat ada pembalakan liar atau pembantaian orangutan.
Ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup orangutan saat ini adalah
manusia. Beberapa LSM
melansir kalau setiap menit, Indonesia mengalami kerusakan hutan
sebesar enam kali lapangan bola. Hal itu terus berlangsung hingga
sekarang. Menempatkan orangutan pada hutan lindung dan taman nasional
juga bukan solusi jika pada akhirnya hutan lindung dan taman nasional
yang dijadikan sebagai kawasan konservasi dialihfungsikan pengelolaannya atas nama
industrialisasi. Makanya saya agak ngeri saat membayangkan bahwa jika proses ini tidak
dihentikan (atau paling tidak dikurangi dan diatur), keberadaan hutan
tropis, kelangsungan hidup flora dan fauna, dan julukan Zamrud
Khatulistiwa hanya tinggal sejarah pahit, termasuk keberadaan orangutan
yang populasinya terus menyusut.
.: Sekawanan Bekantan di Taman Nasional Tanjung Puting :. |
Fakta tersebut sepertinya diperkuat dengan adanya produksi asap di luar batas akibat pembakaran hutan dan lahan gambut di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan baru-baru ini. Sawit seolah menjadi momok paling mengancam kelestarian hutan dan penghuninya. Dewasa ini, tidak menutup kemungkinan bahwa dengan bertambahnya populasi manusia, kebutuhan akan sawit juga terus bertambah. Hal ini seolah menjadi klausa pembenar bagi para pengusaha untuk terus membuka lahan dan membuat kebun sawit. Manusia sebagai konsumen utama sebenarnya memiliki daya tawar dalam menggunakan produk sawit ini.
Misalnya dengan memilih produk minyak goreng atau margarin yang kemasannya tertera logo RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). RSPO ini semacam perkumpulan yang menyatukan para pemangku kepentingan di sektor industri kelapa sawit yaitu produsen, pemroses, produsen barang konsumen, pengecer, bank dan investor, serta LSM. Perkumpulan tersebut bekerja untuk memfasilitasi dan mempertemukan berbagai macam kepentingan yang bermuara pada penggunaan sawit dan kelestarian alam secara berkelanjutan.
.: Bentangan Hutan yang Tidak Rimbun Lagi :'( :. |
Yang lebih penting, RSPO menjamin bahwa tidak akan mengorbankan kawasan hutan primer baru dan konservasi untuk pembukaan lahan sawit. RSPO juga memberikan perhatian pada masyarakat asli serta hak-hak dasar dan kondisi hidup para pekerja perkebunan sawit. Oleh karena itu, satu langkah kecil yang bisa diambil masyarakat untuk turut serta menjaga kelestarian alam adalah dengan membeli produk dengan logo RSPO pada kemasannya.
.: Siamang Sendirian :. |
Pak Sudjewo Tedjo pernah membuat pernyataan yang menohok hati bahwa 'Tak ada negeri yang lebih sibuk untuk menghancurkan dirinya sendiri selain Indonesia.' Mungkin, pernyataan itu terlontar agar banyak orang cepat sadar dan berbenah diri. Mulai hidup secara wajar, mencintai negeri dengan sepenuh hati, dan tidak merusak alam dan hutan hanya karena setoran upeti. Toh, kalau hutannya lestari, kita juga yang akan menikmati.
Saya juga jadi teringat dengan ungkapan bijak dari Suku Indian di Amerika yang membuat orang kembali berpikir tentang masa depan kelangsungan alam. Ungkapan tersebut berbunyi ' bila pohon terakhir telah habis ditebang dan tetesan air telah habis diminum, ternyata uang tidak dapat dimakan'. Sudahkah kita menyadari hal ini? []
Orang utannya ganteng kayak kamu mz..
BalasHapusMakasih mz :-*
Hapus*terharu* :'))
ditempet kerja saya diblok mahakam, klo pagi mesti Barge kami didatengi ama sekumpulan bekantan dan monyet om, ujung2x mereka cma mau minta makan doank.. tpi seneng ngeliat mreka lg gelantungan..
BalasHapusWah, senangnya. Kalau hewan-hewannya masih banyak, bisa jadi hutannya masih rimbun tuh. Semoga tetap terjaga ya ;)
HapusCerita yg sangat menarik,, kasian banget nasib hutan di indonesia
BalasHapusSalam kenal
Xapinos.blogspot.com
Terima kasih apresiasinya ya. Iya, makanya berbuat baiklah kepada alam dengan menggunakan barang-barang yang hulunya menyebabkan kerusakan hutan secara bijak dan efisien :)
Hapusmanusia memang serakah2 ya ... gileee ... seenaknya sendiri ... hutan dibakarin untuk jadi kebun kelapa sawit ...
BalasHapussekarang saya kalau beli barang jadi lihat2 labelnya ada RSPO-nya ga ...
Ya begitulah, semoga segera ada kesadaran kolektif bahwa dengan membabat hutan secara serampangan sama artinya dengan pelan-pelan mendekatkan manusia ke ambang kehancuran 'rumah' tempat berpijak - ibu bumi :'(
HapusAku belumke tanjung puting jadi males sebenarnya comment ini #BYE
BalasHapusHua hua hua jangan sirik gitu dong mak Cum. Grupies Cumilebay mah tinggal cap cuz aja kalau mau ke sana hehehe ;)
Hapus